Rabu, 18 April 2012

Dampak Regulasi Bank yang Permisif


Dampak Regulasi Bank yang Permisif
Susidarto, Praktisi Perbankan
SUMBER : SUARA KARYA, 18 April 2012



Kalau banyak negara mengatur secara ketat agar perbankan asing tidak menguasai bank-bank di negaranya, sangat kontras dengan Indonesia. Melalui aturan yang tertuang dalam PP No. 20 Tahun 1999 (sebagai respon atas krisis 1998/1999), tentang Pembelian Saham Bank Umum, pemerintah membolehkan asing memiliki saham perbankan hingga 99%. Jelas ini adalah regulasi paling kebablasan, yang perlu segera dikoreksi. Sayangnya, kendati sudah berlaku 13 tahun lebih, aturan yang sangat permisif (longgar) ini belum pernah direvisi.

Di negara-negara lain, kepemilikan bank (oleh pihak asing) sangat dibatasi. Malaysia, misalnya, membatasi kepemilikan asing bank nasional pada level 20%, dan Filipina 30%. Sementara di Singapura, pembatasannya sangat bervariasi antara 15%, 20% dan 25% (semuanya di bawah 50%). Di negeri ini, tidak ada aturan pembatasan kepemilikan asing, sangat liberal. Bayangkan, akibat regulasi yang kebablasan ini, kepemilikan asing sangat dominan di dalam negeri. Hingga Maret 2011, misalnya, kepemilikan asing pada 47 bank, menguasai ekivalen 50,6% dari total asset perbankan nasional yang mencapai Rp 3.065 triliun.

Oleh sebab itu, kalau belakangan ini kita digegerkan dengan persoalan akuisisi DBS Group Holding terhadap 100% saham Asia Financial Indonesia milik Fullerton Financial Holding (FFH), sehingga secara tidak langsung mengakuisisi 67% saham Bank Danamon, adalah mengulang lagu/cerita lama. Sentimen nasionalisme ekonomi, seolah kembali bangkit oleh kehadiran pihak asing, yang sebelumnya juga sudah banyak terjadi di Indonesia.

Padahal, sangat sulit bagi perbankan domestik, sekalipun tergolong kelas kakap seperti Bank Mandiri, BRI, BCA ataupun BNI, untuk membuka cabang di Singapura, Malaysia, serta negara-negara lainnya. Bahkan untuk membuka gerai ATM di bandara saja, hingga saat terakhir belum bisa dilakukan. Intinya, mereka sangat menutup rapat pintu perbankan Indonesia untuk berekspansi di negeri itu. Padahal, sepak terjang bank asing di Indonesia, sangat mencekam dalam membuka kantor cabang ataupun membuka gerai ATM. Fenomena ini sungguh tidak adil menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan kita jelang pada 2015 mendatang.

Fenomena kontradiktif tersebut terjadi akibat kesalahan kolektif kita dalam membuat regulasi maupun perundangan. Semua itu bermuara pada hadirnya secara dominan investor asing untuk menguasai industri perbankan domestik. Dengan pola akuisisi saham perbankan domestik yang cenderung diobral (karena harganya relatif murah), masuklah hedge fund atau bank-bank asing untuk menguasai peta perbankan domestik. Kalau sebelumnya, bank asing dibatasi untuk membuka kantor cabang atau jaringan ATM, kini aturan itu bisa disiasati dengan pembelian bank-bank domestik yang sudah memiliki jaringan kantor cabang dan ATM yang meluas.

Pembelian/akuisisi Bank Danamon (bank nomor enam terbesar dari sisi asset) oleh DBS, juga dimaksudkan untuk membeli bank yang sudah jadi, dalam arti DBS Group tidak perlu lagi sejak awal untuk melakukan penetrasi pasar secara perlahan-lahan. Dengan jaringan yang sudah meluas, DBS langsung bisa menguasai pasar mulai dari Sabang sampai Merauke, termasuk pasar UMKM yang merupakan lahan garapan menggiurkan DSP selama ini. Tanpa bersusah payah untuk mendapatkan izin membuka kantor cabang (atau jaringan ATM) satu demi satu, bank terbesar di Singapura ini bisa langsung mendapatkan akses pasar yang demikian luas dan masifnya.

Sementara bank-bank domestik sendiri sangat kesulitan untuk sekadar membuka jaringan kantor cabang di luar negeri, termasuk Singapura. Berangkat dari situasi yang kontradiktif ini, perlu diciptakan kondisi di mana berlaku asas resiprokal (kesetaraan) bank. BI bisa saja menunda akuisisi transaksi DBS Group atas Bank Danamon. Dalam kaitan ini, BI bisa melakukan tawar-menawar dengan otoritas atau bank sentral Singapura untuk juga mempermudah pembukaan kantor cabang bank domestik di negara tersebut. Bahkan kalangan DPR mengimbau agar BI menunda persetujuan hingga UU Perbankan yang baru selesai digarap.

RUU Perbankan kini memang tengah digarap oleh kalangan legislatif. Perlu dilakukan revisi besar-besaran di antaranya memperbarui pasal-pasal krusial yang berkaitan dengan kepemilikan asing, seperti pengaturan pembukaan cabang bank asing di wilayah tertentu, asas resiprokal, pola dan jangka waktu pelepasan kepemilikan asing, hingga skala bank yang boleh membeli saham bank di Indonesia. Payung hukum semacam ini mendesak untuk segera dirampungkan sebagai patokan legalnya. Terlebih, RUU Perbankan yang tengah digodok DPR, yang ditargetkan selesai tahun ini, sudah masuk dalam Prolegnas 2012.

Dengan demikian, jika Indonesia ingin menuntut asas resiprokal, maka BI diharapkan tidak hanya sebatas meminta negara lain melonggarkan aturan yang sudah dibuatnya. Kendati terlambat, BI (tentu bersama DPR) harus membuat aturan yang minimal sama dengan aturan yang sudah diterapkan negara-negara lain. Beberapa di antaranya adalah harmonisasi aturan BI dan pemerintah mengenai kepemilikan asing pada saham perbankan di Indonesia. Regulasi yang berlaku selama ini (misalnya PP 29/1999), warga asing (badan hukum asing) boleh menguasai saham perbankan (baik melalui pembelian langsung maupun bursa efek) hingga 99%.

Semestinya, aturan yang ideal, kepemilikan asing maksimal di bawah 50%. Logikanya sederhana, semakin banyak pemilik bank (otomatis yang mengawasi bank semakin banyak), maka tingkat kehati-hatian bank akan semakin bagus. Aturan yang berlaku tahun 1999 itu dimaksudkan sebagai langkah antisipasi terhadap krisis ekonomi tahun 1998, yang terlalu kebablasan, jadi agak kurang hati-hati. Sayangnya, kendati sudah berlaku cukup lama, aturan itu tidak pernah direvisi atau coba diperbaiki. Kita baru merasa kecolongan kalau dominasi asing sudah sedemikian parahnya. Kita selalu terlambat dan kedodoran mengantisipasi sebuah masalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar