Masa Depan Koalisi
Gun Gun Heryanto, Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta
SUMBER : SINAR HARAPAN, 03 April 2012
Menarik untuk mencermati perkembangan
pascaparipurna DPR yang mengesahkan penambahan Pasal 7 Ayat 6a UU No 22 Tahun
2011 tentang APBN Perubahan 2012, yakni terkait masa depan koalisi pemerintahan
SBY-Boediono.
Sikap PKS yang jelas-jelas berbeda dengan Partai
Demokrat (PD) dan garis kebijakan pemerintah yang dipimpin SBY terkait kenaikan
harga BBM, menimbulkan pertanyaan besar masihkah koalisi besar relevan menjadi
jangkar kekuatan SBY saat ini hingga 2014?
Tak terhindari, proses politik membuat setiap
momentum menjadi zona kemungkinan (zona of possible agreement). Oleh
karenanya, sangat wajar jika lobi dan negosiasi menjadi kunci penting dalam
perumusan dan pengambilan kebijakan politik.
Untuk menghindari cairnya pola hubungan
antarkekuatan dalam membangun agregasi politik dari berbagai kekuatan politik
yang ada, dikelolalah kesepakatan-kesepakatan politik dalam suatu kontrak
politik bersama. Hubungan aksi-reaksi dan berbagai perubahan pola relasi
antarkekuatan merujuk pada basis kesepakatan di antara mereka.
Dinamika politik internal partai-partai
koalisi dalam pembahasan UU APBN-P 2012 terkait rencana kenaikan harga BBM
bersubsidi dinilai semakin membuktikan bahwa konsep koalisi sangat rapuh.
Sebelum ini pun kita mencatat rekam jejak koalisi setengah hati di beragam
momentum politik.
Misalnya dalam kasus bailout Century,
mitra koalisi seperti Golkar dan PKS justru bersitegang dengan Demokrat.
Demikian juga dalam kasus Hak Angket Mafia Pajak, pengetatan remisi koruptor,
perumusan revisi UU Pemilu terutama soal parliamentary treshold (PT) dan
sejumlah isu lainnya.
Ada dua problem mendasar dalam koalisi saat
ini. Pertama, adalah cacat bawaan konsep koalisi dalam sistem
presidensialisme. Dinamika multipartai ekstrem di Indonesia hingga sekarang,
masih menyisakan problem pada penguatan dan pelembagaan politik. Terutama dalam
mendukung efektivitas pemerintahan sebagaimana lazimnya dipraktikkan dalam
sistem presidensialisme.
Idealnya, dalam presidensialisme basis
legitimasi presiden bersumber dari rakyat bukan dari parlemen. Presiden diberi
hak prerogatif dalam membentuk kabinet sebagai konsekuensi presiden pemimpin
tertinggi eksekutif. Namun, praktiknya berbeda 180 derajat.
Siapa pun presiden di Indonesia akan
mengalami situasi pelik, mengakomodasi kekuasaan DPR dan kerap secara terpaksa
berada dalam labirin kekuasaan. Cara yang dianggap paling praktis untuk
mempertahankan kekuasaan adalah membangun koalisi besar di DPR, dan melupakan
idealitas pembentukan zaken kabinet karena dianggap utopia.
Formula koalisi untuk efektivitas kekuasaan
pun kerap mendapatkan fakta berbeda, karena justru koalisi menjadi beban bahkan
sandera politik yang efektif.
Masalah kedua adalah leadership SBY.
Faktor utama yang membuat mitra koalisi kerap menjalankan strategi dua kaki
sebagai mitra sekaligus oposisi disebabkan SBY yang bukan pengambil risiko (risk
taker).
Di berbagai momentum politik, SBY terbiasa
mengedepankan soft-strategy, politik harmoni dan meminimalkan
ketidakpastian (uncertainty) serta ketidaknyamanan (unxiety).
Daya adaptasi SBY terhadap keberbedaan melahirkan permakluman politik atas
beragam sikap oposisional mitra koalisinya. Sikap ini menjadi kekuatan
sekaligus kelemahan bagi SBY.
Menjadi kekuatan, karena fakta politiknya
presiden yang bisa bertahan dalam konstelasi politik Indonesia saat ini bukan
lagi presiden yang kuat, melainkan presiden yang adaptif dengan berbagai
kekuatan. Kelemahannya, presiden kerap tersandera oleh politik harmoni dan
tersedotnya energi kekuasaan hanya untuk menyelaraskan basis dukungan para
mitra.
Mitra koalisi memiliki kartu truf yang bisa
dibuka dan ditutup sesuai dengan momentumnya untuk bargaining position
atas celah-celah kelemahan masing-masing.
Mitra koalisi disibukkan dengan beragam
strategi saling mengunci masing-masing pihak agar kepentingan politik mereka
aman dan tidak disentuh. Jika pun tetap disentuh akan dibarter dengan kasus
atau momentum tekanan lain.
Dengan demikian, efektivitas kekuasaan tidak
akan muncul, bahkan cenderung hanya beredar dari satu kasus ke kasus lain.
Koalisi tampaknya akan semakin rapuh dan cenderung menjadi alat sandera plus
delegitimasi terkait dengan kian eskalatifnya kepentingan Pemilu 2014.
Posisi PKS
Banyak elite PD yang merasa tidak nyaman
dengan sikap politik PKS. Kekecewaan itu kian memuncak terkait rencana kenaikan
harga BBM yang jelas-jelas ditolak PKS.
Tapi, akankah PKS “ditendang” dari kekuasaan? Jika melihat benang merah sikap SBY
rasanya PKS masih akan tetap aman. SBY itu tipikal penguasa yang menginginkan
adanya kohesivitas politik. Hal ini menyebabkan kuatnya batasan afiliatif.
Menurut Dennis Gouron dalam The Signs of
Cognitive, Affiliative and Egosentric Constratins (1998) batasan afiliatif
berarti bahwa seseorang memilih menahan diri daripada mengambil risiko.
Keengganan mengambil risiko ini menyebabkan
SBY lebih memilih opsi memberi pemakluman-pemakluman. Jika SBY kembali memilih
jalan tak berisiko, kemungkinan posisi PKS akan aman tetap berada dalam
kekuasaan. Ada beberapa risiko yang sepertinya masuk dalam kalkulasi SBY jika
PKS dilepas.
Pertama, risiko dalam
pengambilan kebijakan-kebijakan SBY ke depan. Meski belum garansi selalu satu
suara dalam pengambilan kebijakan, posisi PKS dan Golkar dalam perahu yang sama
tetap dianggap lebih berpeluang mengantisipasi suara oposisi.
Dengan koalisi PD, PKS, Golkar, PAN, PPP, dan
PKB maka hitung-hitungannya di angka 423 suara. Jika pun sesekali PKS membelot,
masih tersedia 366 suara. Sementara itu, jika Golkar balik badan, SBY juga
masih didukung sekitar 317.
Yang repot adalah jika PKS dan Golkar keluar
berbarengan dari koalisi, SBY hanya mengantongi 260 suara dengan asumsi PD,
PAN, PKB, dan PPP relatif konstan mendukung SBY. Tentu karena PKS dan Golkar
kerap bermanuver, SBY akan selalu melakukan perimbangan kekuasaan atas kedua
partai ini dan tidak mudah mendepak keduanya dari jajaran mitra koalisi.
Kedua, lebih jauh SBY juga
berkepentingan atas keberlanjutan eksistensi kekuasaannya hingga 2014. Meski
pemakzulan (impeachment) bukan perkara mudah, tetapi putusan MK terkait
dengan pembatalan Pasal 184 Ayat 4 UU MD3 pada Rabu (12/1/11) membuka
kemungkinan hak menyatakan pendapat terkait hal itu jika didukung 2/3 anggota
DPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR.
Posisi mitra koalisi meski kerap menyakitkan
hati menjadi penting untuk menggaransi selesainya kekuasaan SBY-Boediono hingga
2014. Suka tidak suka atas sikap para mitranya di Setgab, SBY sepertinya akan
tetap mempertahankan mereka hingga 2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar