Jumat, 20 April 2012

Memberantas Biaya Siluman


Memberantas Biaya Siluman
Isnan Murdiansyah, Staf Ketua LP3 Universitas Brawijaya Malang, Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang
SUMBER : SUARA KARYA, 19 April 2012


Salah satu masalah krusial yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan perekonomian nasional adalah tingginya pungutan liar dan uang suap dalam melakukan bisnis di Indonesia. Realita di lapangan menunjukkan biaya siluman merupakan faktor utama penghambat investasi yang menurunkan gairah investor untuk menanamkan modalnya di daerah.

Tak salah, menurut hasil penelitian Lembaga Penelitian, Pengkajian dan dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagang dan Industri Indonesia (LP3E Kadin) bahwa dunia industri sekarang ini terbebani biaya siluman yang cukup besar. Kisarannya mencapai 25 persen dari total biaya produksi. Tingginya biaya siluman inilah yang memaksa pengusaha membebankan biaya produksinya ke upah buruh yang sangat minim. Konsekuensinya izin mendirikan usaha di Indonesia jauh tertinggal daripada negara-negara kawasan Asia Pasifik lainnya.

Studi Bank Dunia tentang Doing Business 2012 mewartakan Indonesia mengalami penurunan peringkat kemudahan usaha (rank of doing business) dari peringkat 126 pada 2010 menjadi 129 pada 2011. Selain itu dalam laporan hasil penelitian International Finance Cooperation (IFC) tentang kemudahan bisnis di 20 kota di Indonesia menemukan fakta bahwa para pengusaha harus menempuh 9 prosedur selama 33 hari dan menghabiskan biaya 22 persen dari pendapatan per kapita nasional.

Bandingkan dengan pengusaha di Malaysia yang hanya menempuh 4 prosedur selama 6 hari serta menghabiskan ongkos cuma 16,4 persen dari pendapatan per kapita nasional. (Media Indonesia, 6/2'12) Artinya, para pengusaha di Indonesia harus sabar menunggu satu bulan lebih lama ketimbang pengusaha di Malaysia. Bahkan para pengusaha harus menghabiskan waktu empat kali lipat lebih lama bila dibandingkan pengusaha di Thailand.

IFC juga melaporkan biaya pendaftaran properti di Indonesia mencapai 11 persen dari nilai properti dan termasuk yang tertinggi di Asia Pasifik dan rata-rata global. Biaya pendaftaran properti di negara ASEAN lainnya hanya berkisar 0,6 persen sampai 6,3 persen. Sedangkan rata-rata global hanya 5,7 persen dari nilai properti.

Menganalisis secara kritis dapat dikatakan turunnya peringkat Indonesia dalam Doing Business 2012 disebabkan masih tingginya biaya siluman sehingga memaksa timbulnya high cost (biaya tinggi) yang merugikan investor dan pemerintah sendiri. Menelisik lebih jauh terkait tingginya biaya siluman yang bermuara dari kurang efisiennya birokrasi, disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, masih buruknya infrastruktur kelembagaan. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya regulasi yang masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dengan daerah dan banyaknya keluhan para pengusaha terhadap pelayanan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang belum sesuai harapan dalam mengakses lahan dan kepastian hukumnya.

Beberapa kasus konflik tanah di beberapa daerah, seperti konflik tanah Mesuji dan konflik tanah ABRI dengan rakyat sipil menunjukkan betapa buruknya manajemen pengelolaan kelembagaan administrasi lahan di Indonesia. Umumnya data tanah sengketa yang masih dalam database lembaga peradilan, tidak bisa diakses BPN sehingga sertifikat hak milik tetap diterbitkan. Celakanya, data sertifikat BPN yang sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap, tidak bisa mencegah Mahkamah Agung (MA) mengambil putusan eksekusi penyitaan.

Kasus lain yang berhubungan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa daerah juga tidak lepas dari masih buruknya sistem kelembagaan administrasi negara. Ternyata tidak kurang dari 1.366 peraturan daerah (Perda) ekonomi yang berkaitan dengan pajak dan retribusi, tidak dilaporkan kepada pemerintah pusat. Ribuan transaksi antara Pemda dengan pihak luar yang berhubungan dengan keuangan daerah terpaksa harus diselesaikan selama bertahun-tahun karena harus 'memelototi' lembaran manual transaksi sehingga banyak calon investor yang kabur.

Kedua, Masih rendahnya kapasitas dan kualitas aparatur negara. Bagian penting dan esensial dalam pembangunan birokrasi adalah pembangunan infrastruktur sosial, khususnya kapasitas dan kualitas aparatur negara. Namun sayang, etos kerja pegawai/aparatur negara umumnya sangat rendah.

Mereka masih belum memahami dan mengamalkan tugas mulia mereka sebagai abdi/pelayan masyarakat. Terlambat datang, cepat pulang, tidak kreatif, ada pekerjaan cenderung ditunda, 'malas' di kantor dan lain-lain merupakan kondisi umum yang dilakukan para aparatur negara di setiap lembaga/instansi pemerintah. Akibanya, hal ini berkorelasi negatif dengan kinerja dan kualitas pelayanan pemerintah terhadap publik.

Kebanyakan yang dikeluhkan para pengusaha atau calon investor adalah kualitas pelayanan cenderung rendah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan. Pelayanan yang diberikan oleh pemerintah di kabupaten, kota dan provinsi masih belum kompetitif. Standar pelayanan kita dari segi waktu masih sangat lama, dari segi biaya belum ada kepastian dan dari segi prosedural berbelit dan melibatkan banyak instansi yang tidak jelas sinergi dan koordinasinya. Faktor inilah yang memicu munculnya praktik-praktik biaya siluman (praktik percaloan, uang pelicin dan biaya ekstra) dalam pemberian pelayanan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar