Menata
Politik Anggaran Daerah
Agus Suman, Ekonom di Universitas Brawijaya
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 19 April 2012
OTONOMI
daerah sudah bergulir lebih dari satu dasawarsa. Otonomi sudah membawa banyak
perubahan di negeri ini. Namun, otonomi yang salah arah bisa melahirkan banyak
persoalan.
Banyaknya
pemekaran daerah yang tak terbendung, tingginya biaya operasional, dan
tersedotnya anggaran untuk belanja pegawai merupakan beberapa bukti penting
yang terjadi di daerah. Hasil kajian terbaru Forum Indonesia untuk Transparansi
Anggaran (Fitra) terhadap APBD kabupaten dan kota di Indonesia (9/4)
menunjukkan bahwa terdapat 291 daerah kabupaten/kota yang porsi belanja
pegawainya melampaui 50% dana APBD. Lebih memprihatinkan lagi, 11 daerah di
antaranya membelanjakan 70% dana APBD hanya untuk belanja pegawai. Akibatnya,
daerah-daerah tersebut terancam gulung tikar karena tidak lagi memiliki
anggaran.
Dalam
konteks ini, politik anggaran di daerah masih bercorak inefisiensi, jauh
panggang dari api terhadap efektivitas dana yang seharusnya sejalan dengan
esensinya.
Efektivitas dan Efisiensi
Politik
anggaran di daerah perlu direkonstruksi, menyangkut ketegasan politik dan
reformasi kelembagaan. Hal itu diperlukan dalam menghadapi membeludaknya
pemekaran daerah.
Dalam
kurun waktu 19992010, setidaknya telah terbentuk 205 daerah otonom baru dari
berbagai tingkatan, atau bertambah sekitar 63% bila dibandingkan dengan daerah
otonom di masa akhir Orde Baru. Belum lagi masih ada sekitar 178 proposal baru
hingga beberapa waktu yang lalu.
Biaya
operasional, khususnya anggaran untuk pegawai, begitu mendominasi. Hal itu akan
semakin membangkrutkan negara dan daerah sendiri karena total PNS berjumlah
3.725.311 orang pada 2006, 4.067.201 (2007), lalu 4.083.360 (2008), 4.524.205
(2009), dan 4.598.100 (2010). Pada tahun ini saja 300 ribu-350 ribu PNS baru
akan diangkat.
Lihat
saja, pada 2007 sebesar Rp90,43 triliun atau sekitar 17,91% dari APBN terserap
untuk membiayai PNS. Adapun pada 2011 meroket menjadi Rp180,82 triliun atau
sebesar 21,61% dari belanja APBN. Dari jumlah itu, sekitar Rp91,2 triliun atau
50,5%-nya dialokasikan untuk pos belanja gaji serta tunjangan. Angka itu naik
sekitar Rp17,9 triliun atau sekitar 11% jika dibandingkan dengan APBN-P 2010
yang masih Rp162,7 triliun.
Selain
itu, porsi belanja b birokrasi dalam APBN 2012 s sudah mencapai 41,85% atau
Rp404,863 triliun dari total belanja pemerintah pusat (setelah dikurangi dana
transfer daerah) sebesar Rp964,997 triliun. Pos subsidi dan belanja modal menem
pati urutan selan jutnya, masing masing 20,64% (Rp208,850 triliun) dan 15,52%
(Rp151,975 triliun). Belanja pemerintah tahun 20062012 juga tumbuh rata-rata mencapai
19,05%. Rinciannya, belanja pemerintah pusat tumbuh 16,6%, belanja pegawai
tumbuh 19,6%, dan belanja barang tumbuh 38%.
Ironisnya,
kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik. Fakta di lapangan menggambarkan
tingkat kesejahteraan rakyat semakin menurun. Hal itu tecermin dari Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis Program Pembangunan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (UNDP) yang menunjukkan peringkat IPM Indonesia merosot drastis
dari posisi 108 menjadi 124.
Indikator
IPM itu mencakup itu mencakup akses kesehatan, pendidikan, dan pendapatan.
Selain itu, total angka kemiskinan (jumlah penduduk sangat miskin, miskin, dan
hampir miskin) naik menjadi 67,64 juta jiwa pada 2011 bila dibandingkan dengan
tahun 2010 sebesar 64,54 juta jiwa.
Malah
banyak pembangunan infrastruktur di daerah yang terbengkalai akibat minimnya
dana. Jalan, jembatan, dan rel kereta api rusak sudah menjadi pemandangan khas
di daerah. Padahal masalah infrastruktur merupakan bagian yang krusial dan
secara langsung berkaitan erat dengan esensi awal mengapa diberlakukan otonomi
daerah.
Politik
anggaran, di lain pihak, semakin mempri hatinkan tatkala banyak dana menganggur
di perbankan yang nominalnya mencapai ratusan triliun rupiah. Kegemaran pemda
menyimpan dana di bank sejatinya sebagai wujud kekhawatiran mereka akan
rentannya indikasi korupsi dalam penggunaan APBD.
Dalam
konteks demikian, efisiensi dan efektivitas mutlak dilakukan dalam payung
ketegasan politiknya. Hal itu diperlukan untuk memanajemen pembangunan,
khususnya di bidang anggaran, agar lebih akurat dan tepat sasaran. Maka,
masalah mendesak dalam ketegasan politik dari efektivitas sehubungan dengan
anggaran daerah ialah pemaksimalan kinerja badan-badan usaha milik daerah dan
penyerapan APBD/DAU, khususnya yang banyak tersimpan di perbankan. Sebab, hal
itu kontradiktif dengan keperluan modal finansial yang besar, seperti
pembangunan infrastruktur dan pembangunan perekonomian daerah.
Efektivitas
dalam politik anggaran juga menyangkut perencanaan dan pembahasan anggaran yang
lebih melibatkan pada berbagai pihak berwenang, khususnya menyangkut pembahasan
prioritas pembangunan dalam suatu daerah.
Adapun
efisiensi, Adapun efisiensi, khususnya, menyangkut pembagian dan pemaksimalan
potensi sumber daya yang su dah ada. Hal itu berkaca pada terbatasnya APBD yang
sepenuhnya tidak cukup untuk menjalankan biaya otonomi. Pendapatan asli daerah
(PAD) juga masih melempem, pemda masih sangat bergantung pada transfer pusat ke
daerah.
Efisiensi
juga diperlukan untuk membendung persoalan buruknya tata kelola (good corporate
governance) di daerah, karena saat ini baru sekitar 5% daerah yang benar-benar
menjalankannya dengan baik.
Patogen
anggaran yang mayoritas terserap untuk belanja pegawai mutlak perlu direduksi.
Bayangkan, alokasi pembiayaan pegawai di 124 pemda rata-rata di atas 60%80%
dari total belanja. Padahal secara kuantitas, jumlah PNS di daerah hanya berkisar
2% dari total penduduk. Sebesar 98% penduduk di daerah hanya menikmati sekitar
20%-40%, bahkan kurang, dari anggaran belanja modal dan barang.
Mengutip
pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar
Abubakar, paradoksnya, dari 4,7 juta PNS, yang benar-benar produktif dan
efisien menghasilkan sumbangsih bagi negara hanya 5%. Sisanya kebanyakan asal
kerja, menghambur-hamburkan uang negara. Dalam gambaran ini terlihat jelas
betapa buruknya efisiensi anggaran daerah.
Dari kedua instrumen ini, yakni efektivitas
dan efisiensi, pembangunan daerah menyangkut politik anggaran diharapkan bisa
dilakukan dengan lebih baik, khususnya menyangkut paradigma, kebijakan, dan
implementasinya di lapangan agar tepat sasaran sesuai dengan tujuan mulia
otonomi daerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar