Sabtu, 07 April 2012

Kisruh Koalisi vs PKS, Absen Fatsun


Kisruh Koalisi vs PKS, Absen Fatsun
Moh Mahfud MD, Guru Besar Hukum Konstitusi
SUMBER : SINDO, 07 April 2012



Menjelang tengah malam, Selasa, 3 April 2012, Sekretaris Sekretariat Gabungan (Setgab) Koalisi Syarif Hasan mengumumkan, ”Keberadaan PKS di Setgab Koalisi berakhir.” Itulah hasil rapat Setgab Koalisi yang dipimpin langsung oleh Ketua Setgab Susilo Bambang Yudhoyono.

Alasannya, partai tersebut telah bersikap indisipliner dengan memilih opsi yang berbeda dari partai anggota Setgab lain, terutama dengan Partai Demokrat, dalam penentuan harga bahan bakar minyak (BBM) untuk APBN-P 2012. Tak ada penjelasan,apa yang dimaksud berakhir di koalisi itu. Publik pun banyak yang menduga, kalau berakhir kebersamaan dalam koalisi, tak ada arti lain kecuali bahwa menteri-menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) harus hengkang dari Kabinet Indonesia Bersatu II.

Tetapi PKS sendiri tak mau mengartikan bahwa pengumuman dari Syarif Hasan itu sebagai keharusan mereka keluar dari kabinet.Apalagi Syarif Hasan pun ketika ditanya tentang itu hanya mengatakan bahwa masalahnya sudah jelas, padahal bagi publik hal itu sama sekali tak jelas.PKS sendiri tidak (belum) diberi tahu secara resmi tentang keputusan rapat Setgab itu, sehingga partai tersebut mengaku belum bisa bersikap,bahkan terkesan takut kehilangan posisi menteri- menterinya di kabinet.

Terlebih lagi tak semua anggota Setgab memberi penjelasan yang sama. Suryadharma Ali dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengatakan, berakhirnya keberadaan PKS dari koalisi berarti PKS harus menarik menteri-menterinya dari kabinet. Namun Viva Yoga Mauladi dari Partai Amanat Nasional (PAN) menyatakan sebaliknya, baik secara de factomaupun secara de jure, PKS masih bagian dari koalisi.

Seorang wakil sekjen Partai Demokrat mengatakan, PKS masih bisa mempertahankan kursinya di kabinet asal mau memperbaiki diri. Tetapi Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie menyatakan keberadaan PKS di koalisisudahtamat. Kisruh ,kan? Sungguh aneh, masalah yang sepenting itu tidak dikomunikasikan dengan jelas,baik kepada PKS maupun publik.

PKS sebagai subjek yang terkena langsung, minimal sampai Jumat kemarin, tidak diberi tahu secara resmi, baik secara lisan maupun melalui surat. Sementara publik hanya diberi teka-teki bahwa “kebersamaan PKS di koalisi sudah berakhir” tanpa penjelasan bagaimana nasib para menterinya di kabinet, padahal yang paling penting secara politik bergabungnya partai dalam koalisi itu adalah jatah kursi di kabinet.

Sebenarnya kalau kita mau melihat Kontrak Koalisi masalahnya bisa dipahami, minimal berdasar fatsun politik, baik oleh PKS maupun oleh partai-partai yang tergabung dalam Setgab. Di Setgab Koalisi ada instrumen dalam bentuk Kontrak Koalisi yang ditandatangani oleh semua pimpinan partai anggota gabungan koalisi pada 23 Mei 2011.Kontrak itu baru dibuat pada Mei 2011 karena berdasarkan pengalaman sebelumnya ternyata sulit mengambil tindakan terhadap partai yang dianggap mbalelo dari kebersamaan, seperti terlihat dalam kasus Bank Century.

Di dalam butir 2 (dua) Kontrak Koalisi tersebut disebutkan, keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Presiden, menyangkut kebijakan-kebijakan politik yang strategis dan posisi-posisi politik yang penting, setelah mempertimbangkan pandangan dan rekomendasi pimpinan parpol koalisi pada rapat yang dipimpin oleh Ketua Setgab,wajib didukung dan diimplementasikan baik di pemerintahan maupun melalui fraksi-fraksi di DPR.

Secara substansial ketentuan butir kedua kontrak tersebut sebenarnya sudah jelas, yakni partai anggota gabungan koalisi harus sejalan dengan kesepakatan yang diputuskan bersama, termasuk keputusan yang harus diambil dengan persetujuan sebagian terbesar partai anggota gabungan koalisi. Lantas,apa sanksinya?

Akibat politik atau sanksi atas pelanggaran ketentuan butir dua tersebut diuraikan dalam butir 5 (lima) Kontrak Koalisi, “Bilamana terjadi ketidaksepakatan terhadap posisi bersama koalisi, terlebih menyangkut isu yang vital dan strategis seperti yang tercantum dalam butir dua tersebut di atas yang justru dituntut kebersamaan dalam koalisi, semaksimal mungkin tetap dilakukan komunikasi politik untuk menemukan solusi yang terbaik.

Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, parpol peserta koalisi yang bersangkutan dapat mengundurkan diri dari koalisi. Manakala parpol yang bersangkutan tidak mengundurkan diri dari koalisi pada hakikatnya keber-samaannya dalam koalisi partai telah berakhir. Selanjutnya Presiden mengambil keputusan dan tindakan menyangkut keberadaan parpol dalam koalisi dan perwakilan partai yang berada dalam kabinet
.”

Secara substansi tidak ada yang tidak jelas dari isi kontrak tersebut. Masalahnya hanyalah formalitas implementasinya dan keberanian untuk bersikap sportif bagi semuanya. Sportivitas harus bisa dibangun dari fatsun politik, yakni rasa, akal sehat, dan etika. Rakyat tak bisa lagi dibodoh-bodohi dengan alasan-alasan formalitas yang menjemukan, apalagi hanya mencari-cari alasan.

Dalam rangka fatsun politik, ada baiknya kedua pihak bersikap sportif untuk saling mendahului menyatakan sikap secara tegas. Ketua Setgab Koalisi perlu segera memberi tahu secara resmi kepada PKS, di lain pihak PKS perlu segera menyatakan tidak sejalan dengan kesepakatan koalisi dalam soal APBN-P serta lebih siap menjadi penyeimbang yang kritis tanpa terbelenggu oleh ikatan koalisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar