Akrobat
Politik dan Subsidi BBM
Muhammad Chatib Basri, Pendiri
CReco Research Institute,
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Keputusan parlemen untuk menunda kenaikan
harga bahan bakar minyak per 1 April 2012 mengingatkan saya pada lakon drama ”Musuh Masyarakat” yang ditulis Henrik
Ibsen 130 tahun lalu. Drama memukau yang diterjemahkan oleh Asrul Sani ke dalam
bahasa Indonesia ini bicara betapa kompromi politik dan populisme bisa menjadi
alat yang efektif dalam menindas akal sehat.
Kita bisa saja tidak sependapat dengan tokoh
Dr Stockman dalam naskah itu karena toh demokrasi tak dirancang untuk mencapai
kesempurnaan, tetapi mencegah kesewenang-wenangan. Benar keputusan ini harus
dihormati. Benar sekarang ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM) jika harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) mencapai
120,75 dollar AS dalam enam bulan terakhir. Masalahnya, bagaimana jika akrobat
politik itu kemudian mengorbankan keadilan, stabilitas ekonomi makro, dan
lingkungan?
Dalam Analisis Ekonomi terdahulu, saya
menulis bahwa soal utama subsidi BBM bukanlah Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Pemerintah akan selalu punya jalan keluar untuk APBN, walau tak
mudah. Soal utama adalah keadilan bagi penduduk miskin.
Tak adil apabila dana infrastruktur untuk
penduduk miskin dikorbankan demi subsidi BBM. Mereka yang kaya bisa membangun
pembangkit listrik, jalan, pelabuhan, akses air, dan bahkan menyediakan
keamanannya sendiri, sedangkan yang miskin: amat bergantung pada infrastruktur
publik.
Dalam konsep Amartya Sen, orang menjadi
miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak
memiliki sesuatu. Jadi, kesejahteraan tercipta bukan karena barang yang kita
miliki, tetapi karena aktivitas yang memungkinkan kita memiliki barang
tersebut. Dan aktivitas itu hanya mungkin apabila ada akses, termasuk
infrastruktur. Akrobat politik telah memotong akses itu.
Selain itu, disparitas harga BBM bersubsidi
dengan harga dunia—karena penundaan ini— juga akan mendorong penyelundupan.
Akibatnya konsumsi BBM bersubsidi akan meningkat. Jika volume konsumsi BBM
meningkat menjadi 45 juta kiloliter dengan ICP 115 dollar AS per barrel, maka
subsidi BBM mencapai Rp 227,7 triliun, sementara subsidi listrik Rp 93,5
triliun. Total Rp 321,2 triliun! Padahal, belanja modal untuk infrastruktur
hanya Rp 168 triliun, dan bantuan sosial hanya Rp 55,4 triliun.
Adilkah ini? Siapa pengguna BBM? Data
menunjukkan: sepeda motor (40 persen), mobil pribadi (53 persen), angkutan
barang (4 persen), dan angkutan publik (3 persen). Mereka yang memiliki mobil
dan sepeda motor tentunya sulit dikategorikan sangat miskin. Saya tentu sangat
mendukung desakan agar pemerintah memotong belanja yang tak perlu, dan mengikis
korupsi. Tapi bukan memotong akses infrastruktur bagi penduduk miskin demi
subsidi BBM yang dinikmati oleh para penyelundup dan kelompok menengah atas.
Penundaan kenaikan harga BBM ini juga
menimbulkan ketidakpastian ekonomi. Semakin panjang ketidakpastian, semakin
banyak BBM hilang dari pasaran. Semakin tinggi ekspektasi inflasi. Tengok saja
harga akan terus naik sejak sekarang. Dampak inflasi kenaikan BBM ini bisa
lebih tinggi dari perkiraan awal. Ini yang disebut inflation overhang, inflasi menggantung
yang membayangi ekspektasi pelaku ekonomi. Masyarakat tahu, satu hari harga BBM
akan dinaikkan. Karena itu, orang mulai menaikkan harga sejak sekarang.
Ekspektasi inflasi yang tinggi ini akan
menekan nilai tukar rupiah (international
Fisher effect). Selain itu, konsumsi premium yang melonjak juga akan
meningkatkan impor minyak. Padahal, di sisi lain, pertumbuhan ekspor mulai
melambat karena situasi global. Akibatnya, defisit transaksi berjalan akan
meningkat, rupiah akan tertekan. Inilah risiko ekonomi makro yang harus dibayar
dari kompromi itu. Di sini Bank Indonesia perlu berhati-hati sekali dalam
mengelola ekspektasi inflasi.
Dua minggu lalu dalam Asian Economic Policy Review di Tokyo, sekelompok ekonom membahas
kebijakan fiskal di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia, termasuk Indonesia. Di
sana, Alan Auerbach, ekonom kenamaan dunia dalam hal fiskal, menyampaikan
bagaimana kendala politik menyulitkan kebijakan fiskal di AS. Jose Campa,
ekonom Harvard dan mantan Menteri Keuangan Spanyol, juga bercerita hal yang
sama untuk Eropa.
Menariknya, ketika saya menyampaikan risalah
tentang fiskal di Indonesia, hampir semuanya memuji Indonesia. Bahkan mantan
Menteri Keuangan Thailand menyatakan bahwa Thailand harus meniru Indonesia
dalam membatasi defisit anggaran. Satu-satunya kritik—persis seperti argumen
saya— mengapa subsidi BBM tidak dialokasikan untuk infrastruktur dan penduduk
miskin.
Jawaban saya ketika itu: rasanya parlemen dan
Pemerintah Indonesia akan menggunakan akal sehat soal BBM. Saya salah: yang
terjadi adalah akrobat yang mengorbankan keadilan bagi yang miskin, demi
popularitas politik. Kita juga melihat absennya kepemimpinan pemerintah dalam
mengelola koalisi, dalam mengelola reformasi.
Suara untuk memotong anggaran yang tak perlu,
mengikis korupsi, dan memotong subsidi BBM hanya didengar ketika defisit APBN
membengkak. Padahal, dalam kondisi surplus APBN pun, langkah itu harus tetap
dilakukan. Reformasi hanya dijalankan kalau pemerintah terdesak. Dalam keadaan
baik? Rasionalitas ekonomi kalah oleh kegemaran memupuk popularitas politik.
Akibatnya, akal sehat ditindas. Persis seperti drama Ibsen 130 tahun lalu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar