Selasa, 03 April 2012

Khayalan dan Realitas


Khayalan dan Realitas
Daoed Joesoef, Alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
SUMBER : KOMPAS, 03 April 2012



Meskipun tidak jadi naik per 1 April 2012, harga BBM toh masih tetap berpeluang naik. Pemerintah diberi wewenang untuk menyesuaikan harga BBM tersebut apabila dalam kurun waktu enam bulan berjalan harga minyak mentah dunia mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15 persen dari asumsi harga minyak di APBN Perubahan 2012.
Jadi, pemerintah mendapat lebih banyak daripada apa yang ia kehendaki semula. Presiden SBY pantas bergembira. Dia atau siapapun presiden terpilih pada 2014 menjadi pemenang.

Jelas, kesan yang muncul, betapa pihak eksekutif dan legislatif bersepakat menganggap ”nasib” APBN jauh lebih penting diselamatkan ketimbang ”nasib” rakyat yang konon disebut ”pemilik” NKRI. Penyelamatan APBN penting demi meningkatkan kesejahteraan rakyat dan dalam jangka panjang menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi melalui realokasi dana yang tidak lagi dipakai sebagai subsidi BBM. Kalau tujuan ini yang merupakan logika pembenaran, mengapa kenaikan harga BBM hanya Rp 1.500 per liter? Naikkan saja setinggi mungkin agar kesejahteraan rakyat segera melangit dan sekaligus lebih mempercepat kesuksesan pembangunan yang berkesinambungan.

Pembahasan kenaikan harga BBM secara formal sudah selesai, tetapi semakin jelas keberadaan lubang hitam (black holes) di cakrawala perpolitikan Indonesia, tempat penyembunyian aneka kebohongan para penguasa negara selama ini. Para politikus pendukung pemerintah rata-rata bersikap optimistis, tetapi apa makna optimisme tanpa perspektif yang menjanjikan? Keputusan menaikkan harga BBM bukanlah pembuka era baru kehidupan berbangsa yang lebih cerah, melainkan awal malapetaka berkelanjutan karena pihak penguasa negeri terbius oleh ”Dichtung” yang dikhayalkannya sendiri, bukan terjaga oleh ”Wahrheit” tempat ia berpijak.

Tidak Tiba-Tiba

Jadi, yang kita hadapi adalah perspektif yang menjijikkan. Maka, perlu diketengahkan beberapa komentar dan teguran demi menyadarkan para politikus agar tak menjadi ”Don Kisot” yang menganggap kincir angin musuh yang harus dibasmi.

Pertama, logika rakyat biasa, man in the street, terperangah. Selama ini sering dikatakan, Indonesia adalah negeri kaya sumber energi, termasuk minyak bumi. Lalu, mengapa menjadi bingung ketika harga minyak mentah dunia naik? Mestinya kan bersorak gembira, ada rezeki nomplok! Kini, tiba-tiba dibeberkan bahwa cadangan minyak bumi nasional telah menipis, sedangkan konsumsinya terus meningkat begitu rupa sehingga Indonesia sekarang menjadi importir neto dengan defisit sebesar 150 juta barrel tahun lalu.

Semua ini kan tak terjadi tiba-tiba, sejak kemarin? Sudah tahu berkekurangan, mengapa masih mengekspor? Mengapa masih berbagi hasil dengan asing, padahal kita sudah punya Pertamina? Mengapa sumber minyak kita lalu diijon ke asing dengan kontrak pengeboran berjangka panjang? Jadi, selama ini ternyata setiap pemerintah yang pernah berkuasa tidak punya konsep perencanaan energi jangka panjang yang relevan dan konsisten. Selama ini mereka membohongi rakyat dan kini tiba-tiba rakyat dituntut untuk membayar akibat fatal kebohongan itu dengan dalih lapisan rakyat tertentu terlalu dimanjakan dengan ”subsidi” selama ini.

Kedua, mengapa yang dianggap ”subsidi” itu hanya pengeluaran pemerintah yang dipakai untuk membantu rakyat mendapat BBM murah? Bagaimana dengan aneka penggunaan dana APBN untuk ”kenikmatan” para politikus-wakil rakyat di DPR berupa camilan sambil bersidang, uang sidang dan makan, biaya ”studi banding” ke luar negeri yang hasilnya tidak pernah dilaporkan kepada rakyat. Mengapa dana itu tak diperlakukan sebagai ”subsidi” yang bisa dipangkas habis?

Petani yang harus bekerja keras di sawah tidak pernah ngemil sambil bekerja, tidak pernah dapat bantuan peralatan kerja, uang makan, dan pakaian kerja. Kalaupun mereka ngemil sambil istirahat, mereka bawa sendiri makanan itu dari rumah. Satu-satunya makhluk yang mengunyah sambil bekerja di sawah adalah kerbau.

Ketiga, persetujuan atas usul kenaikan harga BBM diperoleh melalui mekanisme voting di Rapat Paripurna DPR, bukan dengan jalan ”musyawarah” seperti bunyi diktum (Sila keempat) Pancasila. Jadi, lagi-lagi Pancasila tidak berfungsi sebagaimana sebelumnya ternyata juga tidak efektif dalam memecahkan masalah krusial kita dalam berketuhanan (Sila pertama), misalnya dalam kasus pembangunan gereja Taman Yasmin di Bogor.

Belum lagi dihitung ketidakberdayaannya dalam mem-Pancasila-kan ekonomi nasional. Maka, apakah Pancasila ini masih patut dibanggakan sebagai salah satu pilar eksistensi Negara-Bangsa Indonesia? Ternyata hanya pantas dijadikan basa-basi (lip service) politikus untuk menipu pemilih yang juga tak acuh (indifferent).

