Kamis, 12 April 2012

Langkah Progresif Denny

Langkah Progresif Denny
FX Adji Samekto, Guru Besar Fakultas Hukum Undip Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 12 April 2012


KASUS penamparan yang diduga dilakukan Wamenkumham Denny Indrayana terhadap Darso Sihombing, sipir LP Kelas II A Pekanbaru Provinsi Riau menjadi sorotan di permukaan berbagai media. Berbagai komentar seputar penamparan itu menjadi sorotan publik. Artikel M Issamsudin (SM, 09/04/12) menyoroti bagaimana seharusnya proses hukum dilakukan, dengan berpegang pada prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law), suatu dogma doktrinal yang harus dijunjung tinggi dalam pelaksanaan penegakan hukum.

Membesar-besarkan masalah penamparan itu tentu akan menenggelamkan tujuan utama kedatangan Denny di LP yang ingin menyelidiki indikasi adanya jaringan bisnis narkoba di dan dari dalam gedung itu, suatu fenomena yang menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Tulisan ini tidak mengulas kasus penamparan itu tetapi lebih mengkaji cara kerja Wamenkumham dalam rangka penegakan hukum. Cara Denny datang ke LP yang bagaikan tamu tak diundang secara tiba-tiba pun bisa dilihat sebagai cara penegakan hukum progresif.

Konsepsi penegakan hukum progresif melandaskan pada keyakinan bahwa keberadaan hukum (aturan hukum) adalah untuk kepentingan manusia, bukan manusia untuk hukum. Prosedur dalam hukum tetap penting, tetapi tidak harus menjadi penting ketika prosedur hukum tidak menjamin tercapainya tujuan hukum itu sendiri, yaitu menciptakan keadilan, ketertiban, kesejahteraan, dan kestabilan hidup.

Cara berpikir hukum progresif yang digagas begawan hukum Universitas Diponegoro Satjipto Rahardjo pada era pascareformasi 1998, sesungguhnya merupakan respons terhadap fenomena kegagalan negara yang menjadikan hukum tidak bermanfaat bagi masyarakat, karena hukum tidak mampu menciptakan keadilan dan ketertiban. Karakter utama hukum modern, termasuk yang berlaku di Indonesia, adalah sifatnya yang rasional.

Hukum Progresif


Rasionalitas ditandai oleh sifat peraturan yang prosedural. Prosedur menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan keadilan, menjaga HAM, bahkan sering kali prosedur menjadi lebih penting ketimbang bicara tentang keadilan itu sendiri.

Tetapi dalam praktik, dominasi paradigma dalam hukum modern ternyata menghambat pencarian kebenaran dan keadilan yang benar menurut akal sehat.

Hukum progresif berangkat dari kebuntuan karena hukum tidak mampu memberi manfaat untuk mewujudkan keadilan substansial. Karena itu, teks hukum yang bersifat umum sesungguhnya memerlukan akurasi (penajaman) yang kreatif dari penegak hukumnya pada saat hukum itu diterapkan pada kejadian nyata. Di sinilah diperlukan pemikiran progresif. Demikianlah maka kasus kedatangan mendadak Denny Indrayana untuk melihat kemungkinan adanya jaringan bisnis narkoba di dan dari LP tersebur bisa dibaca dalam spektrum menegakkan hukum dengan cara berpikir hukum progresif.

Tindakan Denny yang bagai tamu tak diundang di LP Kelas II A Pekanbaru itu bisa dilihat sebagai upaya penyadaran kepada publik bahwa supremasi hukum tidak harus sama dengan supremasi aturan hukum.

Kalau supremasi hukum harus disamakan dengan supremasi aturan hukum maka persoalan hukum akan tereduksi menjadi sekadar keterampilan teknis yuridis.

Akibatnya yang lebih parah, demi kepentingan profesional terjadilah sakralisasi hukum positif. Kalau ini yang terjadi maka aturan hukum hanya akan membelenggu Indonesia dalam ketidakberdayaan mengungkap kasus-kasus yang mengantarkan kita pada kemerosotan etika berbangsa. Sejatinya Denny telah berupaya bekerja dalam garis hukum progresif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar