Momentum
Investment Grade dan Investasi Migas
Iin Arifin Takhyan, Ketua Badan Kejuruan Perminyakan Persatuan
Insinyur Indonesia (PII)
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 18 April 2012
INVESTMENT grade yang baru saja dikantongi
pemerintah memberikan harapan agar keran aliran investasi dari luar lebih deras
lagi untuk masuk ke Indonesia. Dampak predikat itu diharapkan tidak hanya
menyentuh sektor keuangan yang sejauh ini dekat dengan arus investasi, tapi
lebih penting lagi ke sektor riil yang akan langsung dirasakan rakyat.
Hasil
pemeringkatan jelas mengangkat status Indonesia sebagai salah satu negara
tujuan berinvestasi para pemilik modal, terutama dana asing yang semula
ditempatkan di Eropa. Namun, pergerakan modal dari luar yang datang karena
label investment grade ini hendaknya tidak hanya berbentuk investasi jangka
pendek. Dengan tingkat suku bunga yang masih cukup tinggi, `gain' yang
dinikmati investor memang menggiurkan. Namun, fenomena tersebut justru
berbahaya karena pemodal asing cenderung mengambil keuntungan jangka pendek
dari selisih suku bunga dari negara asal.
Suka
atau tidak, harus diakui kategori investment grade ternyata belum menjadi
jaminan membanjirnya investasi di sektor rill bagi Indonesia. Salah satu
sebabnya ialah kemampuan Indonesia dalam memenuhi energi yang masih minim.
Ditambah birokrasi yang ruwet dan rawan korupsi masih menjadi penghadang
perkembangan investasi asing.
Padahal,
jaminan pasokan energi menjadi salah faktor pendukung masuknya foreign direct investment (FDI). Pasokan
energi yang dimaksudkan ialah ketersediaan energi hingga infrastruktur pendukungnya.
Sayangnya, iklim investasi di sektor sumber daya alam ini justru kurang bersahabat.
Indonesia
selalu mengklaim diri sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam.
Kenyataannya, untuk mencukupi kebutuhan energi sendiri, pemerintah masih kalang
kabut. Kondisi itu tidak lepas dari laju konsumsi yang tidak diimbangi dengan
upaya peningkatan investasi pada infrastruktur energi.
Di
sektor energi, peningkatan peringkat investasi tidak banyak membuahkan hasil
dalam upaya perbaikan iklim berusaha, khususnya untuk industri minyak dan gas
bumi. Iklim investasi di sektor ini justru kurang menarik di mata investor. Hal
itu antara lain tercermin dalam hasil Global
Petroleum Survey pada 2011 yang dirilis Fraser
Institute, lembaga survei asal Kanada.
Dalam
laporan setebal 179 halaman itu, Global Petroleum Survey menempatkan Indonesia
pada urutan ke-114 di antara 135 negara yang disurvei. Peringkat tersebut turun
bila dibandingkan dengan periode 2010 yang menempatkan Indonesia di urutan
ke-111 di antara 133 negara yang disurvei. Posisi Indonesia bahkan terburuk
jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Fenomena
penolakan terhadap investasi di sektor pengelolaan sumber daya alam belakangan
ini juga cenderung semakin mengkhawatirkan. Itu seolah menunjukkan tidak adanya
peran aktif dari pemerintah dalam menyosialisasikan investasi yang sudah
didapatkan. Pemerintah seolah hanya bertugas mengundang investor masuk tanpa
melakukan pengawasan atas realisasi investasi yang sudah disepakati.
Situasi
tersebut menjadi hal yang mengkhawatirkan investor, terutama sektor migas dan
pertambangan yang membutuhkan modal besar sekaligus berisiko tinggi. Terlebih
lagi di masa krisis global seperti ini yang akan membuat perusahaan besar lebih
selektif kala memilih lokasi dalam berinvestasi.
Beberapa
kasus seperti penolakan aktivitas eksplorasi tambang di Bima, Nusa Tenggara
Barat, penolakan kegiatan tambang milik PT Vale Indonesia Tbk di Sulawesi
Tengah, hingga aksi warga Bojonegoro yang menolak pengelolaan minyak dan gas
bumi Banyu Urip, Blok Cepu, yang digarap Exxonmobil. Terlepas dari alasan
penolakan, aksiaksi tersebut menjadi ironi dari kenaikan grade investasi yang
baru saja didapat pemerintah.
Kejadian
itu juga menunjukkan sikap pemerintah yang seolah membiarkan para investor
berhadapan langsung dengan masyarakat. Kondisi ini jelas membuat gambaran
investasi migas atau tambang kian buruk di mata masyarakat daerah operasional. Pemerintah
seperti menutup mata dengan berbagai masalah yang dihadapi perusahaan di daerah
operasinya. Itu sama seperti menyebarkan undangan resepsi tanpa menyediakan
kenyamanan dan santapan bagi para tamunya. Adalah tanggung jawab pemerintah
untuk memastikan investasi yang masuk bisa dilaksanakan sejak kontrak
ditandatangani hingga berakhirnya masa kontrak.
Pemerintah
tidak boleh lepas tangan, terlebih dengan masih banyaknya proyek sektor energi
yang sangat strategis bagi negara. Proyek energi yang penting dalam upaya
peningkatan produksi migas sekaligus membawa efek bergulir bagi perekonomian
daerah, seperti Blok Cepu dan proyek pengembangan gas Donggi-Senoro, perlu
terus diawasi. Proyek-proyek itu menjadi salah satu acuan perusahaan
multinasional atas status investment grade.
Sebagai
ilustrasi, jika lapangan Cepu bisa segera ditingkatkan, akan ada penambahan
produksi sebesar 165 ribu barel minyak per hari. Demikian juga dengan
pengembangan gas Senoro. Selain memonetisasi cadangan gas yang telah menunggu
30 tahun dikembangkan, akan ada kondensat yang dihasilkan.
Hal itu tentu akan sangat membantu meningkatkan produksi minyak nasional.
Hal itu tentu akan sangat membantu meningkatkan produksi minyak nasional.
Salah
satu cara yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjaga proyek energi yang
bersifat strategis ialah melalui sosialisasi hingga sinkronisasi peraturan
pusat dan daerah. Sosialisasi yang dimaksud ialah upaya meningkatkan pendidikan
dan pengetahuan masyarakat, khususnya di daerah operasi.
Upaya
mencerdaskan masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Termasuk
sosialisasi kepada masyarakat terkait pengelolaan sumber daya alam dan peranan
investasi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Dengan pengertian dan pendidikan
seperti ini, masyarakat bisa memahami aktivitas yang dilakukan perusahaan
sekaligus melakukan pengawasan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar