Sabtu, 14 April 2012

Mengatasi Rasa Lapar Partai


Mengatasi Rasa Lapar Partai
Sidik Pramono, Wartawan KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012


"I had a hungry party behind me,” kata Grover Cleveland, presiden Amerika Serikat yang ke-22 (1885-1889) dan ke-24 (1893-1897). Cleveland setengah putus asa tatkala ia diminta menghidupi partainya semasa menjabat Presiden AS.

Seperti ditulis dalam pidato pengukuhan (almarhum) Prof Riswandha Imawan sebagai Guru Besar Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 4 September 2004, sangat mungkin sindrom ini akibat kesalahan sejak lahir, yakni partai politik dikonsepsikan sebagai instrumen merebut kekuasaan dari penjajah. Ketika berhasil direbut, menjadi sulit mencegah sikap rebutan kekuasaan di antara mereka.

Realitas saat ini memperlihatkan bagaimana para petinggi partai politik yang terjerat kasus korupsi. Tak hanya bermain sendiri, para politikus itu terindikasi memainkan kekuasaannya bersama-sama untuk mengambil rente dari uang negara. Tak hanya separtai, ”koalisi lintas partai” pun diduga terbentuk dalam banyak kasus pengerukan uang negara oleh politikus.

Tak ada yang menyangkal bahwa butuh dana besar untuk menghidupi parpol. Tak ada pula yang membantah, jalan demokrasi yang kita pilih, termasuk dengan cara penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, ”memaksa” politikus mesti bermodal besar untuk bisa bersaing dalam pemilihan. Mengambil uang negara dengan beragam cara merupakan salah satu jalan buruk yang dilakukan.

Banyak cara yang telah diusulkan untuk mencegah parpol menjadi rakus (secara tidak sah) terhadap uang negara. Pengajar kebijakan publik di Universitas Indonesia, Andrinof A Chaniago, misalnya, pernah mengusulkan agar parpol diperkenankan membentuk badan usaha sebagai salah satu sumber pendanaan.

Dengan karakter sosial-ekonomi parpol di Indonesia, menurut Andrinof, sebetulnya pendirian badan usaha milik parpol dengan pengaturan tertentu menjadi relevan. Tentu, klausul ini mesti disertai dengan segala persyaratan yang memungkinkan tidak terjadi korupsi. Andrinof mengusulkan klausul itu sejak menjelang Pemilu 2009 sekalipun belum terealisasi hingga ini.

Bagi kubu yang menolak usul tersebut, pendirian badan usaha milik parpol dinilai tak serta- merta membebaskan kemungkinan parpol akan melakukan praktik tak benar. Tak ada jaminan bahwa proyek yang dibiayai uang negara tidak akan menjadi ladang perebutan badan usaha milik parpol tersebut. Alhasil, jika itu yang terjadi, tetap saja parpol yang sedang berkuasa akan mendapatkan keistimewaan ketimbang parpol yang berada di luar kekuasaan.

Fakta lain yang sulit dibantah, seorang ketua umum parpol masih dianggap penentu dalam keberlangsungan keuangan parpol bersangkutan. Realitas politik juga dianggap bakal menyulitkan karena keuangan parpol dimulai setiap pergantian rezim kepemimpinan parpol. Jika seorang ketua umum berganti, saat itulah laporan pembukuan dimulai dan diakhiri, mulai dari titik nol atau bahkan terkadang minus. Badan usaha parpol pun dikhawatirkan tetap akan identik dengan figur, bukan institusi.

Usul lain yang mengemuka adalah adanya alokasi dana publik untuk parpol. Hal itu, antara lain, didasari pandangan bahwa parpol melaksanakan tugas publik yang diamanatkan konstitusi dan undang-undang. Karena itu, harus didanai oleh publik, dengan kewajiban mengelola secara transparan dan akuntabel.

Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto (2012) menyatakan, perlu keseimbangan yang wajar antara sumber keuangan publik dan sumber keuangan privat. Negara perlu memberikan insentif kepada parpol yang berhasil mendorong para anggota membayar iuran kepada partai menjadi salah satu sumber signifikan keuangan parpol.

Tak sedikit yang menolak usul tersebut. Parpol di Indonesia dirasa belum mau menjalankan prinsip transparansi keuangan secara maksimal. Bahkan, guna memberikan laporan penggunaan dana dari negara untuk fungsi kesekretariatan saja, tak semua parpol bersukarela dan cepat menyampaikannya kepada publik.

Argumentasi lain, misalnya saja, niat seseorang untuk masuk parpol dan masuk kompetisi jabatan publik telah membawa konsekuensi, termasuk soal pembiayaan. Individu yang masuk ke jalur itu tentu sudah mengetahuinya. Tak adil jika rakyat (lewat pajak yang dibayarkannya kepada negara) harus ikut menanggung beban itu.

Pengajar ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, menilai, rasa lapar parpol muncul karena parpol masih primitif dengan logika akumulasionis. Ciri parpol primitif adalah organized anarchy, mirip gerombolan yang punya agenda sendiri-sendiri, tetapi ada dalam organisasi. Juga unsur informality, bahwa yang bekerja lebih banyak mekanisme informal dibandingkan formal terlembaga. Ciri berikut dari parpol yang primitif adalah personal dan tokoh jadi pengendali utama partai melalui jaringan informal.

Tak ada pilihan lain untuk mengatasinya, yaitu institusionalisasi sebagai partai modern. Harus ada pelembagaan sistem, yakni depersonalisasi dan penguatan aturan main. Juga harus ada pengakaran, yang memungkinkan kontrol konstituen pada elite dan membuat elite punya konstituen. Juga ada upaya memperkuat derajat otonomi parpol dari intervensi pasar atau kelompok modal, terutama dalam agenda kebijakan.

Institusionalisasi parpol adalah proses transformasi dari personal informal ke institusional. Semua perilaku elite partai dikendalikan oleh aturan main partai,” ujar Ari.

Untuk menuju jalan ideal itu, butuh waktu tentunya. Namun, jika tak dimulai sekarang, sampai kapan membiarkan sulur gurita membelit kita? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar