Selasa, 03 April 2012

Konsolidasi Ekonomi Politik Media


Konsolidasi Ekonomi Politik Media
Agus Sudibyo, Wakil Direktur Yayasan SET Jakarta
SUMBER : KOMPAS, 03 April 2012



"Ruang publik sebagai potensi demokratis dari media akan tenggelam ketika rasionalitas birokrasi atau rasionalitas modal dibiarkan mengambil alih dan mendominasi fungsi, sistem kerja, dan orientasi produksi media.”

Merujuk pada peringatan Robert McChesney ini, yang perlu dipetakan sebagai problem bagi prinsip-prinsip ruang publik media bukan hanya intervensi kekuatan-kekuatan politik, melainkan juga bukan semata-mata dominasi kekuatan modal. Yang lebih problematis adalah ketika kekuatan politik dan kekuatan modal bersimbiosis mendominasi ranah media.

Kontestasi ekonomi politik media di Indonesia belakangan ini perlu didekati dari titik ini. Seperti tecermin dalam berbagai kebijakan di bidang telekomunikasi dan penyiaran mutakhir serta dalam tren konsolidasi bisnis politis media yang kian memusat pada beberapa kelompok media, yang terjadi sesungguhnya bukan transisi demokratis dari kekuasaan politik menuju kekuasaan publik atau peralihan kontrol dari kekuasaan politik menuju kekuasaan pasar. Yang sesungguhnya terjadi ialah konsolidasi kekuasaan politik dan kekuasaan pasar untuk bersama-sama mengendalikan ranah media.

Ramah Pasar

Konsolidasi itu terutama ditandai dengan lahirnya kebijakan ramah pasar. Dalam beberapa kasus, keputusan politik di bidang penyiaran dan telekomunikasi akhirnya tak benar-benar dimaksudkan untuk memperkuat publik vis a vis negara dan pemodal, tetapi untuk menempatkan negara sebagai penjamin keberlangsungan ekspansi bisnis kelompok media besar.

Sebaliknya, kalangan pelaku usaha tak segan-segan membiarkan terjadinya tren refeodalisasi: pelembagaan kembali kedudukan pemerintah sebagai regulator sesungguhnya di dunia penyiaran. Regulasi negara ternyata tak berada pada posisi diametral dengan regulasi pasar.

Deregulasi juga tak identik dengan upaya memperkuat publik menghadapi otoritarianisme politik ataupun kediktatoran pasar. Yang penting bagi pemerintah adalah tetap memegang kontrol atas ranah publik. Yang penting bagi pelaku usaha adalah terjaganya kontinuitas proses akumulasi modal.

Kontestasi ekonomi politik media ini juga melibatkan unsur DPR, partai politik, dan para politisi. DPR memegang peran kunci karena di sanalah evaluasi pelaksanaan undang-undang dan perubahannya dilakukan. Kita juga tak menutup mata bahwa sebagian pemilik media sekaligus merupakan pemimpin partai politik atau dekat dengan jaringan politik tertentu. Di titik ini bertemulah gerak spasialisasi ekonomi dan spasialisasi politik terkait dengan posisi media.

Merujuk kepada Vincent Mosco (1996), spasialisasi terkait dengan upaya media dalam melampaui problem ruang dan waktu. Sudah menjadi watak media untuk selalu berusaha melakukan pembesaran lingkup operasional. Entah karena alasan ekonomi atau lainnya, media selalu terdorong memperlebar rentang usaha, mendiversifikasi produk, dan mengefisienkan mekanisme kerja. Logika internal yang mendasari gerak spasialisasi ini adalah ekspansi, efisiensi, dan konvergensi.

Pada tataran praktis, konsep spasialisasi merujuk kepada bentuk-bentuk integrasi media guna memperluas jangkauan dan memperbesar pengaruh ekonomi politik. Sebagaimana sedang berlangsung di Indonesia, upaya integrasi terjadi secara horizontal ataupun vertikal.

Integrasi horizontal mewujud dalam pemusatan kepemilikan atas berbagai jenis media ke beberapa kelompok media. Kita dapat menyaksikan saat ini proses merger, akuisisi, dan pendirian media baru terus dilakukan kelompok media besar yang jumlahnya terhitung dengan jari.

Adapun integrasi vertikal terjadi ketika kelompok media terintegrasi ke dalam korporasi yang lebih besar dengan rentang usaha yang lebar: media massa (cetak, televisi, radio, online, televisi berbayar), periklanan, telekomunikasi, pertambangan, perbankan, dan properti.

Spasialisasi bisnis ini berlanjut dengan spasialisasi politik. Partai politik dan politisi jelas sangat membutuhkan media sebagai medium pencitraan diri. Tentu mereka akan lebih memilih bekerja sama dengan kelompok media yang memiliki banyak media dalam berbagai jenis. Sebaliknya, pengelola media paham benar jejaring media menjadi nilai tambah di hadapan pengiklan atau klien politik. Permintaan dan penawaran bertemu di sini.

Para kandidat butuh banyak media sebagai sarana kampanye politik yang efisien, sementara media menangkap pemilu sebagai peluang meraih pendapatan yang signifikan. Masalahnya lebih rumit jika pemilik media juga merupakan pemimpin partai politik atau anggota jaringan politik tertentu. Potensi hubungan yang tercipta bukan hanya hubungan profesional antara pengiklan dan media, melainkan juga hubungan instrumentalistik antara pemilik modal dan media yang rawan diperlakukan layaknya properti pribadi. Media yang dimiliki figur politisi jelas sangat rentan dimanfaatkan mendukung kepentingan politik pribadi atau kelompok.

Kehilangan Ruang Publik

Ketika media telah diperlakukan sebagai properti bisnis atau politik, kita kehilangan gambaran tentang media sebagai institusi sosial atau ruang publik. Status media melorot dari institusi pengemban keutamaan-keutamaan publik menjadi instrumen ekonomi-politik yang menempatkan publik sekadar sebagai sasaran pasif pesan-pesan komersial atau politik.

Menghadapi situasi yang demikian, dibutuhkan masyarakat sipil yang kuat dan mampu mengorganisasi diri guna memberikan koreksi sepadan atas gejala pemusatan dan instrumentalisasi media. Masyarakat sipil yang paham benar kapan harus berkonfrontasi terhadap sistem dan kapan harus melakukan pendekatan-pendekatan persuasif.

Termasuk di dalam barisan masyarakat sipil ini seharusnya adalah para jurnalis dan profesional media yang notabene adalah anak-anak muda yang masih beridealisme. Mampukah mereka berjarak dari kepentingan pemilik modal dan sedapat mungkin menciptakan independensi relatif ruang redaksi? Mampukah mereka mengimbangi pragmatisme media dengan idealisme tentang ruang publik yang beradab dan mencerdaskan masyarakat? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar