Selasa, 03 April 2012

Kudeta Sekarang, Siapa Diuntungkan?


Kudeta Sekarang, Siapa Diuntungkan?
Kristanto Hartadi, Redaktur Senior SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 03 April 2012



Mengamati aksi unjuk rasa menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM pada akhir pekan lalu, membuat saya bertanya: apakah benar protes tersebut bertujuan “mengudeta” Presiden Susilo Bambang Yudhoyono?

Saya kurang yakin hal itu yang terjadi karena dalam perhitungan saya gerakan tersebut belum cukup solid untuk berbuahkan sebuah kudeta, mengingat kelas menengah (baca: sebagian kalangan pengusaha) dan militer tidak (atau belum mau) terlibat di dalamnya.

Tentu kita semua ingat kudeta terakhir di negeri kita adalah terhadap Presiden Abdurachman Wahid. Itu pun terlaksana setelah ada pembangkangan oleh TNI terhadap rencana presiden mengeluarkan dekret. Selain itu, tentulah ada otoritas sipil yang mengundang militer terlibat dan telah ada “konsensus politik” dari berbagai pihak sehingga Gus Dur terpaksa pulang ke Ciganjur.

Kemudian Wakil Presiden Megawati (yang partainya sebenarnya pemenang pemilu 1999) naik menggantikannya. Konsensus politik lainnya: dia tidak “diganggu” sampai Pemilu 2004. Atau kita bandingkan dengan kerusuhan sistematis tahun 1998, di mana terjadi berbagai upaya dramatisasi (termasuk pembunuhan terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti).

Waktu itu kita tengah mengalami krisis ekonomi yang parah: perbankan kita berantakan, nilai tukar rupiah terjun bebas, terjadi kelangkaan dan harga berbagai kebutuhan hidup melonjak, jadi klop sudah. 

Sejumlah mantan petinggi militer yang paham dengan situasi Mei 1998 kepada penulis memperkirakan kerusuhan di Jakarta digerakkan oleh elemen-elemen yang ada di sekitar kekuasaan sebagai exit strategy untuk Pak Harto, sehingga dia bisa lengser keprabon pada 21 Mei. 

Tak heran, pertemuan sejumlah tokoh sipil dan tentara di jalan Merdeka Timur pada waktu itu gagal memunculkan seorang pemimpin militer yang berani tampil untuk mengambil alih situasi. 

Disinformasi Maka sinyalemen ada “gerakan aneh” untuk menjatuhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atau merebut kursi kepresidenan dengan cara-cara tak demokratis memakai isu kenaikan harga BBM dalam analisis saya tak lebih dari disinformasi. 

Bukan berarti kelompok dengan aspirasi seperti itu tidak ada, melainkan gerakannya belum solid. Saya lebih percaya bahwa ada yang mengambil keuntungan politik dari berbagai unjuk rasa tersebut, meski tetap belum cukup besar untuk berujung pada penggulingan. 

Soal kudeta, marilah kita belajar dari tetangga kita Thailand yang militernya (atas restu raja) pada 19 September 2006 melancarkan kudeta tak berdarah terhadap PM Thaksin Shinawatra. Tetap saja setelah makar, pemimpin kudeta Jenderal Sondhi Boonyaratkalin harus segera menggelar pemilihan umum, artinya pemerintahan dikembalikan lagi ke tangan sipil. 

Setelah itu, politik di Thailand tidak pernah stabil, pergantian demi pergantian kekuasaan terus terjadi, bahkan jantung Kota Bangkok pernah diblokade sampai lumpuh. Akhirnya hasil Pemilu Juli 2011 memunculkan Yingluck Shinawatra (adik Thaksin Shinawatra) sebagai PM.

Pelajaran yang dipetik adalah: siapa pun yang akan melancarkan kudeta, pada akhirnya harus menggelar pemilihan umum secara demokratis (atau demokratis yang ditukangi) untuk memilih pemimpin baru.

Dalam hitungan saya, sangat rugi kalau hari-hari ini ada pihak yang berniat melancarkan kudeta karena sama saja dengan  mempercepat pelaksanaan pemilihan umum yang tinggal dua tahun lagi yang pemenangnya bisa siapa saja, dan selama didukung oleh partai politik.  

Sulit Ditutup Ini karena sekali koridor demokratisasi sudah dibuka, akan sulit ditutup lagi, itu ibarat jin yang sudah keluar dari botolnya. Lihat saja rezim militer di Myanmar yang kini terpaksa menerima demokrasi dengan menggelar pemilu yang dipantau dunia 1 April lalu.

Mereka harus belajar hidup bersama dengan kaum sipil dipimpin perempuan kurus berhati baja bernama Aung San Suu Kyi. Hari ini berseliweran berbagai informasi tentang kudeta itu karena di masyarakat kita yang namanya teori konspirasi itu seru dibahas. Di masyarakat seperti ini yang namanya disinformasi pun kerap ditelan mentah-mentah karena tidak perlu konfirmasi.

Saya lebih setuju kalau disebut: ada pihak yang konsisten mendegradasi dan mendelegitimasi kredibilitas Presiden SBY yang berkarakter melodramatik itu. Harapannya syukur-syukur presiden minta berhenti  sendiri. Untuk gerakan seperti ini tak perlu ada yang dituding melancarkan kudeta. 

Namun dalam politik, ada satu hukum yang pasti: ketika otoritas politik tak becus menciptakan kemajuan, kesejahteraaan, stabilitas, dan ketertiban umum, maka siapa saja yang sedang berkuasa (dengan konsensus politisi sipil dan militer tentunya) layak diturunkan, namun muaranya tetap pada pemilihan umum.

Isu kenaikan harga BBM sangat berpotensi menimbulkan distabilitas politik, ekonomi, dan sosial maka hati-hatilah mengelolanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar