Senin, 09 April 2012

Koalisi Itu Selingkuh Secara Terbuka


Koalisi Itu Selingkuh Secara Terbuka
M. Sobary, Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SUMBER : SINDO, 09 April 2012



Rakyat memilih calon dari suatu partai—mungkin karena orangnya, mungkin karena partainya, atau mungkin karena kedua-duanya—untuk duduk di parlemen demi suatu kepentingan politik.

Rakyat percaya kepada sang tokoh yang dianggap akan memiliki kemampuan memperjuangkan aspirasinya. Mungkin tokohnya tak terlalu kuat, tetapi partainya memiliki kredibilitas politik sehingga aspirasinya akan tercapai. Kemungkinan lain, tokohnya tak begitu hebat, partainya pun tak terlalu kuat, tetapi gabungan dari keduanya bisa diharapkan mampu memenuhi aspirasi terbut.

Dengan kata lain,orang memilih tokoh dari suatu partai bukan tanpa alasan. Kecuali jika orang memilih semata karena telah memperoleh kaus dan sedikit uang yang diberikan tokoh politik di dalam suatu serangan fajar yang menentukan. Kemungkinan ini pun tak berarti bahwa yang sudah dipilih lalu bisa seenaknya sendiri tanpa kontrol dari jauh oleh rakyat yang dulu memilihnya.

Bagaimanapun di balik pemilihan itu ada suatu kontrak sosial yang nyata,biarpun sering tak tertulis.Bagaimana mau ditulis, bila—misalnya— pemilihan itu melibatkan apa yang kita sebut money politics: uang gelap di jalan belakang yang bisa dikategorikan korupsi politik? Jalan belakang selalu berarti jalan gelap: sembunyi-sembunyi seperti kucing garong mencuri ikan asin. Jadi, ada pemilihan di jalan belakang. Ada pemilihan gelap-gelapan.

Apakah pemilihan macam itu berarti perjanjian serius antara dua gentleman yang jujur dan tak akan saling mengkhianati? Jadi, dalam politik kita, kelihatannya tak pernah ada sikap gentleman macam itu. Tokoh partai bukan seorang gentleman, pemilihnya, rakyat negeri ini, mungkin juga tak memiliki watak gagah dan jujur macam itu. Apakah berarti proses politik itu tanpa makna sama sekali, hanya berarti “lakukan” apa yang mungkin dan apa yang kalian mau?

Penelitian mengenai sikap dan tingkah laku politik warga negara kita kelihatannya belum pernah dilakukan.Dengan begitu persoalan ini masih berada di wilayah kegelapan politik kita semua. Tapi jika tokoh politik yang dipilih tadi sudah benar-benar terpilih, lalu mereka menjadi anggota DPR, dan ke mana-mana memakai jaket supaya kelihatan tidak mencolok, tapi ke mana-mana naik mobil mewah, ini sudah di luar kontrol para pemilihnya dulu. Hubungan pemilih dan yang dipilih sudah terputus.

Hak dan kewajiban timbal balik di antara mereka juga terputus? Maka, pemilih telah kehilangan jejak.Dengan begitu, ketika tokoh politik itu secara terbuka bergabung dalam suatu koalisi partai untuk suatu kepentingan politik yang tak ada hubungannya dengan hak para pemilih, maka tindakan itu dilakukannya secara terbuka, dengan kesan gagah. Kita tahu,koalisi macam itu tindakan mengingkari janji— tertulis atau tidak—yang diucapkan untuk dan kepada sang pemilih.

Sekali lagi, kalau dulu memang ada janji dan tindakan itu berarti meninggalkan “pemegang saham” yang seharusnya dihormati. Maka, jelaslah bahwa ini merupakan tindakan pengkhianatan. Dalam rumusan psikologis lainnya, ini bisa disebut perilaku serong, yang tidak gelapgelapan, tidak melalui jalan belakang, melainkan gila secara terang-terangan. Suatu partai—dan tokohnya— memiliki ideologi yang tak sama dengan ideologi partai lain.

Kalau kita pilih tokoh dari suatu partai karena ideologinya dan asas perjuangan partainya yang khas dan tak sama dengan perjuangan partai lain, tapi tiba-tiba partai pilihan kita tadi bergabung dengan segerombolan partai lain, apa tindakan ini masih diterima secara politik dan tak dianggap salah secara sosial? Koalisi partai-partai pada hakikatnya tindakan serong dengan sikap terang-terangan untuk berkhianat terhadap rakyat.Koalisi bersifat sangat elitis.

Dibangun dengan sifat elite-sentris. Dan egois. Ini egoisme politik yang dilakukan di depan mata para pemilih untuk penyelamatan suatu rezim yang selalu khawatir didongkel hingga ke akar-akarnya oleh kekuatan lain yang tak diketahuinya. Koalisi partai itu usaha bersama— seperti koperasi—tapi terbatas untuk melindungi kecengengan. Di sini, usaha bersama itu tak ditujukan untuk memenuhi kepentingan bersama.

Benar begitu? Ada, kebutuhan bersamanya bukan untuk kepentingan rakyat,melainkan terbatas pada kebutuhan bersama di antara para tokoh yang selingkuh tadi. Dalam format politik macam ini,tiba-tiba terjadilah apa yang lumrah terjadi: pecah kongsi. Pihak yang tak lagi sejalan dikutuk sebagai tidak setia.Tidak setia? Kapan ada landasan kesetiaan di dalam politik? Kapan ada kesetiaan di antara mereka yang melakukan koalisi?

Bukan koalisi itu sendiri sudah jelas merupakan tanda serong, selingkuh,dan tidak setia,yang dilakukan secara terbuka, dan merupakan sikap serong secara terang-terangan, yang tak lagi mengindahkan makna kesetiaan? Orang lupa, dengan menjadi politisi itu sendiri sudah jelas yang bersangkutan memang tak akan berbuat atas landasan kesetiaan.

Dalam politik orang berkhianat dan selingkuh dalam bidang apa saja dengan tenang seperti sedang menikmati embusan angin segar. Dalam politik orang pun bisa—dan sering—bertindak tidak etis, tanpa rasa risih sedikit pun. Para politikus terlatih untuk bohong. Juga sangat terlatih untuk bohong pada diri sendiri.

Mereka itu hanya mengenal satu jenis kesetiaan: setia pada cita-citanya sendiri. Gunung boleh meletus, laut boleh menggelora dan langit runtuh, dan politisi tak akan peduli. Dia bekerja bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar