Senin, 09 April 2012

Kekuatan Udara Nasional


Kekuatan Udara Nasional
Chappy Hakim, Chairman CSE Aviation,
Penulis Buku Pertahanan Indonesia, Angkatan Perang Negara Kepulauan  
SUMBER : SINDO, 09 April 2012



Sebelum Bung Karno membangun angkatan perang Indonesia menjadi satu kekuatan yang ditakuti di kawasan Asia Pasifik pada 1960-an, negara-negara di sekitar Republik Indonesia tidak atau belum memiliki kekuatan perang yang berarti.
Selain Australia, negara-negara seperti Singapura, Filipina, dan Thailand, apalagi Malaysia, dapat dikatakan tidak memiliki kekuatan perang yang patut diperhatikan. Konstelasi perkembangan politik dan militer waktu itu di kawasan ini memang tidak memberi alasan yang cukup untuk membangun angkatan perang yang kuat dan besar. Kekuatan perang kuat tersebut dibangun oleh sang proklamator yang fenomenal itu berakar pada kekuatan jajaran armada laut dan Angkatan Udara Republik Indonesia.

Hal tersebut tentu saja didasari dengan sangat terang-benderang atas visi sang pemimpin bahwa Republik Indonesia adalah satu negara berbentuk kepulauan yang terbesar di muka bumi ini. Ambisi ini terlihat jelas pula dengan keinginan yang kuat untuk dapat mengembalikan Irian Jaya ke pangkuan sang Ibu Pertiwi.

Gebrakan itu dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab utama dari negara-negara seperti Australia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan negara lain di sekitar kawasan untuk kemudian membangun angkatan perang yang besar dan kuat.

Sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi serta jejak historis peperangan yang terjadi, negara-negara tersebut tentu saja kemudian terkonsentrasi pada desain kekuatan udara nasionalnya yang bertumpu kepada Angkatan Udara.

Sejarah Kekuatan Udara

Membicarakan kekuatan udara akan selalu saja menarik dan sekaligus selalu mengundang kontroversi. Kekuatan udara sejak awal bermula dikenal sebagai offensive tools, sebagai alat untuk ”menyerang”. Di medan perang, kekuatan udara pasti akan dibicarakan sebagai perangkat untuk melakukan penyerangan. Pada sisi lain, dengan mendalami lebih jauh, akan terang-benderang terlihat bahwa bila ingin memiliki kekuatan udara yang kuat,biaya yang diperlukan sangat ”mahal”!

Sebagai offensive tools yang sangat mahal harganya, hal itu serta-merta menjadikan angkatan udara atau kekuatan udara secara universal sebagai primadona angkatan perang. Layaknya seorang primadona, pasti akan selalu mengundang jealousy berbagai pihak. Peristiwa penyerangan ke Pearl Harbor yang terkenal itu jelas-jelas mendemonstrasikan betapa unit kekuatan udara dari satuan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang dapat melumpuhkan pangkalan armada laut terbesar Amerika Serikat (AS) di Pasifik dalam waktu singkat.

George dan Meredith Friedman dalam buku The Future of War menulis tentang Pearl Harbor sebagai The Origin of American Military Failure. Diuraikan antara lain bahwa bersamaan dengan tenggelamnya kapal-kapal perang dari armada laut AS menuju dasar laut Pasifik, maka tenggelam pula seluruh way of thinking dari para pemikir AS tentang perang. Inilah titik balik dari Pentagon yang kemudian beralih untuk lebih fokus kepada peralatan yang “berteknologi” untuk perang.

Itu pula sebabnya kemudian AS mengebom atom Hiroshima dan Nagasaki untuk sekaligus menghentikan perang dunia kedua. Demikian pula dalam 40 tahun perang dingin menghadapi Uni Soviet dengan Pakta Warsawanya, AS lebih mengandalkan alat utama sistem senjata nasionalnya, yaitu satelit, stasiun radar, dan jaringan komunikasi untuk digunakan sebagai peringatan dini dibandingkan dengan hanya mengandalkan insting politik para pemimpinnya.

Dengan berjalannya waktu, melalui pengalaman perang demi perang seperti Perang Korea, Perang Vietnam, dan terakhir Perang Teluk, untuk pertama kali dalam sejarah umat manusia war room atau pusat komando dan pengendalian (kodal) AS diletakkan di outer-space dan AS mendapatkan pengalaman sangat berharga darinya. AS kemudian sampai pada satu simpulan bahwa perencanaan perang ternyata harus dilakukan dalam format keterpaduan total dari unsur-unsur kekuatan darat, laut, dan udara.

Tidak cukup hanya dengan koordinasi belaka. Sementara itu Royal Air Force (RAF), Angkatan Udara Kerajaan Inggris, negara maritim di Eropa, terkenal dengan prestasinya yang luar biasa. Angkatan udara tertua di dunia yang sudah lahir di tahun 1918 itu mencatat kemenangan gemilang dalam kancah pertempuran yang dikenal dengan Battle of Britain.

Inilah satusatunya perang udara yang terjadi di dunia ini yang dimenangi pihak yang bertahan. RAF keluar sebagai pemenang dalam pertempuran dahsyat melawan serangan udara Jerman. Kunci kemenangan Inggris adalah digunakannya untuk pertama kali peralatan sistem radar serta aplikasi pengaturan alur operasi penerbangan dari yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal operation research system analysis dan implementasi dari unity of command.

Mengelola Kekuatan Udara Kita

Kekuatan perang di Indonesia kini terdiri atas Angkatan Darat (AD)–Angkatan Laut (AL)–Angkatan Udara (AU) dan Kohanudnas.Sementara unsur kekuatan udara nasional terdiri atas AU, Kohanudnas, satuan penerbangan AD,satuan penerbangan AL, penerbangan Polri, Bea Cukai, dan unsur-unsur penerbangan sipil.Kemajuan teknologi telah mengubah semua sendi kehidupan umat manusia.

Kita tidak bisa tinggal diam. Pemikiran-pemikiran baru yang segar dari generasi muda harus terus dirangsang untuk dimunculkan. Taktik dan teknik perang udara ternyata selalu meningkat kualitas teknologinya. Salah seorang pakar perang bahkan mengatakan bahwa nothing will ever be the same again.

Douhet’s mengatakan bahwa pesawat terbang telah membuat semua peralatan perang yang pernah ada seketika menjadi ketinggalan zaman! Intinya adalah muncul satu kekuatan baru yang senantiasa berkembang dengan pesat. Ini adalah tantangan besar dan di sinilah dibutuhkan Dewan Penerbangan Nasional yang akan merumuskan kebijakan strategis dari pengelolaan sistem penerbangan militer dan sekaligus penerbangan niaga Republik Indonesia.

Juga memperhitungkan pengelolaan kawasan wilayah udara kedaulatan untuk tidak dikelola oleh otoritas penerbangan sipil negara lain dan dapat senantiasa diawasi dengan baik.Demikian pula akan mencakup tidak saja penataan maskapai penerbangan dan jumlah serta jenis pesawat, tetapi juga mengenai peralatan navigasi, ATC, dan radar agar tidak tumpang tindih dengan peralatan yang dipergunakan untuk keperluan militer.

Berikutnya dibutuhkanpula Dewan Pertahanan Nasional yang harus menata ulang kajian strategis sistem pertahanan Indonesia sebagai satu negara besar yang berbentuk kepulauan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki banyak kawasan kritis perbatasan negara dengan negara tetangganya. Patut diingat bahwa kawasan rawan justru banyak terletak di alur perbatasan yang berwujud batas daerah perairan.

Kenyataan yang marak terjadi belakangan ini adalah sengketa perbatasan di kawasan perairan. Kerap terdengar ditangkapnya nelayan kita yang tengah mencari ikan di wilayah sendiri oleh aparat negaranegara lain, bahkan belakangan ini oleh Timor Leste! Itulah sebabnya kehadiran kekuatan laut yang dapat diandalkan di daerah perbatasan kritis perairan kita tidak dapat ditunda lagi.

Hanya dari hasil penataan kedua dewan tersebut yang bersifat komprehensif, maka dapat diharapkan kekuatan udara nasional,khususnya AU, akan memperoleh posisi dan garis edarnya yang pas.Barulah kemudian bisa didiskusikan lebih jauh jenis apa saja gerangan alutsista yang memang benar-benar dibutuhkan dalam konteks pola pertahanan negara kepulauan.

Kekuatan laut penjaga kedaulatan negara, terutama di daerah perbatasan, tidak akan banyak gunanya bila tidak dibarengi dengan gelar kekuatan udara yang kuat sebagai syarat dalam membangun air superiority.

AU harus senantiasa menjadi lapis terdepan dari garis paling luar sistem pertahanan negara dalam menjaga kehormatan dan kedaulatan Ibu Pertiwi. Jayalah Sayap Tanah Air, Swa-Buana Paksa! Dirgahayu Angkatan Udara!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar