Menganulir
Vonis Bebas Koruptor
Oce Madril, Dosen
Fakultas Hukum UGM; Direktur Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Mahkamah Agung bikin gebrakan. Beberapa
putusan bebas koruptor dibatalkan oleh majelis hakim kasasi MA. Banyak pihak
mengapresiasi positif putusan MA itu: berani mengoreksi putusan-putusan
bermasalah pengadilan di bawahnya. MA memberi secercah harapan kembali tegaknya
tiang pancang wibawa hukum.
Hingga saat ini tercatat empat vonis bebas
koruptor yang dianulir MA: putusan terhadap Wali Kota Bekasi Mochtar Muhammad,
mantan Wali Kota Kendari Mansyur Masie, Bupati Subang Eep Hidayat, dan Bupati
Lampung Timur Satono. Semuanya merupakan putusan bebas yang dijatuhkan
pengadilan tipikor daerah. MA memvonis bersalah para pejabat negara itu dan
menjatuhkan pidana penjara paling singkat empat tahun dan terlama
15 tahun penjara.
Putusan MA ini bak oase di tengah gurun tandus
penjeraan terhadap koruptor. Bagaimana tidak, selama ini kita disuguhi parodi
pengadilan yang lebih berpihak kepada koruptor ketimbang upaya pemberantasan
korupsi. Kecenderungan pengadilan tipikor daerah membebaskan para koruptor
justru lebih buruk daripada pengadilan umum.
Sejak dibentuk 2010, pengadilan tipikor sudah
menuai kontroversi. Hanya dalam satu tahun, pengadilan tipikor daerah sudah
banyak membebaskan terdakwa korupsi. Pantauan Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas
Hukum UGM menemukan bahwa hingga tahun 2011, lebih dari 40 terdak- wa korupsi
telah dibebaskan pengadilan tipikor daerah. Penga- dilan Tipikor Surabaya,
Samarinda, Bandung, dan Semarang tercatat sebagai pengadilan tipikor yang
paling sering membebaskan koruptor.
Secara hukum memang tidak ada salahnya hakim
menjatuhkan putusan bebas. Namun, banyaknya koruptor bebas telah menimbulkan
pertanyaan akan kinerja pengadilan tipikor. Pengadilan yang awalnya diharapkan
mampu memberi efek jera bagi koruptor justru menjadi surganya koruptor. Bahkan,
kuat dugaan bahwa pengadilan tipikor daerah sudah menjadi zona nyaman mafia
peradilan.
Dalam kondisi demikian, putusan MA ini selain
berpihak pada penegakan hukum antikorupsi juga beraroma antimafia peradilan.
Putusan MA memberi pesan tegas kepada pengadilan tipikor daerah dan pelaku
mafia peradilan bahwa upaya memengaruhi putusan hakim melalui cara-cara
koruptif akan percuma. MA sebagai pengadil tertinggi akan mengoreksi
putusan-putusan yang menyimpang itu dan menghukum berat koruptor.
Tindak Lanjut
Meski patut diapresiasi, langkah MA
menganulir vonis bebas koruptor belumlah sempurna jika MA tak mengambil
langkah-langkah tindak lanjut, misalnya dengan memastikan bahwa putusannya
dijalankan oleh kejaksaan. Rupanya banyak putusan pengadilan yang belum
dieksekusi kejaksaan. Koruptor yang menjadi musuh negara dan masyarakat masih
dibiarkan berkeliaran.
Alasan utama molornya eksekusi koruptor lebih
oleh aspek administrasi daripada substansi hukum: belum diterimanya salinan
putusan dari MA. Ini seharusnya menjadi kritik bagi MA. Seharusnya begitu
putusan dibacakan, beberapa saat setelah itu, salinan putusan sudah bisa
diakses baik oleh jaksa, pengacara, pihak yang beperkara, maupun publik. Jangan
sampai hanya karena kelalaian administrasi salinan putusan, koruptor dibiarkan
bebas begitu saja. Fakta bahwa banyak koruptor yang melarikan diri karena tak
kunjung dieksekusi harus menjadi peringatan keras bagi penegak hukum.
Kejaksaan semestinya tidak perlu
mengulur-ulur eksekusi. Jangan terlalu bergantung pada aspek administratif yang
justru menegasikan substansi penegakan hukum. Jangan bersikap pasif menunggu
salinan putusan dari MA. Ambil inisiatif dan, kalau perlu, lakukan terobosan
hukum. Coba kita bandingkan upaya KPK dan kejaksaan dalam mengeksekusi koruptor.
KPK bisa menangkap Wali Kota Bekasi (nonaktif) Mochtar Muhammad dalam waktu
singkat. Sementara itu, kejaksaan berlama-lama mengeksekusi
putusan mantan Gubernur Bengkulu (nonaktif) Agusrin M Najamuddin. Padahal,
putusan Agusrin sudah dijatuhkan pada 1 Januari 2012. Ini harus jadi evaluasi
bagi Jaksa Agung.
Kemudian, putusan kasasi MA sejatinya
menunjukkan adanya kesalahan penerapan hukum yang diterapkan hakim pengadil- an
tipikor. Hakim tipikor menilai bahwa pidana korupsi para pejabat korup itu tak
terbukti. Sementara itu, hakim agung MA menilai sebaliknya. Logika hukum hakim
tipikor sama sekali dimentahkan hakim agung. Terlihat jelas bahwa pemahaman
hakim pengadilan tipikor daerah dangkal mengenai substansi hukum pidana korupsi
dan hukum acara.
Kekacauan logika hukum hakim pengadilan
tipikor yang berujung pada bebasnya koruptor seharusnya dijadikan bahan oleh MA
untuk mengevaluasi kinerja hakim itu. UU Kekuasaan Keha- kiman, UU MA, dan UU
Pengadilan Tipikor sudah memberi kewenangan kepada MA untuk melakukan
pengawasan, evaluasi, dan pemberhentian hakim yang terbukti tak cakap dan
melakukan perbuatan tercela.
Selama ini hakim yang sering membuat putusan
bermasalah berlindung di balik tameng prinsip independensi bahwa hakim bebas
dan tak boleh diintervensi dalam membuat putusan. Pemahaman yang terlalu
mengagung- agungkan independensi hakim itulah yang memicu terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan. Hakim merasa bebas membuat putusan meski putusan itu
jelas-jelas menyalahi hukum materiil dan formil. Independensi koruptif itulah
yang terlihat jelas dalam berbagai putusan bebas pengadilan tipikor daerah.
Karena itu, MA harus tegas. Tindakan
evaluasi, sanksi, dan jika perlu pemberhentian, harus diambil terhadap hakim
yang terbukti berkinerja buruk dan sering membuat putusan bermasalah. MA tak
perlu berkompromi dengan hakim bermasalah itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar