Pembatasan
BBM Bersubsidi
AJS Wibowo, Dosen di STIE Santa Ursula Jakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 19 April 2012
Setelah kenaikan harga BBM bersubsidi tak jadi dilakukan per 1
April, beberapa pekan ini hampir semua media kembali memberitakan tentang pembatasan
BBM bersubsidi. Antara lain, untuk bisa beralih ke BBM non subsidi atau ke gas
mengingat persediaan gas di Indonesia sangat melimpah.
Dalam hal ini, Wakil Menteri ESDM sangat antusias mengkampanyekan
pengalihan penggunaan BBM bersubsidi ke BBM non subsidi atau beralih ke gas
bagi kendaraan pribadi. Sedang untuk yang akan beralih ke gas harus memasang
Konverter Kit yang dipatok berharga Rp 9 juta sampai Rp 12 juta. Namun, perlu
diingat bahwa ketersediaan gas di stasiun pengisian masih banyak kendalanya
karena sampai saat ini SPBBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) untuk Jakarta
saja baru ada 2 buah.
Kendala utama ini yang harus benar-benar dipikirkan oleh
pemerintah, karena bagaimana mungkin SPBBG yang hanya 2 buah akan bisa melayani
keperluan kendaraan yang akan mengisi gas. Bagaimana akibatnya seandainya dalam
waktu singkat sudah mencapai 50 persen dari kendaraan yang ada di Jakarta
beralih menggunakan BBG, antrian kendaraan pasti mengular sangat panjang.
Di samping itu, untuk beralih ke BBM non subsidi (pertamax atau
pertamax plus), masih ada kendala juga bagi SPBU. Ini mengingat, menurut Dirut
Pertamina (Karen Agustiawan, Kompas 19/1'12), dari 3.062 SPBU di Jawa dan Bali
baru sekitar 2.080 SPBU yang telah dan bisa menjual BBM non subsidi (pertamax
dan pertamax plus).
Dari SPBU yang belum bisa melayani BBM non subsidi tersebut,
sekitar 687 SPBU diharapkan bisa segera beralih ke pertamax dan pertamax plus.
Sedangkan yang 295 SPBU harus investasi baru.
Di wilayah Jabodetabek saja baru ada 666 yang sudah menjual
pertamax dan pertamax plus. Ada sekitar 13 SPBU yang bisa segera beralih ke
pertamax dan pertamax plus. Sedangkan yang 41 SPBU harus investasi baru.
Risiko
Sesungguhnya terdapat beberapa potensi risiko yang menyebabkan
terhambatnya pelaksanaan pembatasan subsidi BBM.
Pertama, infrastruktur Pertamina belum siap. Dari data di atas
terlihat bahwa pihak Pertamina mengakui belum semua SPBU bisa melayani
penjualan BBM non subsidi (pertamax dan pertamax plus), mengingat SPBU yang ada
harus investasi baru agar bisa menyediakan BBM non subsidi (pertamax dan
pertamax plus). Dengan kendala ini otomatis pengguna BBM non subsidi akan
menyerbu SPBU asing (non Pertamina), yang secara tidak langsung akan mengurangi
pemasukan Pertamina (perusahaan BUMN) sehingga pendapatan pemerintah ikut
berkurang.
Untuk beralih menggunakan gas, sudah pasti banyak sekali
kendalanya karena Pertamina belum bisa menyediakan SPBBG yang memadai.
Sedangkan untuk Konverter Kit pasti di pasaran juga belum tersedia (belum
banyak penjual), serta sangat membebani konsumen yang harus membeli seharga Rp
9 juta sampai 12 juta.
Kedua, potensi terjadinya penyelewengan. Dengan beralih ke BBM non
subsidi (pertamax dan pertamax plus), sudah pasti akan banyak sekali
penyelewengan pembelian BBM bersubsidi yang harganya hanya setengahnya harga
BBM non subsidi. Hal lain yang perlu diperhatikan, untuk harga minyak antara
SPBU dan industri harus sama, tidak perlu dibedakan ini akan menghilangkan
penyelewengan BBM yang seharusnya dikirim ke SPBU tetapi berbelok ke industri
(pabrik) karena harga lebih mahal.
Khusus di Jakarta saja, akan banyak sekali yang membeli BBM
bersubsidi menggunakan motor berkali-kali sehingga mencapai minimum 10 liter,
atau akan beralih membeli BBM bersubsidi ke luar Jakarta (misal ke Bekasi,
Bogor atau Ciledug, Tangerang). Kemudian, ada juga yang berusaha membeli BBM
bersubsidi di eceran di tepi jalan, yang di Jakarta banyak sekali berceceran
hampir di setiap pinggir jalan raya. Ini merupakan indikasi bahwa SPBU
Pertamina masih melayani penjualan dengan jeriken, yang mana selalu diumumkan
bahwa SPBU Pertamina tidak boleh melayani pembelian dengan jerigen jika ada
pasti diberikan sanksi. Kenyataannya bagaimana?
Ketiga, menambah pengeluaran masyarakat. Di samping itu dengan
beralihnya dari BBM bersubsidi ke BBM non subsidi sudah pasti menambah
pengeluaran/belanja bagi pengguna mobil, dari harga Rp 4.500 menjadi Rp 9.000,-
Ini akan menambah inflasi sekitar 0,72% s/d 0,94% maka inflasi diperkirakan
sekitar 5,22% s/d 5,44%. Tapi, perlu diingat juga bahwa tahun 2012 pemerintah
juga akan menaikkan TDL. Akibatnya, akan menambah laju inflasi lagi sehingga
lebih dari 5,44%. Dampak inflasi ini akan mengakibatkan BI Rate mendaki lagi di
atas 6% seperti sebelum bulan November 2011, yang berakibat akan menaikkan lagi
bunga kredit perbankan.
Yang tak kalah penting, masyarakat perlu diberi alternatif untuk
berpindah ke BBG yang notabene juga harus dipersiapkan infrastrukturnya
(pembangunan SPBBG) oleh Pertamina. Mengingat pembangunan infrastruktur dari
BBM ke BBG juga memerlukan waktu serta biaya, maka pada waktu masyarakat
beralih ke gas, Pertamina telah siap SPBBG dengan jumlah yang memadai sesuai
kebutuhan.
Dengan demikian nantinya masyarakat pengguna bisa memilih mau
pasang Konverter Kit untuk menggunakan gas atau tetap menggunakan BBM (premium,
solar, pertamax dan pertamax plus).
Dengan tetap berproduksinya BBM (premiun dan solar) otomatis
Pertamina masih bisa eksis, karena sepengetahuan kami, pertamax dan pertamax
plus bukan hasil produksi Pertamina, seandainya premiun dan solar tidak
diproduksi (dikurangi produknya) lantas Pertamina mau dibawa ke mana karena
otomatis profit berkurang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar