Jumat, 20 April 2012

Hakikat Legislasi


Hakikat Legislasi
W Riawan Tjandra, Direktur Program Pascasarjana Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Associate Researcher IRE-Yogyakarta
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 19 April 2012


“Proses legislasi yang dilaksanakan badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri ini harus sampai pada upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang memiliki legitimasi yang di dalamnya terkandung nilai (nomos)."

LEGISLASI selama ini dikenal merupakan proses dan produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by special organ).
Sering arti legislasi itu dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk membentuk undang-undang sebagai primary legislation, yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif untuk membuat peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai secondary legislation melalui proses regulasi. Namun, sering kedua istilah tersebut (legislasi dan regulasi) disamakan artinya karena memang pengertian legislasi dalam arti luas mencakup pula pengertian regulasi, yaitu bahwa legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making power by the laws).

Regulasi sendiri sejatinya memiliki makna proses menetapkan peraturan umum oleh badan eksekutif atau badan yang memiliki kekuasaan atau fungsi eksekutif. Kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan delegasian (delegation of legislative power, delegation of rule making power, delegatie van wetgevendemacht).
 
Regulasi tidak melibatkan pihak legislatif, tetapi dalam pembentukannya harus berdasar pada ketentuan undang-undang. Sebagai contoh, dalam UUD 1945 Pasal 5 ayat (2), tentang kekuasaan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang. Kewenangan tersebut dikenal dengan pouvoir reglementaire atau `kekuasaan pengaturan'. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal pula bentuk peraturan presiden (perpres), sebagai peraturan delegasian dari undang-undang dan/atau dari peraturan pemerintah.

Proses legislasi merupakan upaya untuk membentuk norma hukum yang ditetapkan sebagai pedoman perilaku (the guidance of behaviour) bagi masyarakat. Norma tersebut berasal dari kata nomos yang berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Jadi, hakikat proses legislasi adalah proses pelembagaan nilai yang dapat dipergunakan sebagai ukuran baik/buruk dan boleh/tidak suatu perbuatan dilakukan seseorang yang dapat dilekati dengan sanksi sebagai pemaksa kepatuhan (legal and order).

Tak dapat disangkal bahwa pembentukan suatu norma hukum (arti sempit dari nomos) dilakukan melalui suatu proses legislasi yang dilakukan parlemen sebagai lembaga politik dan di beberapa negara dilakukan bersama-sama dengan eksekutif. Proses yang sarat dengan muatan politik tersebut selama ini dikesankan undang-undang sebagai primary legislation adalah produk politik. Namun, pemahaman seperti itu tak boleh dilepaskan dari hakikat makna dari legislasi untuk membentuk suatu nilai (nomos). Jika makna legislasi dilepaskan dari upaya pembentukan nomos dan hanya menekankan pada prosesnya dapat berimplikasi makna legislasi direduksi sekadar sebagai hasil dari proses tawarmenawar politik (political bargaining) yang mencabut makna legislasi dari makna hakikinya. Hal kedua itulah yang selama ini terjadi dalam realitas proses legislasi di negeri ini.

Dengan mencermati hakikat legislasi tersebut, tak salah jika ada penilaian bahwa perubahan UU No 10 Tahun 2004 menjadi UU No 12 Tahun 2011 tak ubahnya hanya bergerak pada wilayah administratifprosedural proses legislasi dengan sedikit polesan/kemasan khususnya pada bagian lampiran mengenai penyusunan naskah akademik, daripada upaya untuk mengembalikan hakikat makna legislasi sebagai proses pelembagaan nilai.

Sedikit catatan pula terhadap pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut yang tak lepas dari pandangan mengenai stufenbau des rechtnya Hans Kelsen, tak mampu berbuat banyak untuk memberi tempat terhadap hukumhukum adat yang sebenarnya merupakan hukum asli dari berbagai suku-suku bangsa Nusantara yang berhimpun dalam NKRI ini.

Kuatnya paradigma positivisme dalam sistem legislasi di negeri ini sebagai warisan kolonialisasi acap kali diperparah cara pandang para hakim di wilayah yudikatif yang selama ini lebih banyak berperan sebagai `corong undang-undang' (bouche de la loi) daripada menjadi para hakim progresif yang bisa menghasilkan putusan yang memiliki bobot nilai keadilan tinggi sebagai suatu landmark decision.

Setelah mencermati berbagai kelemahan praktik legislasi yang selama ini telah mencabut akar makna sejati dari legislasi untuk melembagakan suatu nilai (nomos), diperlukan 
adanya revolusi paradigma dalam proses legislasi. Legislasi harus dikembalikan pada makna sejatinya dan itu berarti menghendaki para legislator yang mampu mengedepankan sikap kenegarawanan, bukan sekadar segerombolan politikus yang mencari makan di gedung miring Senayan.

Proses revisi UU APBN dengan melakukan amendemen terhadap UU No 22/2011 tentang APBN melalui penambahan ayat (6A) pada Pasal 7 merupakan contoh proses legislasi yang lebih sarat muatan kepentingan tanpa mengindahkan teori dan prinsip-prinsip dalam pembentukan materi muatan sebuah undang-undangan yang baik. Amendemen terhadap UU APBN tersebut kemudian juga dimaksudkan untuk menambahkan beberapa klausul baru, seperti Pasal 7 ayat (1) A, Pasal 8A, Pasal 15 ayat (2), Pasal 15 A dan B, dan Pasal 20 ayat (1).

Dalam telaah filsafat legislasi, sebuah legislasi yang baik dalam pandangan Max Weber harus legitimate. Menurut Weber, sebuah produk hukum tergolong legitimate manakala di dalamnya terkandung keistimewaan sebagai teladan dan mampu mendorong kepatuhan. Ketika seseorang mematuhi produk hukum bukan karena kepentingan diri, melainkan karena kepercayaan terhadap nilai substantif sebuah produk hukum, di situlah suatu produk hukum sebagai hasil dari proses legislasi memiliki legitimasi.

Proses legislasi yang dilaksanakan badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri ini harus sampai pada upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang memiliki legitimasi yang di dalamnya terkandung nilai (nomos). Semua itu tentunya menghendaki para legislator yang mampu menjadi anutan/ teladan dalam perilaku dan pelaksanaan fungsi sebagai wakil rakyat.

Para wakil rakyat yang bermasalah dan kemudian bertindak sebagai legislator hanya akan menghasilkan proses legislasi yang bermasalah dengan berbagai produk hukum yang sebenarnya hanya menjadi bukti kasatmata kepentingan politik/kelompok/parsial yang diberi baju hukum dan agar `berkesan' sebagai sebuah norma, kepadanya diatasnamakan `kepentingan rakyat'. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar