Budaya
Demokrasi Kita
Radhar Panca Dahana, Budayawan
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Mungkin kita bisa memafhumi bahwa apa dan
bagaimana pun ekspresi demokratis dari seseorang atau kelompok seharusnya tidak
berpotensi destruktif. Artinya, apa pun yang disampaikan tidak boleh merusak
atau menghancurkan yang sudah dicapai dan dibangun selama ini.
Capaian itu bisa saja bersifat moral,
material, perangkat lunak maupun keras. Bila tidak, kita bukan hanya harus
bertanggung jawab kepada para pendahulu yang telah berkorban membentuk negara,
melainkan juga kepada para penerus kita yang harus menanggung perbuatan kita.
Oleh karena itu, sebuah sistem dan praktik
demokrasi harus berlandaskan nilai yang kita sebut budaya. Budaya yang bisa
saja berasal dari praktik-praktik demokratis di berbagai negara maupun
praktik-praktik bermasyarakat yang sudah dijalankan turun-temurun di seantero
negeri. Justru yang terakhir ini lebih baik karena memiliki riwayat jauh lebih
panjang dan rakyat memahaminya.
Praktik demokrasi yang dilandasi oleh osmosa
kultural semacam ini bukanlah ”pengkhianatan”
terhadap dasar-dasar demokrasi teoretis yang kita kenal selama ini. Bukankah
kenyataan menunjukkan bahwa di mana pun praktik demokrasi selalu ditandai
dengan penyesuaian-penyesuaian. Dengan demikian, klaim demokrasi sebenarnya
adalah subyektif dan variatif.
Contoh-contoh di beberapa negara membuktikan
itu. Di Jepang, India, Amerika Serikat, Perancis, ataupun Inggris, implementasi
demokrasi menjadi dasar nilai dan sistem bernegara bergradasi secara
signifikan. Apalagi jika kita menyebut China, Singapura, Hongkong, atau negara
otoritarian seperti Korea Utara dan Kuba dengan klaim (demokratis) serupa.
Demokrasi Maritim
Dalam perikehidupan bangsa ini, sesungguhnya
belum pernah secara nasional kita bersepakat tentang budaya demokrasi macam apa
yang menjadi acuan agar demokrasi tidak justru menjadi ancaman bagi hidup
berbangsa dan bernegara kita.
Sebutlah misalnya dasar nilai dari one man, one vote, one value. Betapa pun
telah menjadi norma global, penerapannya secara lokal di negeri ini perlu
diintegrasikan dengan realitas sosial dan adat yang telah hidup ribuan tahun.
Integrasi ini bukan saja menghindarkan
(praktik) demokrasi dari konflik yang tidak perlu dengan rakyat, tetapi juga
mendorong pertemuan dua kutub adab—modern dan tradisi—untuk menghasilkan solusi
yang lebih komprehensif dan positif. Sistem demokrasi yang kita tegakkan tidak
hanya mengacu landasan teoretis dan filosofi oksidental yang menjebak kita
dalam demokrasi formalistis, melainkan juga mempertimbangkan budaya
bangsa-bangsa kita, termasuk memperjuangkan hak dan harkat rakyat.
Maka kita mesti jernih memeriksa kembali
apakah dasar-dasar demokrasi itu berakar dalam sejarah kebudayaan kita. Apakah
kebebasan individu atau aksi demonstrasi juga kebutuhan dasar bangsa ini? Jika
ya, bagaimana sebenarnya ekspresi dari dua kebutuhan itu dalam praktik
bermasyarakat atau bernegara kita?
Sebagai negeri maritim, bangsa ini
sesungguhnya memiliki dasar-dasar karakter dari takdir geologis dan
geografisnya. Dengan kota-kota bandarnya, bangsa ini telah mengembangkan budaya
yang terbuka. Kota bandar adalah semacam melting pot yang memungkinkan terjadinya
perjumpaan bahkan akulturasi kebudayaan dari dalam maupun luar.
Bisa dikatakan bandar-bandar negeri maritim
sebenarnya adalah sumber paling awal dari demokrasi. Negeri maritim niscaya
melahirkan manusia dan masyarakat yang berpikiran terbuka, egaliter,
multikultural, dan memberikan penghargaan yang tinggi kepada kedaulatan manusia
(individu). Jika di Eropa Barat dan Tengah demokrasi adalah hasil dari kerja
rasional, di negeri maritim seperti Indonesia semua nilai dasar demokrasi di
atas adalah sebuah keniscayaan alamiah.
Menuju Demokrasi
Realitas semacam itu kemudian berkembang
dengan cara yang unik di masing-masing kesatuan etnik di seluruh Nusantara.
Budaya pantai dan pedalaman saling mengisi dan memengaruhi sehingga menciptakan
sebuah adab—dibuktikan oleh temuan-temuan arkeologis terbaru—yang memiliki
tingkat kedewasaan tidak kalah dengan peradaban bangsa-bangsa purba lainnya.
Maka, jika kita cermati adat demokrasi kita
sendiri, kita dapat mengerti dan menilai apakah beberapa praktik demokrasi kita
belakangan ini telah sesuai dengan apa yang telah dibuat, diwarisi, dan
diajarkan oleh para pendahulu dan leluhur kita sendiri. Sungguh tidak bijaksana
jika hanya dengan alasan kemodernan dan rasionalisme logosentrik, kita
menafikan kenyataan adat dan adab demokrasi kita dan merasa semua itu sudah
lampau. Lalu kita mengambil buku-buku di perpustakaan dan mengikuti anjuran di
dalamnya. Padahal, itu hasil pemikiran baru yang sebagian justru bersumber dari
praktik budaya maritim.
Sebagaimana semua ide asing yang datang ke
negeri ini sejak dulu—kesenian, bangunan, gaya hidup, cara berpolitik, bahkan
agama—demokrasi modern harus mengharmonisasi diri dengan kenyataan lokal. Semua
ungkapan atau ekspresi dari hak-hak individual, komunal, hingga publik nasional
dilakukan lewat sebuah adab yang santun, tidak kasar, dan tidak destruktif
terhadap kepentingan dan milik publik. Kebebasan ekspresi, bahkan dalam
kesenian, bukanlah sebuah cek kosong yang dapat seenaknya diisi nafsu dan
insting negatif manusia.
Karena itu, seberat apa pun–katakanlah—kita
tidak setuju terhadap kebijakan pemerintah, sebagaimana benci dan dendamnya
kita kepada musuh kita misalnya, bukanlah izin untuk melakukan penghinaan dan
kekerasan, perusakan, apalagi pengancaman jiwa.
Demokrasi sebaiknya adalah alat dan alasan
kita untuk menjadi manusia dan bangsa beradab, sebagaimana sejarah kita
mengajarkan. Bukan sebagai cara dan apologi merusak, apalagi menjadi arsenal
biadab bagi kelompok yang memiliki kepentingan tertentu. ●
Salam,
BalasHapusSaya telah meminjam link ini, dan membagi ke beberapa teman bilamana hendak membaca lebih lanjut kutipan dari Radhar Panca Dhana yang saya ambil.
Terima Kasih
MartoArt.
(martoart.multiply.com)
Sila dikunjungi:
Hapushttp://martoart.multiply.com/journal/item/149/Budaya_Destruktif_Kita