Keempat, karena kita katanya dituntut terus menerus (oleh siapa?) untuk menyesuaikan diri dengan harga minyak di pasaran dunia—yang bisa saja naik dua atau empat kali lipat—kita terjebak dalam pusaran yang membuat segala sesuatu mengambang sehingga tidak ada lagi dasar berpijak teori dan praktik ekonomi. Apa yang kemarin dianggap sebagai asas keseimbangan, yaitu teori kebutuhan, kini tersisih. Produksi tidak lagi punya kriteria pembenaran, moralitas sosial. Di tengah-tengah eskalasi total, tidak diketahui lagi siapa yang berproduksi dan untuk siapa. Rujukan pada kriteria nilai kerja dari obyek produksi tidak lagi berlaku bagi keseluruhan mayoritas penduduk.

Dengan begitu, asas kerja turut pula mengambang, tidak ada lagi ekuivalensi antara kegiatan dan imbalannya. Bagaimana, misalnya, membenarkan gaji tinggi dari pilot kapal terbang yang bertanggung jawab atas dua atau tiga ratus jiwa penumpang dibandingkan dengan gaji rendah dari masinis kereta api yang bertanggung jawab atas jiwa ribuan penumpang? Modal juga berfluktuasi tanpa standar. Tidak ada lagi keseimbangan, tetapi pusaran, saling menawar lebih tinggi.

Kelima, apabila rasionalitas lama dalam berproduksi disingkirkan, secara implisit berarti mempertanyakan pula superstruktur yang lama, yaitu politik dan sosial. Jika infrastruktur ekonomi menjadi semakin undefinable, maka superstruktur, representasi sosialnya, terseret ke dalam krisis ini. Masyarakat tidak lagi tunduk pada hukum kejadian dan bahkan realitasnya luput dari kita ke peradaban massal. Massa menyedot semua, semua tertelan di situ, bagai ”lubang hitam” pada kehilangan referensi politis, ekonomis, dan kultural.

Ke mana Ekonomi Pancasila?

Bagaimana jadinya dengan Ekonomi Pancasila? Ini menjadi pertanyaan keenam mengingat keberadaan Boediono, selaku wakil presiden RI, punya wewenang menentukan kebijakan, lebih-lebih kebijakan pembangunan (ekonomi) nasional. Bersama dengan almarhum Mubyarto, ketika masih sama-sama berstatus dosen, Boediono mengedit buku Ekonomi Pancasila (21 Januari 1980). Selain tulisan keduanya, buku ini memuat puluhan tulisan dosen lain, sebagian besar dari UGM. Buku ini dua kali diseminarkan dalam rangka Peringatan 25 Tahun Fakultas Ekonomi UGM, persis pada saat berjayanya konsep pembangunan ekonomi liberal ala ekonom-teknokrat dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Apa yang kita lihat sekarang, di saat Boediono diberi kesempatan oleh sejarah untuk menerapkan konsep Ekonomi Pancasila yang dulu dia pikirkan dan masyarakatkan? Apalagi, dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi nasional, dia mengungkapkan dengan bangga bahwa selama 30 tahun terakhir dia terus-menerus ikut serta dalam berbagai peristiwa pengambilan keputusan publik. Yang sekarang kita saksikan adalah kenyataan betapa iklim produksi kian jelas tak lagi menghasilkan ”barang”, tetapi sebenarnya ”tanda/lambang”. Jika menganalisis produksi dalam term tanda, kita lihat betapa ekonomi politik itu sendiri, penalaran ilmiah yang selama ini dianggap begitu kokoh, kini jadi begitu arbitrer, sewenang-wenang. ”Pengetahuan ilmiah” ini tak bisa benar-benar mendefinisikan baik ”pertukaran” maupun ”penggunaan”.

Inovasi di bidang materi menggoyah ideal sosial. Melalui obyek-obyek yang diproduksi dan dipasarkan, kaum berada mereaktualisasi terus-menerus privilese kultural mereka. Bahkan, anggota kelas penguasa tak jarang turut aktif mempromosikan obyek-obyek yang melambangkan kekayaan dan kemewahan hidup itu dengan dalih demi ”modernisasi”, ”taraf internasional”. Keadaan ini sama sekali bertolak belakang dengan yang dulu diopinikan oleh para pencetus Ekonomi Pancasila, termasuk Boediono. 

Ternyata opini adalah satu hal, apa yang dibuat oleh opini itu terhadap diri sang pencetus adalah hal lain lagi. Bisa berbeda bagai siang dengan malam. Atau, apakah Pancasila itu lagi-lagi memang tak efektif. Lalu, buat apa ia diproklamasikan sebagai ”pilar”?

Kalaupun ekonomi semakin menjauh dari yang diidealkan oleh para pendiri Negara-Bangsa kita, iklimnya semakin tidak melayani hajat hidup rakyat banyak karena selama ini ekonomi dibangun oleh para ekonom-teknokrat rezim Orba melalui pendekatan ajaran ekonomi picik-liberalistik. Hal ini yang dulu paling santer dikecam para reformis yang menjatuhkan rezim Soeharto. Anehnya, pendekatan picik-liberalistis itu justru diteruskan oleh setiap pemerintah dari rezim Reformasi dan dengan cara yang lebih buruk karena hanya berkonsep pragmatis-sesaat tanpa etika masa depan. Memang lahir perluasan pemerataan kekuasaan yang bermuara pada pemerataan kenikmatan koruptif. Penguasa tidak sibuk memikirkan nasib rakyat banyak, tetapi nasib posisi kekuasaannya. Jadi, bukan ”power tends to corrupt”, melainkan ”the will to maintain power corrupts the electorate”. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar