Masa Depan
Perguruan Tinggi
Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum FHUI
SUMBER : KOMPAS, 14 April 2012
Tulisan ini bertujuan untuk merespons rencana
disahkannya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi dalam waktu dekat. RUU
ini memberi harapan akan terjadinya perubahan yang mendasar bagi pendidikan
tinggi di Indonesia, terutama dengan memberikan peluang otonomi.
Masyarakat awam ada yang memahami otonomi
universitas secara keliru sebagai ”liberalisasi”, ”komersialisasi”, ”mahalnya
biaya kuliah”, dan lepasnya kewajiban pemerintah untuk mendanai universitas
(baca: perguruan tinggi). Bahkan, sebagian dosen ada yang khawatir kehilangan
kepastian, khususnya kesempatan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Praduga ini sangat beralasan mengingat
gambaran buruk penyelenggaraan universitas selama ini. Sistem dan kebijakan
pendidikan tinggi tidak jelas arahnya, ketiadaan tata kelola, bahkan
penyalahgunaan kewenangan dan korupsi, dalam birokrasi pendidikan sudah menjadi
rahasia umum. Hal ini berdampak pada buruknya penyelenggaraan keseharian
universitas negeri dan swasta di Tanah Air.
Sebagian dosen menempatkan diri sebagai
”pencari kerja”, tidak lagi melihat universitas sebagai arena profesi untuk
mewujudkan cita-cita pencerdasan bangsa. Tidak mengherankan apabila ada dosen
yang melakukan plagiarisme, kecurangan dalam kenaikan pangkat, dan menyediakan
dirinya untuk disuap dalam berbagai bentuk. Lembaga pendidikan semakin
melipatgandakan jumlah mahasiswa, bahkan dengan membuka cabang di kota lain.
Universitas tidak segan memberikan gelar
magister atau doktor secara mudah, dengan kurikulum dan mutu kelulusan yang
sangat tidak memadai. Universitas lebih senang membangun gedung-gedung megah
untuk pencitraan daripada membangun laboratorium, memberi beasiswa kepada
mahasiswa miskin, serta meningkatkan kapasitas dosen dan menyejahterakannya.
Universitas dijalankan seperti perusahaan yang menyedot dana masyarakat dan
dikelola tanpa mengindahkan prinsip good
university governance. Tentu saja hal ini sangat salah karena semakin
menjauhkan pendidikan dari masyarakat.
Akar Sejarah
Otonomi universitas ternyata sudah dipikirkan
sejak dahulu oleh founding fathers
pendidikan Indonesia. Dalam Kongres Pendidikan, 4-6 Agustus 1947, di
Surakarta—di antaranya dihadiri oleh Ki Hajar Dewantara, Soepomo, Soenario
Kolopaking, dan Presiden Soekarno—telah dibahas soal otonomi.
Soepomo menginginkan agar fungsi universitas
di Indonesia sejajar dengan universitas di Eropa dan Amerika, yaitu pusat ilmu
pengetahuan dan kebudayaan, tempat dilahirkannya calon pemimpin bangsa. Untuk
itu, universitas harus menjadi badan hukum yang otonom. Soenario Kolopaking
menegaskan bahwa negara harus menyelenggarakan universitas yang berbentuk badan
hukum dan mempunyai kemerdekaan seluas-luasnya dalam mengabdi ilmu pengetahuan.
Pada 1950-an, sekali lagi dinyatakan oleh
Soepomo (Menteri Pendidikan) bahwa—karena fungsi dan sifatnya—universitas tak
diperkenankan menjadi jawatan di bawah administrasi Kementerian Pendidikan
karena akan membinasakan semangat akademi dan menghalangi perkembangan
kehidupan universitas. Pemerintah harus memberi otonomi sepenuhnya pada
universitas. Beliau berharap bahwa kejayaan Sriwijaya yang pernah jadi pusat
politik dan pengetahuan di Asia akan kembali terjadi pada universitas di
Indonesia pada masa depan.
Praktik penyelenggaraan pendidikan yang buruk
dan berbagai ketidakpastian selama ini harus segera diakhiri, setidaknya
dilandasi oleh RUU Perguruan Tinggi ini. Otonomi universitas akan dijalankan
dengan prinsip yang benar agar universitas dapat mengembangkan diri seluasnya
dalam memenuhi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan menyejajarkan diri dengan
tuntutan ilmu pengetahuan modern.
Apa artinya otonomi? Dalam Magna Charta
Universitatum, otonomi adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai
misinya berdasarkan pilihannya sendiri. Dalam RUU PT Pasal 74, otonomi diartikan:
(a) universitas mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan
pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat; (b)
otonomi dilaksanakan sesuai dengan dasar dan tujuan serta kemampuan perguruan
tinggi; (c) dasar dan tujuan serta kemampuan tersebut dinilai oleh Menteri; (d)
otonomi pengelolaan perguruan tinggi diatur dalam peraturan pemerintah.
Otonomi universitas dijalankan dengan prinsip
akuntabilitas, transparansi, dan nirlaba. Otonomi dan akuntabilitas adalah dua
sisi dari koin yang sama. Akuntabilitas memampukan institusi meregulasi
kebebasan yang ada padanya dengan cara otonom. Otonomi dilaksanakan dalam
bidang akademik (penetapan norma, kebijakan operasional, dan pelaksanaan Tri
Dharma) dan non-akademik (organisasi, keuangan, kemahasiswaan, sumber daya
dosen dan karyawan, sarana dan prasarana). Diharapkan dalam kondisi semacam ini
akan semakin terbangun inovasi, kreativitas, dan keunggulan karya akademik.
Kekhawatiran masyarakat, otonomi universitas
akan menyebabkan ketiadaan akses bagi masyarakat kurang mampu tak beralasan.
Standar biaya dan tarif diatur oleh Menteri (Pasal 95), didukung oleh APBN dan
APBD (Pasal 96), penerimaan mahasiswa baru diatur dan gratis (Pasal 77),
perguruan tinggi negeri mencari mahasiswa tidak mampu (Pasal 78), bahkan ada
jaminan pendanaan bagi yang lulus (Pasal 80). Komersialisasi pendidikan dijawab
melalui Pasal 70 yang mengatakan, pengaturan oleh pemerintah kuat, pemilik
tunggal, dan prinsip nirlaba. Pemerintah tetap mendanai (Pasal 90, 96, 97)
Dengan demikian, kita melihat bahwa otonomi
bukanlah tujuan, melainkan cara untuk mencapai pemenuhan hak asasi warga
masyarakat terhadap pendidikan. Negara tetap berkewajiban mendanai, mengatur,
dan mengawasi, bukan justru mengambil dana dari masyarakat.
Menuju Masa Depan
Semua universitas di dunia harus
mengantisipasi perubahan yang tidak terbendung, terutama kemajuan teknologi
informasi. Pada masa depan, produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan secara
signifikan akan ditentukan arahnya oleh sumber daya pendidik yang berkualitas
dan perpustakaan digital yang tidak mengenal batas ruang.
Kerja dan temuan ilmiah akan semakin mampu
menjelaskan berbagai persoalan kemanusiaan, mendukung pembangunan kesejahteraan
dan peradaban dunia. Jika hal ini dibebankan pada birokrasi pemerintah,
gelombang perubahan ini tidak akan dapat dikejar. Inilah rupanya yang dimaksud
oleh Soepomo sebagai ”membinasakan semangat akademik”.
Di negara-negara maju, seperti di Skandinavia
(Norwegia, Swedia, Finlandia, Denmark), universitas didanai 100 persen oleh
pemerintah. Masyarakat dibebaskan dari bayaran, tetapi status universitas
adalah otonom penuh.
Saat ini universitas di Asia, seperti India
dan China; di ASEAN, seperti Singapura dan Malaysia, semakin menjadi otonom.
Para ilmuwan menyadari betul bahwa hanya dengan otonomi dan desentralisasi akan
diciptakan universitas yang modern dan inovasi dapat dilakukan secara lebih
efektif daripada jika dilakukan dalam birokasi pemerintah.
Apabila ingin sejajar dengan dunia,
universitas di Indonesia harus terbuka terhadap perubahan dan mengikuti
perkembangan kemajuan universitas di negara-negara lain itu. Universitas adalah
kekuatan moral dan niat baik untuk memampukan dirinya sendiri adalah suatu
keharusan. Jika hal ini tidak dilakukan sekarang, sejarah akan mencatat utang
kita kepada generasi muda yang kehilangan kesempatan menjadi calon pemimpin
bangsa serta manusia Indonesia yang berkualitas dan berkarakter sebagaimana
dicita-citakan oleh pendiri negeri kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar