Memberantas
Biaya Siluman
Isnan Murdiansyah, Staf Ketua LP3 Universitas Brawijaya Malang, Mahasiswa Pasca
Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
SUMBER : SUARA KARYA, 19 April 2012
Salah satu
masalah krusial yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan perekonomian
nasional adalah tingginya pungutan liar dan uang suap dalam melakukan bisnis di
Indonesia. Realita di lapangan menunjukkan biaya siluman merupakan faktor utama
penghambat investasi yang menurunkan gairah investor untuk menanamkan modalnya
di daerah.
Tak salah,
menurut hasil penelitian Lembaga Penelitian, Pengkajian dan dan Pengembangan
Ekonomi Kamar Dagang dan Industri Indonesia (LP3E Kadin) bahwa dunia industri
sekarang ini terbebani biaya siluman yang cukup besar. Kisarannya mencapai 25
persen dari total biaya produksi. Tingginya biaya siluman inilah yang memaksa
pengusaha membebankan biaya produksinya ke upah buruh yang sangat minim.
Konsekuensinya izin mendirikan usaha di Indonesia jauh tertinggal daripada negara-negara
kawasan Asia Pasifik lainnya.
Studi Bank Dunia
tentang Doing Business 2012 mewartakan Indonesia mengalami penurunan peringkat
kemudahan usaha (rank of doing business)
dari peringkat 126 pada 2010 menjadi 129 pada 2011. Selain itu dalam laporan
hasil penelitian International Finance
Cooperation (IFC) tentang kemudahan bisnis di 20 kota di Indonesia
menemukan fakta bahwa para pengusaha harus menempuh 9 prosedur selama 33 hari
dan menghabiskan biaya 22 persen dari pendapatan per kapita nasional.
Bandingkan
dengan pengusaha di Malaysia yang hanya menempuh 4 prosedur selama 6 hari serta
menghabiskan ongkos cuma 16,4 persen dari pendapatan per kapita nasional.
(Media Indonesia, 6/2'12) Artinya, para pengusaha di Indonesia harus sabar
menunggu satu bulan lebih lama ketimbang pengusaha di Malaysia. Bahkan para
pengusaha harus menghabiskan waktu empat kali lipat lebih lama bila
dibandingkan pengusaha di Thailand.
IFC juga
melaporkan biaya pendaftaran properti di Indonesia mencapai 11 persen dari
nilai properti dan termasuk yang tertinggi di Asia Pasifik dan rata-rata
global. Biaya pendaftaran properti di negara ASEAN lainnya hanya berkisar 0,6
persen sampai 6,3 persen. Sedangkan rata-rata global hanya 5,7 persen dari
nilai properti.
Menganalisis
secara kritis dapat dikatakan turunnya peringkat Indonesia dalam Doing Business
2012 disebabkan masih tingginya biaya siluman sehingga memaksa timbulnya high cost (biaya tinggi) yang merugikan
investor dan pemerintah sendiri. Menelisik lebih jauh terkait tingginya biaya
siluman yang bermuara dari kurang efisiennya birokrasi, disebabkan oleh
beberapa faktor.
Pertama, masih
buruknya infrastruktur kelembagaan. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya
regulasi yang masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dengan daerah dan
banyaknya keluhan para pengusaha terhadap pelayanan Badan Pertanahan Nasional
(BPN) yang belum sesuai harapan dalam mengakses lahan dan kepastian hukumnya.
Beberapa kasus
konflik tanah di beberapa daerah, seperti konflik tanah Mesuji dan konflik tanah
ABRI dengan rakyat sipil menunjukkan betapa buruknya manajemen pengelolaan
kelembagaan administrasi lahan di Indonesia. Umumnya data tanah sengketa yang
masih dalam database lembaga peradilan, tidak bisa diakses BPN sehingga
sertifikat hak milik tetap diterbitkan. Celakanya, data sertifikat BPN yang
sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, tidak bisa mencegah Mahkamah Agung
(MA) mengambil putusan eksekusi penyitaan.
Kasus lain yang
berhubungan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah juga
tidak lepas dari masih buruknya sistem kelembagaan administrasi negara.
Ternyata tidak kurang dari 1.366 peraturan daerah (Perda) ekonomi yang
berkaitan dengan pajak dan retribusi, tidak dilaporkan kepada pemerintah pusat.
Ribuan transaksi antara Pemda dengan pihak luar yang berhubungan dengan
keuangan daerah terpaksa harus diselesaikan selama bertahun-tahun karena harus
'memelototi' lembaran manual transaksi sehingga banyak calon investor yang
kabur.
Kedua, Masih
rendahnya kapasitas dan kualitas aparatur negara. Bagian penting dan esensial
dalam pembangunan birokrasi adalah pembangunan infrastruktur sosial, khususnya
kapasitas dan kualitas aparatur negara. Namun sayang, etos kerja
pegawai/aparatur negara umumnya sangat rendah.
Mereka masih
belum memahami dan mengamalkan tugas mulia mereka sebagai abdi/pelayan
masyarakat. Terlambat datang, cepat pulang, tidak kreatif, ada pekerjaan
cenderung ditunda, 'malas' di kantor dan lain-lain merupakan kondisi umum yang
dilakukan para aparatur negara di setiap lembaga/instansi pemerintah. Akibanya,
hal ini berkorelasi negatif dengan kinerja dan kualitas pelayanan pemerintah
terhadap publik.
Kebanyakan yang
dikeluhkan para pengusaha atau calon investor adalah kualitas pelayanan
cenderung rendah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan. Pelayanan yang
diberikan oleh pemerintah di kabupaten, kota dan provinsi masih belum
kompetitif. Standar pelayanan kita dari segi waktu masih sangat lama, dari segi
biaya belum ada kepastian dan dari segi prosedural berbelit dan melibatkan
banyak instansi yang tidak jelas sinergi dan koordinasinya. Faktor inilah yang
memicu munculnya praktik-praktik biaya siluman (praktik percaloan, uang pelicin
dan biaya ekstra) dalam pemberian pelayanan publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar