Batas Harga BBM dan Batas Kepercayaan Publik
Yudi Latif, Pemikir
Kebangsaan dan Pancasila
SUMBER : KOMPAS, 03 April 2012
"Seluruh
pemerintahan tak lebih dari kekuasaan dalam kepercayaan.” Kesahihan
ungkapan John Dryden tersebut menemukan pembuktiannya dalam drama rencana
kenaikan harga bahan bakar minyak.
Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan
bakar minyak (BBM) berulang kali terjadi, tetapi jarang menuai gelombang aksi
penolakan publik yang masif seperti kali ini.
Bagaimanapun, masalah kenaikan
harga merupakan perkara lumrah yang dialami masyarakat sehari-hari, mulai dari
kenaikan harga bahan kebutuhan pokok hingga pupuk. Toh, dengan segala kesulitan
yang melilitnya, rakyat kecil jarang berteriak menyerukan perlawanan.
Mengapa kali ini meski pemerintah telah
mengerahkan justifikasi para ahli dengan dalil-dalil ekonomi yang tampak hebat
di atas kertas, terjadi gelombang aksi mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil
lainnya di seluruh penjuru Nusantara dalam skala yang belum pernah terjadi
sejak era reformasi?
Alasannya, di balik pro-kontra rencana
kenaikan harga BBM itu terdapat kesenjangan dalam ukuran ”kebenaran”. Pemerintah hanya sibuk mengargumentasikan ”kebenaran tipis” tentang defisit minyak
dan potensi defisit keuangan negara. Sementara demonstran mempertanyakan ”kebenaran tebal” tentang mengapa kita
mengalami defisit minyak dan apakah benar menaikkan harga BBM menjadi
satu-satunya pilihan untuk menutupi defisit anggaran.
Ketidakmampuan pemerintah menjawab
serangkaian pertanyaan tentang ”kebenaran
tebal” tersebut memberi penjelasan ikutan tentang kerasnya penolakan publik
bahwa penentuan batas harga BBM kali ini menyentuh ambang batas kepercayaan
publik kepada pemerintah. Dengan kata lain, aksi-aksi yang masif ini tidak
sekadar menolak kenaikan harga, tetapi juga mencerminkan akumulasi
ketidakpercayaan publik pada kemampuan pemerintah untuk menjawab
persoalan-persoalan riil yang dihadapi rakyat bawah.
Dari drama ketegangan seputar rencana
kenaikan harga BBM kali ini, kita bisa melihat perbedaan antara kepalsuan dan
kesejatian. Pemerintah yang kerap mendengungkan keberhasilan perekonomian lewat
rekayasa statistika justru berteriak menghadapi kenyataan potensi defisit
keuangan negara. Pemerintah sebagai pemenang pemilu yang fantastis justru
seperti ragu dengan kemenangannya sehingga berbagai kebijakan yang diambilnya
harus meminta belas kasih partai-partai koalisi yang pada akhirnya tunduk pada
formula ”pemain besar” dalam koalisi.
Pemerintah kerap memanjakan
kepentingan-kepentingan elitis demi mengompensasikan kelemahan kekuasaannya
yang harus dibayar mahal oleh penderitaan rakyat dan kedaulatan negara dalam
jangka panjang. Pemerintah tidak mau berkeringat, tetapi ingin tampil sebagai
pahlawan di ujung kisah percekcokan dan kepedihan. Setelah unjuk rasa demi
unjuk rasa yang menguras energi, menorehkan luka, dan mencucurkan keringat dan
air mata, barulah Presiden tampil bak juru selamat dengan pidato populisnya: ”Kenaikan harga BBM sebagai opsi terakhir.”
Dalam drama BBM juga tampak bagaimana
partai-partai memainkan peran secara terampil untuk mengecoh kesan publik agar
kebohongan terkesan kebenaran, persetujuan seolah-olah penolakan. Di dalam
situasi genting ketika hajat hidup orang banyak dipertaruhkan, dukungan
dipertukarkan secara vulgar dengan isu parliamentary
threshold dan kepentingan-kepentingan elitis lainnya.
Di dalam samudra kepalsuan politik seperti
itu, kita bersyukur masih ada kekuatan lain yang bisa memandu bangsa ini keluar
dari kegelapan dan kepelikan. Ketika pelbagai argumen pro-kontra didedahkan di
ruang publik dan setiap argumen terkesan memiliki rasionalitasnya, pilihan mana
yang harus diambil pada akhirnya harus memperhatikan suara kejujuran dari arus
bawah. Gelombang aksi mahasiswa, buruh, dan rakyat miskin lainnya yang muncul
di sejumlah kota besar dan kecil dalam skala nasional adalah suara kesejatian
yang tidak mungkin bergerak serempak hanya karena ditunggangi kepentingan
oportunis.
Perjalanan jatuh-bangunnya kekuasaan di
Indonesia memberi pelajaran, sekuat apa pun rekayasa kepalsuan pada akhirnya
akan jebol oleh gelombang arus balik kesejatian. Mengelabui rakyat, dengan
pura-pura menolak, tetapi substansinya mendukung, hanya akan menambah amunisi
pada arus kesejatian untuk bergerak lebih jauh, membongkar berbagai kepalsuan
yang disembunyikan. Pada titik ini pun sudah tampak inisiatif sukarela dari
pelbagai kelompok masyarakat untuk mengajukan uji materi (judicial review) terhadap Pasal 7 Ayat (6a). Sementara itu, para
demonstran yang telah mengalami pembelajaran heroisme jalanan memiliki kesiagaan
untuk menghadapi pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil pemerintah.
Menaikkan harga BBM tetap jadi pilihan sulit
bagi pemerintah. Dan, sejauh rekam jejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
selama ini, ketidakberanian menghadapi risiko menurunnya popularitas dan
keseimbangan politik tersebut akan segera ditutupi dengan retorika heroisme.
Kepalsuan ditutupi kepalsuan.
Namun, jika kita mau mengambil jalan
kejujuran, mengabdi pada keselamatan dan kesejahteraan bangsa, kesulitan
pemerintah menaikkan harga BBM itu bisa menjadi momentum bagi perombakan tata
kelola negara secara mendasar. Kita harus berani mengambil langkah-langkah yang
sulit karena kebahagiaan adil dan makmur itu hanya akan datang setelah berani
melakukan pengorbanan dan kerja keras. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar