Jumat, 20 April 2012

Menata Politik Anggaran Daerah

Menata Politik Anggaran Daerah
Agus Suman, Ekonom di Universitas Brawijaya
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 19 April 2012


OTONOMI daerah sudah bergulir lebih dari satu dasawarsa. Otonomi sudah membawa banyak perubahan di negeri ini. Namun, otonomi yang salah arah bisa melahirkan banyak persoalan.

Banyaknya pemekaran daerah yang tak terbendung, tingginya biaya operasional, dan tersedotnya anggaran untuk belanja pegawai merupakan beberapa bukti penting yang terjadi di daerah. Hasil kajian terbaru Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) terhadap APBD kabupaten dan kota di Indonesia (9/4) menunjukkan bahwa terdapat 291 daerah kabupaten/kota yang porsi belanja pegawainya melampaui 50% dana APBD. Lebih memprihatinkan lagi, 11 daerah di antaranya membelanjakan 70% dana APBD hanya untuk belanja pegawai. Akibatnya, daerah-daerah tersebut terancam gulung tikar karena tidak lagi memiliki anggaran.

Dalam konteks ini, politik anggaran di daerah masih bercorak inefisiensi, jauh panggang dari api terhadap efektivitas dana yang seharusnya sejalan dengan esensinya.

Efektivitas dan Efisiensi

Politik anggaran di daerah perlu direkonstruksi, menyangkut ketegasan politik dan reformasi kelembagaan. Hal itu diperlukan dalam menghadapi membeludaknya pemekaran daerah.

Dalam kurun waktu 19992010, setidaknya telah terbentuk 205 daerah otonom baru dari berbagai tingkatan, atau bertambah sekitar 63% bila dibandingkan dengan daerah otonom di masa akhir Orde Baru. Belum lagi masih ada sekitar 178 proposal baru hingga beberapa waktu yang lalu.

Biaya operasional, khususnya anggaran untuk pegawai, begitu mendominasi. Hal itu akan semakin membangkrutkan negara dan daerah sendiri karena total PNS berjumlah 3.725.311 orang pada 2006, 4.067.201 (2007), lalu 4.083.360 (2008), 4.524.205 (2009), dan 4.598.100 (2010). Pada tahun ini saja 300 ribu-350 ribu PNS baru akan diangkat.

Lihat saja, pada 2007 sebesar Rp90,43 triliun atau sekitar 17,91% dari APBN terserap untuk membiayai PNS. Adapun pada 2011 meroket menjadi Rp180,82 triliun atau sebesar 21,61% dari belanja APBN. Dari jumlah itu, sekitar Rp91,2 triliun atau 50,5%-nya dialokasikan untuk pos belanja gaji serta tunjangan. Angka itu naik sekitar Rp17,9 triliun atau sekitar 11% jika dibandingkan dengan APBN-P 2010 yang masih Rp162,7 triliun.

Selain itu, porsi belanja b birokrasi dalam APBN 2012 s sudah mencapai 41,85% atau Rp404,863 triliun dari total belanja pemerintah pusat (setelah dikurangi dana transfer daerah) sebesar Rp964,997 triliun. Pos subsidi dan belanja modal menem pati urutan selan jutnya, masing masing 20,64% (Rp208,850 triliun) dan 15,52% (Rp151,975 triliun). Belanja pemerintah tahun 20062012 juga tumbuh rata-rata mencapai 19,05%. Rinciannya, belanja pemerintah pusat tumbuh 16,6%, belanja pegawai tumbuh 19,6%, dan belanja barang tumbuh 38%.

Ironisnya, kesejahteraan rakyat tak kunjung membaik. Fakta di lapangan menggambarkan tingkat kesejahteraan rakyat semakin menurun. Hal itu tecermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dirilis Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang menunjukkan peringkat IPM Indonesia merosot drastis dari posisi 108 menjadi 124.

Indikator IPM itu mencakup itu mencakup akses kesehatan, pendidikan, dan pendapatan. Selain itu, total angka kemiskinan (jumlah penduduk sangat miskin, miskin, dan hampir miskin) naik menjadi 67,64 juta jiwa pada 2011 bila dibandingkan dengan tahun 2010 sebesar 64,54 juta jiwa.

Malah banyak pembangunan infrastruktur di daerah yang terbengkalai akibat minimnya dana. Jalan, jembatan, dan rel kereta api rusak sudah menjadi pemandangan khas di daerah. Padahal masalah infrastruktur merupakan bagian yang krusial dan secara langsung berkaitan erat dengan esensi awal mengapa diberlakukan otonomi daerah.

Politik anggaran, di lain pihak, semakin mempri hatinkan tatkala banyak dana menganggur di perbankan yang nominalnya mencapai ratusan triliun rupiah. Kegemaran pemda menyimpan dana di bank sejatinya sebagai wujud kekhawatiran mereka akan rentannya indikasi korupsi dalam penggunaan APBD.

Dalam konteks demikian, efisiensi dan efektivitas mutlak dilakukan dalam payung ketegasan politiknya. Hal itu diperlukan untuk memanajemen pembangunan, khususnya di bidang anggaran, agar lebih akurat dan tepat sasaran. Maka, masalah mendesak dalam ketegasan politik dari efektivitas sehubungan dengan anggaran daerah ialah pemaksimalan kinerja badan-badan usaha milik daerah dan penyerapan APBD/DAU, khususnya yang banyak tersimpan di perbankan. Sebab, hal itu kontradiktif dengan keperluan modal finansial yang besar, seperti pembangunan infrastruktur dan pembangunan perekonomian daerah.

Efektivitas dalam politik anggaran juga menyangkut perencanaan dan pembahasan anggaran yang lebih melibatkan pada berbagai pihak berwenang, khususnya menyangkut pembahasan prioritas pembangunan dalam suatu daerah.

Adapun efisiensi, Adapun efisiensi, khususnya, menyangkut pembagian dan pemaksimalan potensi sumber daya yang su dah ada. Hal itu berkaca pada terbatasnya APBD yang sepenuhnya tidak cukup untuk menjalankan biaya otonomi. Pendapatan asli daerah (PAD) juga masih melempem, pemda masih sangat bergantung pada transfer pusat ke daerah.

Efisiensi juga diperlukan untuk membendung persoalan buruknya tata kelola (good corporate governance) di daerah, karena saat ini baru sekitar 5% daerah yang benar-benar menjalankannya dengan baik.

Patogen anggaran yang mayoritas terserap untuk belanja pegawai mutlak perlu direduksi. Bayangkan, alokasi pembiayaan pegawai di 124 pemda rata-rata di atas 60%80% dari total belanja. Padahal secara kuantitas, jumlah PNS di daerah hanya berkisar 2% dari total penduduk. Sebesar 98% penduduk di daerah hanya menikmati sekitar 20%-40%, bahkan kurang, dari anggaran belanja modal dan barang.

Mengutip pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar, paradoksnya, dari 4,7 juta PNS, yang benar-benar produktif dan efisien menghasilkan sumbangsih bagi negara hanya 5%. Sisanya kebanyakan asal kerja, menghambur-hamburkan uang negara. Dalam gambaran ini terlihat jelas betapa buruknya efisiensi anggaran daerah.

Dari kedua instrumen ini, yakni efektivitas dan efisiensi, pembangunan daerah menyangkut politik anggaran diharapkan bisa dilakukan dengan lebih baik, khususnya menyangkut paradigma, kebijakan, dan implementasinya di lapangan agar tepat sasaran sesuai dengan tujuan mulia otonomi daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar