Sabtu, 07 April 2012

Menata Masa Depan Riset Indonesia


Menata Masa Depan Riset Indonesia
Vita Alwina Daravonsky Busyra, Ketua Persatuan/Perhimpunan Mahasiswa Indonesia
di Amerika Serikat (Permias) Houston
SUMBER : SINDO, 07 April 2012



Pertengahan Maret lalu, bertempat di University of Maryland, College Park, Amerika Serikat (AS), Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4), Permias DC, dan Indonesian American Association (IAA) didukung oleh KBRI Washington menyelenggarakan workshop dengan tema “Bridging International Cooperation in Research and Education between Indonesia and USA”.

Dalam workshop itu, tampil sebagai panelis antara lain Prof Dr Yohanes Surya, Prof Dr Fasli Jalal, Prof Dr Anies Baswedan, Prof Dr Nelson Tansu, dan Prof Dr Yow-Pin Lim dari Indonesia. Sementara dari AS hadir President of the Association of State and Land-grant Universities Dr M Peter McPherson dan dari National Science Foundation Prof Tom Chapman.

Perkuat Kerja Sama

Event yang baru pertama kali diselenggarakan di AS itu bertujuan membentuk Center of Excellence Indonesia-AS, terutama bagi para peneliti yang ada di kedua negara. Selain kerja sama peneliti, pada workshop itu juga mengemuka harapan di kalangan peserta untuk memperkuat jaringan komunikasi dan kerja sama riset antarpeneliti Indonesia di AS dan Indonesia.

Seperti kita dan dunia tahu, Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar. Namun, sebetulnya kekayaan Indonesia yang lebih besar adalah sumber daya manusia (SDM), khususnya ilmuwan putra-putri bangsa Indonesia. SDM Indonesia justru tersebar luas di berbagai pelosok dan wilayah dunia, di hampir semua negara, termasuk AS.

Di AS, ilmuwan dan peneliti Indonesia telah mampu menyamai bahkan bersaing dengan ilmuwan dan peneliti AS sendiri maupun peneliti dari negara-negara lain seperti Jepang, China, India, dan Eropa. Bahkan di bidang-bidang tertentu, peneliti Indonesia lebih menonjol pula. Profesor termuda di AS misalnya ternyata berasal dari Indonesia, yaitu Prof Dr Nelson Tansu, yang juga menjadi panelis di forum tersebut. Peneliti Indonesia ternyata juga dibayar lebih mahal.

Sebagai anak bangsa, tentu kita senang dan bangga. Namun apabila kita tengok ke dalam negeri kita sendiri, muncul pertanyaan dan bahkan keprihatinan. Apakah aset bangsa Indonesia yang ada di luar negeri, terutama di AS itu, telah memberikan dampak positif yang nyata bagi kehidupan dan kemajuan bangsa dan negara kita di dalam negeri? Jawabannya, belum banyak. Ini yang perlu kita kaji dan renungkan.

Perlu Disimak

Ada beberapa catatan penting yang perlu kita simak terkait dengan masalah ini. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan perhatian dan apresiasi terhadapkarya danprodukproduk penelitian anak bangsa. Selama ini produk-produk penelitian mereka belum digunakan dan dimanfaatkan secara maksimal.Bahkan banyak pula yang dikesampingkan dengan bermacam alasan dan pertimbangan.

Padahal, pemerintah dapat mengolaborasikan mereka dengan industri-industri lokal untuk mengembangkan hasil penelitian mereka. Produk lokal kita diakui masih lemah dalam berkompetisi dengan produk impor karena rendahnya kualitas atau harganya mahal. Rendahnya kualitas produk disebabkan karena miskinnya riset dan penelitian. Miskinnya riset disebabkan minimnya dana yang tersedia.

Di sini pemerintah semestinya turun tangan untuk menyediakan dana,media,dan sarana untuk riset dan penelitian yang berorientasi pada kebutuhan industri. Kedua, perhatian pemerintah terhadap periset dan peneliti di dalam negeri ternyata juga masih kurang, baik dari segi fasilitas, wadah maupun kesejahteraan. Bayangkan,gaji seorang profesor riset di Indonesia hanya Rp5,2 juta per bulan.

Sementara peneliti Indonesia di AS Rp80–90 juta per bulan. Jangankan di AS, di Malaysia saja gaji peneliti riset Rp25 juta per bulan dan Filipina Rp20 juta per bulan. Padahal peranan peneliti sangat penting dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu bangsa. Jika kita lihat dana riset di Indonesia juga sangat kecil. Tahun 2011, hanya 0,08% dari PDB, jauh dari idealnya 1%.

China mengalokasikan 1,5%, bahkan menargetkan 2% tiga tahun mendatang. Sementara AS 2,85%. Dengan gaji dan dana riset yang begitu besar di luar negeri, peneliti Indonesia yang berkualitas lebih banyak yang tertarik bekerja di sana. Lagipula fasilitas dan tunjangan yang mereka terima pun besar.Akibatnya, Indonesia kekurangan tenaga riset dan peneliti.Buktinya tahun 2006, Indonesia hanya memiliki 7.000 peneliti, termasuk 352 profesor riset.

Sementara AS yang luas wilayah dan penduduknya tidak jauh berbeda dari Indonesia memiliki 1,39 juta peneliti. Ketiga, koordinasi antarlembaga riset di Indonesia sangat kurang.Pemerintah telah mendirikan 474 lembaga riset di berbagai perguruan tinggi, kementerian, dan lembaga penelitian nonkementerian. Namun hampir seluruhnya bekerja sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang baik.

Mereka saling tidak tahu apakah riset yang sedang mereka lakukan juga dilakukan lembaga riset lain. Contohnya, penelitian biodiesel sawit. Ternyata ada 11 lembaga penelitian yang melakukan riset yang sama tentang itu. Ini artinya terjadi pemborosan dana. Sementara anggaran penelitian sebesar Rp15,2 miliar tidak sampai pula ke tahap aplikasi massal.

Ingin Pulang

Sebenarnya banyak sekali periset dan peneliti Indonesia di luar negeri, termasuk di AS, ingin sekali kembali ke Tanah Air guna mengabdikan diri mereka kepada bangsa dan negara sendiri.Namun,untuk kembali ternyata tidak semudah yang mereka bayangkan. Terutama karena faktor-faktor yang disebutkan pada butir di atas.

Workshop di University of Maryland merupakan langkah awal yang sangat baik untuk ikut menyumbang pikiran dalam menata masa depan riset dan penelitian Indonesia. Meski berlangsung singkat dan padat, nyatanya workshop itu telah membuka mata dan telinga banyak ilmuwan Indonesia baik yang berada di AS maupun yang datang langsung dari Indonesia dan negara lain tentang arti riset dan penelitian dikaitkan dengan kepentingan pembangunan bangsa kita.

Kita berharap agar perhatian pemerintah terhadap riset dan penelitian semakin baik dan meningkat di masa mendatang. Pada saat yang sama proyek-proyek penelitian di Indonesia dan AS serta center of excellence yang digemakan itu sukses pula adanya.

1 komentar:

  1. sebuah artikel yg cukup menarik,,,namun artikel yg kebanyakan di tulis selalu berhenti dianalisis masalah dan lagi2 pemerintah mnjdi biang kerok,,kenapa diakhir tulisan tdk dibuat solusi nyata,,diasumsikan kita tdk ush mengharapkan bnyk bantuan dr pemerintah untk membuat para peneliti ini bisa memanfaatkn kejeniusanny thd bangsa kita,jika kita berharap pemerintah menyediakan dana,perhatian,dsb ya sama saja pungguk merindukan bulan,,intinya kalo mmg benar2 peneliti yg ad d luar itu mencintai bangsa ini apa?klo ksmpulanny mreka "hanya ingin pulang" saja yaa berarti bisa diprediksi akan bernasib sama para penerus bangsa yg cerdas2 akn lbh "nyaman" meneliti di luar negeri drpd d ind,,

    BalasHapus