BBM, the
Enemy Within
Iman Sugema, Ekonom
SUMBER : REPUBLIKA, 09 April 2012
Dalam
setiap pemerintahan di Indonesia, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
merupakan musuh besar. Kejatuhan pemerintahan Soeharto dipercepat oleh demo
antikenaikan harga BBM. Pemerintahan Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang
Yudhoyono menjadi kurang populer setelah menaikkan harga BBM.
Hanya
pemerintahan SBY yang mampu mengembalikan popularitas dengan cara menurunkan
harga BBM menjelang pemilu. Kebetulan waktu itu angin sedang berpihak ke
pemerintah di mana harga minyak dunia turun drastis dari 140 dolar AS menjadi
hanya 40 dolar per barel.
Sekarang
angin sedang berbalik. Akibat potensi konflik di Selat Hormuz, harga minyak
dunia meningkat sampai pernah menyentuh 125 dolar per barel. Pertanyaannya,
apakah BBM kini menjadi musuh SBY? Bisa ya, bisa juga tidak.
Kini,
persoalannya bukan apakah APBN akan jebol bila harga BBM bersubsidi tidak
dinaikkan. Dibandingkan dengan situasi sebelumnya, APBN 2012 jauh lebih tahan
terhadap kenaikan harga minyak dunia. Hitung-hitungannya adalah sebagai
berikut.
Berdasarkan
Pasal 7 Ayat 6a UU APBN Perubahan 2012, pemerintah boleh menaikkan harga BBM
kalau selama enam bulan harga minyak mentah mencapai rata-rata 15 persen di
atas 105 dolar per barel. Dengan demikian, kalau rata-rata selama enam bulan
harga minyak mentah berada di atas 120,75 dolar per barel, Presiden
diperbolehkan menaikkan harga BBM tanpa meminta persetujuan DPR. Kita bulatkan
saja harganya menjadi 121 dolar per barel untuk memudahkan perhitungan.
Dengan
harga setinggi itu, kenaikan beban subsidi adalah Rp 49,9 triliun sudah
termasuk di dalamnya komponen pajak sebesar 15 persen. Selain itu, dana bagi
hasil daerah dari minyak yang harus dikeluarkan akan bertambah sebanyak Rp 6,1
triliun. Dengan demikian, total beban tambahan akibat kenaikan harga minyak
mentah dari 105 dolar menjadi 121 dolar adalah Rp 56 triliun. Pertanyaannya
apakah pembengkakan ini bisa ditutupi dengan sumber penerimaan minyak?
Jawabannya adalah bisa.
Dengan
asumsi lifting 930 ribu barel per hari, penerimaan negara dari penerimaan
negara bukan pajak (PNBP) dan PPh minyak akan bertambah sebanyak Rp 43 triliun.
Selain itu, akan ada tambahan penerimaan negara dari PPN BBM bersubsidi dan
nonsubsidi sebesar Rp 12,6 triliun.
Harap
diingat bahwa konsumsi BBM total adalah sekitar 1,4 juta barel per hari,
sedangkan volume yang disubsidi adalah 690 ribu barel per hari. Di samping itu,
akan ada tambahan penerimaan dari domestic
market obligation (DMO) minyak sebesar Rp 1,1 triliun. Tambahan penerimaan
minyak akan menjadi Rp 56,7 triliun.
Dengan
demikian, seluruh tambahan beban subsidi akibat kenaikan harga minyak mentah
dapat ditutupi oleh tambahan penerimaan negara dari minyak sendiri. Nyatanya
sisi penerimaan lebih tinggi sebesar Rp 0,7 triliun dibanding sisi pengeluaran.
Karena selisihnya kecil sekali, kita anggap saja seimbang atau impas.
Jadi,
walaupun harga minyak mentah rata-rata setahun adalah 121 dolar per barel,
hampir tak ada alasan untuk menyimpulkan bahwa APBN akan jebol. Bahkan,
perhitungan di atas belum memasukkan tambahan penerimaan dari gas yang tentunya
juga akan naik. Dengan memasukkan tambahan penerimaan gas, mestinya postur APBN
akan lebih baik yang ditandai dengan mengecilnya defisit.
Sebagai
catatan, hitung-hitungan di atas adalah berdasarkan metode perhitungan yang
dilakukan oleh Kementerian ESDM sebagaimana mereka muat sendiri dalam situs
resminya. Pembaca dapat melakukan perhitungan sendiri dengan mengikuti metode
itu. Hasilnya pasti persis.
Kalau
pada akhirnya pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi, alasannya bukan atas
dasar menyelamatkan APBN. Apalagi beberapa menteri sering berargumentasi bahwa
kenaikan harga BBM diperlukan untuk menyelamatkan perekonomian. Ini jelas
merupakan logika `Jaka Sembung naik ojek,
nggak nyambung jek'.
Kalau
harga BBM dinaikkan, hal tersebut akan memicu inflasi dan penurunan tingkat
pertumbuhan ekonomi. Jadi, kenaikan harga justru berpotensi merusak perekonomian
yang lagi baik-baiknya. Kok, malah dibilang `dalam rangka menyelamatkan perekonomian'.
Kalau
kita membaca baik-baik konstitusi, menahan kenaikan harga BBM merupakan upaya
perlindungan dari negara terhadap rakyatnya. Lagi pula, harga minyak dunia
tidaklah seperti yang ada dalam buku teks. Unsur spekulasi sangat kental dalam
menentukan harga minyak.
Adalah
sangat wajar kalau rakyat meminta perlindungan dari aksi spekulasi harga.
Hitung-hitungan yang baru saya sampaikan di atas menunjukkan, negara mampu
untuk melakukan hal itu. Sekarang tinggal pemerintahnya, mau tidak memberikan
perlindungan terhadap rakyat.
Atau
jangan-jangan ada segelintir orang di dalam pemerintahan yang dengan sengaja
hendak menyengsarakan rakyat. Kalau begitu adanya, berarti selama ini kita
tidur satu selimut dengan musuh. Musuh pemerintah yang sebenarnya adalah
orang-orang tersebut. Bukankah kita sering mendengar istilah mafia migas, mafia
keuangan, dan mafia anggaran. Duh rakyat ..., saatnya kita bangun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar