Hakikat
Legislasi
W Riawan Tjandra, Direktur Program Pascasarjana Universitas
Atma Jaya Yogyakarta dan Associate Researcher IRE-Yogyakarta
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 19 April 2012
“Proses
legislasi yang dilaksanakan badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri
ini harus sampai pada upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang
memiliki legitimasi yang di dalamnya terkandung nilai (nomos)."
LEGISLASI
selama ini dikenal merupakan proses dan produk pembuatan undang-undang (the creation of general legal norm by
special organ).
Sering arti legislasi itu dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk membentuk undang-undang sebagai primary legislation, yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif untuk membuat peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai secondary legislation melalui proses regulasi. Namun, sering kedua istilah tersebut (legislasi dan regulasi) disamakan artinya karena memang pengertian legislasi dalam arti luas mencakup pula pengertian regulasi, yaitu bahwa legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making power by the laws).
Sering arti legislasi itu dikaitkan dengan upaya badan parlemen untuk membentuk undang-undang sebagai primary legislation, yang dibedakan dengan otoritas badan pelaksana/eksekutif untuk membuat peraturan pelaksanaan undang-undang sebagai secondary legislation melalui proses regulasi. Namun, sering kedua istilah tersebut (legislasi dan regulasi) disamakan artinya karena memang pengertian legislasi dalam arti luas mencakup pula pengertian regulasi, yaitu bahwa legislasi dalam arti luas termasuk pula pembentukan peraturan pemerintah dan peraturan-peraturan lain yang mendapat delegasian kewenangan dari undang-undang (delegation of rule making power by the laws).
Regulasi
sendiri sejatinya memiliki makna proses menetapkan peraturan umum oleh badan
eksekutif atau badan yang memiliki kekuasaan atau fungsi eksekutif. Kekuasaan
tersebut merupakan kekuasaan delegasian (delegation
of legislative power, delegation of rule making power, delegatie van
wetgevendemacht).
Regulasi tidak melibatkan pihak legislatif, tetapi dalam pembentukannya harus
berdasar pada ketentuan undang-undang. Sebagai contoh, dalam UUD 1945 Pasal 5
ayat (2), tentang kekuasaan presiden untuk menetapkan peraturan pemerintah
sebagai pelaksanaan undang-undang. Kewenangan tersebut dikenal dengan pouvoir
reglementaire atau `kekuasaan pengaturan'. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dikenal pula bentuk
peraturan presiden (perpres), sebagai peraturan delegasian dari undang-undang
dan/atau dari peraturan pemerintah.
Proses
legislasi merupakan upaya untuk membentuk norma hukum yang ditetapkan sebagai
pedoman perilaku (the guidance of
behaviour) bagi masyarakat. Norma tersebut berasal dari kata nomos yang
berarti nilai dan kemudian dipersempit maknanya menjadi norma hukum. Jadi,
hakikat proses legislasi adalah proses pelembagaan nilai yang dapat
dipergunakan sebagai ukuran baik/buruk dan boleh/tidak suatu perbuatan
dilakukan seseorang yang dapat dilekati dengan sanksi sebagai pemaksa kepatuhan
(legal and order).
Tak
dapat disangkal bahwa pembentukan suatu norma hukum (arti sempit dari nomos)
dilakukan melalui suatu proses legislasi yang dilakukan parlemen sebagai
lembaga politik dan di beberapa negara dilakukan bersama-sama dengan eksekutif.
Proses yang sarat dengan muatan politik tersebut selama ini dikesankan
undang-undang sebagai primary legislation
adalah produk politik. Namun, pemahaman seperti itu tak boleh dilepaskan dari
hakikat makna dari legislasi untuk membentuk suatu nilai (nomos). Jika makna
legislasi dilepaskan dari upaya pembentukan nomos dan hanya menekankan pada
prosesnya dapat berimplikasi makna legislasi direduksi sekadar sebagai hasil
dari proses tawarmenawar politik (political
bargaining) yang mencabut makna legislasi dari makna hakikinya. Hal kedua
itulah yang selama ini terjadi dalam realitas proses legislasi di negeri ini.
Dengan
mencermati hakikat legislasi tersebut, tak salah jika ada penilaian bahwa
perubahan UU No 10 Tahun 2004 menjadi UU No 12 Tahun 2011 tak ubahnya hanya
bergerak pada wilayah administratifprosedural proses legislasi dengan sedikit
polesan/kemasan khususnya pada bagian lampiran mengenai penyusunan naskah
akademik, daripada upaya untuk mengembalikan hakikat makna legislasi sebagai proses
pelembagaan nilai.
Sedikit
catatan pula terhadap pengaturan mengenai jenis dan hierarki peraturan
perundang-undangan dalam UU No 12 Tahun 2011 tersebut yang tak lepas dari
pandangan mengenai stufenbau des rechtnya Hans Kelsen, tak mampu berbuat banyak
untuk memberi tempat terhadap hukumhukum adat yang sebenarnya merupakan hukum
asli dari berbagai suku-suku bangsa Nusantara yang berhimpun dalam NKRI ini.
Kuatnya
paradigma positivisme dalam sistem legislasi di negeri ini sebagai warisan
kolonialisasi acap kali diperparah cara pandang para hakim di wilayah yudikatif
yang selama ini lebih banyak berperan sebagai `corong undang-undang' (bouche de la loi) daripada menjadi para
hakim progresif yang bisa menghasilkan putusan yang memiliki bobot nilai
keadilan tinggi sebagai suatu landmark decision.
Setelah
mencermati berbagai kelemahan praktik legislasi yang selama ini telah mencabut
akar makna sejati dari legislasi untuk melembagakan suatu nilai (nomos),
diperlukan
adanya revolusi paradigma dalam proses legislasi. Legislasi harus
dikembalikan pada makna sejatinya dan itu berarti menghendaki para legislator
yang mampu mengedepankan sikap kenegarawanan, bukan sekadar segerombolan
politikus yang mencari makan di gedung miring Senayan.
Proses
revisi UU APBN dengan melakukan amendemen terhadap UU No 22/2011 tentang APBN
melalui penambahan ayat (6A) pada Pasal 7 merupakan contoh proses legislasi
yang lebih sarat muatan kepentingan tanpa mengindahkan teori dan
prinsip-prinsip dalam pembentukan materi muatan sebuah undang-undangan yang
baik. Amendemen terhadap UU APBN tersebut kemudian juga dimaksudkan untuk
menambahkan beberapa klausul baru, seperti Pasal 7 ayat (1) A, Pasal 8A, Pasal
15 ayat (2), Pasal 15 A dan B, dan Pasal 20 ayat (1).
Dalam
telaah filsafat legislasi, sebuah legislasi yang baik dalam pandangan Max Weber
harus legitimate. Menurut Weber, sebuah produk hukum tergolong legitimate
manakala di dalamnya terkandung keistimewaan sebagai teladan dan mampu
mendorong kepatuhan. Ketika seseorang mematuhi produk hukum bukan karena
kepentingan diri, melainkan karena kepercayaan terhadap nilai substantif sebuah
produk hukum, di situlah suatu produk hukum sebagai hasil dari proses legislasi
memiliki legitimasi.
Proses
legislasi yang dilaksanakan badan parlemen bersama dengan eksekutif di negeri
ini harus sampai pada upaya untuk menghasilkan berbagai produk hukum yang
memiliki legitimasi yang di dalamnya terkandung nilai (nomos). Semua itu
tentunya menghendaki para legislator yang mampu menjadi anutan/ teladan dalam
perilaku dan pelaksanaan fungsi sebagai wakil rakyat.
Para wakil rakyat yang bermasalah dan
kemudian bertindak sebagai legislator hanya akan menghasilkan proses legislasi
yang bermasalah dengan berbagai produk hukum yang sebenarnya hanya menjadi
bukti kasatmata kepentingan politik/kelompok/parsial yang diberi baju hukum dan
agar `berkesan' sebagai sebuah norma,
kepadanya diatasnamakan `kepentingan
rakyat'. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar