Jumat, 20 April 2012

Pembatasan BBM Bersubsidi


Pembatasan BBM Bersubsidi
AJS Wibowo, Dosen di STIE Santa Ursula Jakarta
SUMBER : SUARA KARYA, 19 April 2012


Setelah kenaikan harga BBM bersubsidi tak jadi dilakukan per 1 April, beberapa pekan ini hampir semua media kembali memberitakan tentang pembatasan BBM bersubsidi. Antara lain, untuk bisa beralih ke BBM non subsidi atau ke gas mengingat persediaan gas di Indonesia sangat melimpah.

Dalam hal ini, Wakil Menteri ESDM sangat antusias mengkampanyekan pengalihan penggunaan BBM bersubsidi ke BBM non subsidi atau beralih ke gas bagi kendaraan pribadi. Sedang untuk yang akan beralih ke gas harus memasang Konverter Kit yang dipatok berharga Rp 9 juta sampai Rp 12 juta. Namun, perlu diingat bahwa ketersediaan gas di stasiun pengisian masih banyak kendalanya karena sampai saat ini SPBBG (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas) untuk Jakarta saja baru ada 2 buah.

Kendala utama ini yang harus benar-benar dipikirkan oleh pemerintah, karena bagaimana mungkin SPBBG yang hanya 2 buah akan bisa melayani keperluan kendaraan yang akan mengisi gas. Bagaimana akibatnya seandainya dalam waktu singkat sudah mencapai 50 persen dari kendaraan yang ada di Jakarta beralih menggunakan BBG, antrian kendaraan pasti mengular sangat panjang.

Di samping itu, untuk beralih ke BBM non subsidi (pertamax atau pertamax plus), masih ada kendala juga bagi SPBU. Ini mengingat, menurut Dirut Pertamina (Karen Agustiawan, Kompas 19/1'12), dari 3.062 SPBU di Jawa dan Bali baru sekitar 2.080 SPBU yang telah dan bisa menjual BBM non subsidi (pertamax dan pertamax plus).

Dari SPBU yang belum bisa melayani BBM non subsidi tersebut, sekitar 687 SPBU diharapkan bisa segera beralih ke pertamax dan pertamax plus. Sedangkan yang 295 SPBU harus investasi baru.

Di wilayah Jabodetabek saja baru ada 666 yang sudah menjual pertamax dan pertamax plus. Ada sekitar 13 SPBU yang bisa segera beralih ke pertamax dan pertamax plus. Sedangkan yang 41 SPBU harus investasi baru.

Risiko

Sesungguhnya terdapat beberapa potensi risiko yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan pembatasan subsidi BBM.

Pertama, infrastruktur Pertamina belum siap. Dari data di atas terlihat bahwa pihak Pertamina mengakui belum semua SPBU bisa melayani penjualan BBM non subsidi (pertamax dan pertamax plus), mengingat SPBU yang ada harus investasi baru agar bisa menyediakan BBM non subsidi (pertamax dan pertamax plus). Dengan kendala ini otomatis pengguna BBM non subsidi akan menyerbu SPBU asing (non Pertamina), yang secara tidak langsung akan mengurangi pemasukan Pertamina (perusahaan BUMN) sehingga pendapatan pemerintah ikut berkurang.

Untuk beralih menggunakan gas, sudah pasti banyak sekali kendalanya karena Pertamina belum bisa menyediakan SPBBG yang memadai. Sedangkan untuk Konverter Kit pasti di pasaran juga belum tersedia (belum banyak penjual), serta sangat membebani konsumen yang harus membeli seharga Rp 9 juta sampai 12 juta.

Kedua, potensi terjadinya penyelewengan. Dengan beralih ke BBM non subsidi (pertamax dan pertamax plus), sudah pasti akan banyak sekali penyelewengan pembelian BBM bersubsidi yang harganya hanya setengahnya harga BBM non subsidi. Hal lain yang perlu diperhatikan, untuk harga minyak antara SPBU dan industri harus sama, tidak perlu dibedakan ini akan menghilangkan penyelewengan BBM yang seharusnya dikirim ke SPBU tetapi berbelok ke industri (pabrik) karena harga lebih mahal.

Khusus di Jakarta saja, akan banyak sekali yang membeli BBM bersubsidi menggunakan motor berkali-kali sehingga mencapai minimum 10 liter, atau akan beralih membeli BBM bersubsidi ke luar Jakarta (misal ke Bekasi, Bogor atau Ciledug, Tangerang). Kemudian, ada juga yang berusaha membeli BBM bersubsidi di eceran di tepi jalan, yang di Jakarta banyak sekali berceceran hampir di setiap pinggir jalan raya. Ini merupakan indikasi bahwa SPBU Pertamina masih melayani penjualan dengan jeriken, yang mana selalu diumumkan bahwa SPBU Pertamina tidak boleh melayani pembelian dengan jerigen jika ada pasti diberikan sanksi. Kenyataannya bagaimana?

Ketiga, menambah pengeluaran masyarakat. Di samping itu dengan beralihnya dari BBM bersubsidi ke BBM non subsidi sudah pasti menambah pengeluaran/belanja bagi pengguna mobil, dari harga Rp 4.500 menjadi Rp 9.000,- Ini akan menambah inflasi sekitar 0,72% s/d 0,94% maka inflasi diperkirakan sekitar 5,22% s/d 5,44%. Tapi, perlu diingat juga bahwa tahun 2012 pemerintah juga akan menaikkan TDL. Akibatnya, akan menambah laju inflasi lagi sehingga lebih dari 5,44%. Dampak inflasi ini akan mengakibatkan BI Rate mendaki lagi di atas 6% seperti sebelum bulan November 2011, yang berakibat akan menaikkan lagi bunga kredit perbankan.

Yang tak kalah penting, masyarakat perlu diberi alternatif untuk berpindah ke BBG yang notabene juga harus dipersiapkan infrastrukturnya (pembangunan SPBBG) oleh Pertamina. Mengingat pembangunan infrastruktur dari BBM ke BBG juga memerlukan waktu serta biaya, maka pada waktu masyarakat beralih ke gas, Pertamina telah siap SPBBG dengan jumlah yang memadai sesuai kebutuhan.

Dengan demikian nantinya masyarakat pengguna bisa memilih mau pasang Konverter Kit untuk menggunakan gas atau tetap menggunakan BBM (premium, solar, pertamax dan pertamax plus).

Dengan tetap berproduksinya BBM (premiun dan solar) otomatis Pertamina masih bisa eksis, karena sepengetahuan kami, pertamax dan pertamax plus bukan hasil produksi Pertamina, seandainya premiun dan solar tidak diproduksi (dikurangi produknya) lantas Pertamina mau dibawa ke mana karena otomatis profit berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar