Mengatasi
Rasa Lapar Partai
Sidik Pramono, Wartawan KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012
"I
had a hungry party behind me,” kata Grover Cleveland, presiden Amerika
Serikat yang ke-22 (1885-1889) dan ke-24 (1893-1897). Cleveland setengah putus
asa tatkala ia diminta menghidupi partainya semasa menjabat Presiden AS.
Seperti ditulis dalam pidato pengukuhan
(almarhum) Prof Riswandha Imawan sebagai Guru Besar Ilmu Politik Universitas
Gadjah Mada, 4 September 2004, sangat mungkin sindrom ini akibat kesalahan
sejak lahir, yakni partai politik dikonsepsikan sebagai instrumen merebut
kekuasaan dari penjajah. Ketika berhasil direbut, menjadi sulit mencegah sikap
rebutan kekuasaan di antara mereka.
Realitas saat ini memperlihatkan bagaimana
para petinggi partai politik yang terjerat kasus korupsi. Tak hanya bermain
sendiri, para politikus itu terindikasi memainkan kekuasaannya bersama-sama
untuk mengambil rente dari uang negara. Tak hanya separtai, ”koalisi lintas
partai” pun diduga terbentuk dalam banyak kasus pengerukan uang negara oleh
politikus.
Tak ada yang menyangkal bahwa butuh dana
besar untuk menghidupi parpol. Tak ada pula yang membantah, jalan demokrasi
yang kita pilih, termasuk dengan cara penetapan calon terpilih berdasarkan
suara terbanyak, ”memaksa” politikus mesti bermodal besar untuk bisa bersaing
dalam pemilihan. Mengambil uang negara dengan beragam cara merupakan salah satu
jalan buruk yang dilakukan.
Banyak cara yang telah diusulkan untuk
mencegah parpol menjadi rakus (secara tidak sah) terhadap uang negara. Pengajar
kebijakan publik di Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, misalnya,
pernah mengusulkan agar parpol diperkenankan membentuk badan usaha sebagai
salah satu sumber pendanaan.
Dengan karakter sosial-ekonomi parpol di
Indonesia, menurut Andrinof, sebetulnya pendirian badan usaha milik parpol
dengan pengaturan tertentu menjadi relevan. Tentu, klausul ini mesti disertai
dengan segala persyaratan yang memungkinkan tidak terjadi korupsi. Andrinof
mengusulkan klausul itu sejak menjelang Pemilu 2009 sekalipun belum terealisasi
hingga ini.
Bagi kubu yang menolak usul tersebut,
pendirian badan usaha milik parpol dinilai tak serta- merta membebaskan
kemungkinan parpol akan melakukan praktik tak benar. Tak ada jaminan bahwa
proyek yang dibiayai uang negara tidak akan menjadi ladang perebutan badan
usaha milik parpol tersebut. Alhasil, jika itu yang terjadi, tetap saja parpol
yang sedang berkuasa akan mendapatkan keistimewaan ketimbang parpol yang berada
di luar kekuasaan.
Fakta lain yang sulit dibantah, seorang ketua
umum parpol masih dianggap penentu dalam keberlangsungan keuangan parpol
bersangkutan. Realitas politik juga dianggap bakal menyulitkan karena keuangan
parpol dimulai setiap pergantian rezim kepemimpinan parpol. Jika seorang ketua
umum berganti, saat itulah laporan pembukuan dimulai dan diakhiri, mulai dari
titik nol atau bahkan terkadang minus. Badan usaha parpol pun dikhawatirkan
tetap akan identik dengan figur, bukan institusi.
Usul lain yang mengemuka adalah adanya
alokasi dana publik untuk parpol. Hal itu, antara lain, didasari pandangan
bahwa parpol melaksanakan tugas publik yang diamanatkan konstitusi dan
undang-undang. Karena itu, harus didanai oleh publik, dengan kewajiban
mengelola secara transparan dan akuntabel.
Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto (2012)
menyatakan, perlu keseimbangan yang wajar antara sumber keuangan publik dan
sumber keuangan privat. Negara perlu memberikan insentif kepada parpol yang
berhasil mendorong para anggota membayar iuran kepada partai menjadi salah satu
sumber signifikan keuangan parpol.
Tak sedikit yang menolak usul tersebut.
Parpol di Indonesia dirasa belum mau menjalankan prinsip transparansi keuangan
secara maksimal. Bahkan, guna memberikan laporan penggunaan dana dari negara
untuk fungsi kesekretariatan saja, tak semua parpol bersukarela dan cepat
menyampaikannya kepada publik.
Argumentasi lain, misalnya saja, niat
seseorang untuk masuk parpol dan masuk kompetisi jabatan publik telah membawa
konsekuensi, termasuk soal pembiayaan. Individu yang masuk ke jalur itu tentu
sudah mengetahuinya. Tak adil jika rakyat (lewat pajak yang dibayarkannya
kepada negara) harus ikut menanggung beban itu.
Pengajar ilmu politik Universitas Gadjah
Mada, Ari Dwipayana, menilai, rasa lapar parpol muncul karena parpol masih
primitif dengan logika akumulasionis. Ciri parpol primitif adalah organized anarchy, mirip gerombolan yang
punya agenda sendiri-sendiri, tetapi ada dalam organisasi. Juga unsur informality, bahwa yang bekerja lebih
banyak mekanisme informal dibandingkan formal terlembaga. Ciri berikut dari
parpol yang primitif adalah personal dan tokoh jadi pengendali utama partai
melalui jaringan informal.
Tak ada pilihan lain untuk mengatasinya,
yaitu institusionalisasi sebagai partai modern. Harus ada pelembagaan sistem,
yakni depersonalisasi dan penguatan aturan main. Juga harus ada pengakaran,
yang memungkinkan kontrol konstituen pada elite dan membuat elite punya
konstituen. Juga ada upaya memperkuat derajat otonomi parpol dari intervensi
pasar atau kelompok modal, terutama dalam agenda kebijakan.
”Institusionalisasi
parpol adalah proses transformasi dari personal informal ke institusional.
Semua perilaku elite partai dikendalikan oleh aturan main partai,” ujar
Ari.
Untuk menuju jalan ideal itu, butuh waktu
tentunya. Namun, jika tak dimulai sekarang, sampai kapan membiarkan sulur
gurita membelit kita? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar