Bangsa Pelempar Batu
Abdul Mu’ti, Sekretaris PP Muhammadiyah Dosen IAIN
Walisongo, Semarang
SUMBER : SINDO, 03 April 2012
Demonstrasi
seolah telah menjadi budaya (baru) bangsa Indonesia.Menjelang dan
pasca-Reformasi 1998 sepertinya tiada hari tanpa demonstrasi.
Penyebab
isu dan pelaku demonstrasi sangat beragam. Dari sudut politik, demonstrasi
adalah ekspresi kebebasan berpendapat dan arena penyampaian aspirasi yang tidak
tersalurkan melalui mekanisme formal. Maraknya demonstrasi membuktikan komunikasi
tidak sehat dan kegagalan dialog antarberbagai kelompok kepentingan.Jika
diekspresikan dengan penuh tata krama dan cita rasa seni,demonstrasi bisa
menjadi panggung kebudayaan yang menarik simpati.
Budaya Amuk
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para demonstran, akhir-akhir ini aksi demonstrasi sungguh memprihatinkan. Demonstrasi melenceng jauh dari cita ideal demokrasi dan nilai-nilai permusyawaratan. Yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dan unjuk kekuatan menang-kalah antara rakyat melawan aparat. Demonstrasi menjadi aksi menakutkan dan—tampaknya—telah menjelma demons: evil spirit,kekuatan nafsu setan yang mengerikan. Rakyat dan aparat yang sama-sama dikuasai amarah bertempur sengit.
Mereka adalah sesama bangsa yang sedang memerankan fungsi masing-masing. Para demonstran bukanlah pejuang Intifadah yang berjibaku melawan kebengisan rezim penindas Israel. Lemparan molotov bukanlah batu api Burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah yang hendak menghancurkan Kakbah. Batu-batu yang berhamburan bukanlah ritual melontar jumrah untuk menyempurnakan ibadah haji. Gas air mata, pentungan, dan peluru karet yang dimuntahkan aparat untuk mengusir massa dibeli dengan uang negara yang dipungut dari para pembayar pajak dan tetesan keringat rakyat.
Kekerasan yang disiarkan langsung media televisi adalah wujud mutakhir budaya amuk yang melembaga. Kekerasan masih menjadi pilihan utama untuk menggapai tujuan. Kecerdasan otak terkalahkan oleh kekuatan otot. Kejernihan nurani takluk oleh nafsu tiranik. Negeri pelempar batu adalah narasi kehidupan yang penuh kekerasan.Tidak melulu dalam aksi demonstrasi. Batu-batu beterbangan laksana mercon “memeriahkan” tawur antarkampung. Entah mengapa, tawuran yang identik dengan peradaban rendah dan tidak dewasa kian kerap terjadi di jantung kota metropolitan.
Ironis. Secara sosiologis-antropologis, ibu kota adalah representasi masyarakat kota dengan peradaban adiluhung. Ada gejala di mana kota tidak lebih dari sekedar wilayah domisili yang berbeda secara administratif berbeda dengan desa. Kompleksitas tekanan hidup membuat masyarakat kota cenderung lebih keras dan beringas.
Tidak Bertanggung Jawab
Kini, setelah demonstrasi berhenti, bangunan-bangunan fisik yang rusak itu harus dibangun kembali. Fasilitas milik publik yang roboh harus ditegakkan kembali. Batu-batu yang berserakan di jalan adalah puing-puing kemarahan dan nafsu yang sia-sia. Siapa yang bertanggung jawab? Yang terlihat adalah budaya “lempar batu sembunyi tangan”. Peribahasa Melayu itu berarti berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bangsa pelempar batu berarti bangsa yang tidak bertanggung jawab, pengecut, munafik, pengkhianat, pecundang, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan Koentjaranigrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (2002), bangsa Indonesia memiliki lima karakter negatif: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya kepada diri sendiri, tidak disiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hal senada juga dikemukakan budayawan Mochtar Lubis. Menurut Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia (cet. 2, 2008), bangsa Indonesia mengidap beberapa penyakit seperti sifat munafik (hipokrit), tidak bertanggung jawab, berjiwa feodal, mistis dan sangat percaya takhayul, seni yang cenderung erotik, dan mentalitas yang lemah.
Di dalam bahasa Islam, tidak bertanggung jawab berarti tidak amanah. Secara umum amanah mengandung pengertian tugas, tanggung jawab, kepercayaan, aman, sentosa, damai, dan sebagainya.Lawan kata amanah adalah khianat, maksiat, menyeleweng, kafir, dan sejenisnya. Pelakunya dapat disebut pengkhianat, pengecut, pendusta, dan sebagainya. Seseorang yang tidak amanah tidak akan mendatangkan rasa aman.Yang terjadi adalah saling tidak percaya, curiga, dan bermusuhan.
Inilah masalah kebangsaan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Masalah semakin serius tatkala karakter dan budaya lempar batu sembunyi tangan menghinggapi kalangan elit pemimpin. Jika hal ini terjadi, pertanda kehancuran bangsa sudah terbayang di depan mata.
Dialog dan Silaturahmi
Sesungguhnya rakyat sudah letih berdemonstrasi. Energi rakyat sudah nyaris terkuras untuk bertikai. Tetapi, jika arus aspirasi tidak didengar, demonstrasi akan (tetap) menjadi pilihan. Rakyat juga mulai bosan dengan retorika elite yang apologetik dan saling menuding. Hal yang sama berlaku dengan perdebatan intelektual yang akrobatik. Ruang udara sudah penuh sesak oleh pernyataan. Yang diperlukan adalah dialog. Para elite pemimpin perlu berlapang dada, membuka diri dengan penuh kebesaran jiwa mendengar masukan dan menerima aspirasi.
Kritik dan suara kritis adalah konsekuensi bangsa yang melek informasi, cerdas dan partisipatif. Tidak bijak jika ditanggapi sebagai perlawanan. Tetapi, saling menyerang dan beradu “kekuatan” di media massa bukanlah kearifan dan pendidikan. Saling menjatuhkan hanya akan mewariskan dendam dan regenerasi permusuhan. Ada batas informasi yang bisa menjadi konsumsi publik dan rahasia negara. Apakah manfaatnya bertahandenganegoisme? Egoistis adalah cermin manusia kepada batu.
Mengapa tidak saling bertemu dan berbicara dari hati ke hati. Bukan waktunya lagi berbicara atas nama rakyat dan kepentingan bangsa jika kedaulatan tergadaikan. Mengapa tidak terbuka saja dan bicara blaka-suta saja? Menyembunyikan kebenaran adalah bentuk lain karakter lempar batu sembunyi tangan. Mengapa tidak menjalin silaturahmi? Bersilaturahmi berarti saling bertemu, mengunjungi dan berjabat tangan, terutama dengan “lawan”. Sudah saatnya bangsa Indonesia mengubah tradisi melempar batu dengan melempar senyum. ●
Budaya Amuk
Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para demonstran, akhir-akhir ini aksi demonstrasi sungguh memprihatinkan. Demonstrasi melenceng jauh dari cita ideal demokrasi dan nilai-nilai permusyawaratan. Yang terjadi adalah pemaksaan kehendak dan unjuk kekuatan menang-kalah antara rakyat melawan aparat. Demonstrasi menjadi aksi menakutkan dan—tampaknya—telah menjelma demons: evil spirit,kekuatan nafsu setan yang mengerikan. Rakyat dan aparat yang sama-sama dikuasai amarah bertempur sengit.
Mereka adalah sesama bangsa yang sedang memerankan fungsi masing-masing. Para demonstran bukanlah pejuang Intifadah yang berjibaku melawan kebengisan rezim penindas Israel. Lemparan molotov bukanlah batu api Burung Ababil untuk menghancurkan pasukan Abrahah yang hendak menghancurkan Kakbah. Batu-batu yang berhamburan bukanlah ritual melontar jumrah untuk menyempurnakan ibadah haji. Gas air mata, pentungan, dan peluru karet yang dimuntahkan aparat untuk mengusir massa dibeli dengan uang negara yang dipungut dari para pembayar pajak dan tetesan keringat rakyat.
Kekerasan yang disiarkan langsung media televisi adalah wujud mutakhir budaya amuk yang melembaga. Kekerasan masih menjadi pilihan utama untuk menggapai tujuan. Kecerdasan otak terkalahkan oleh kekuatan otot. Kejernihan nurani takluk oleh nafsu tiranik. Negeri pelempar batu adalah narasi kehidupan yang penuh kekerasan.Tidak melulu dalam aksi demonstrasi. Batu-batu beterbangan laksana mercon “memeriahkan” tawur antarkampung. Entah mengapa, tawuran yang identik dengan peradaban rendah dan tidak dewasa kian kerap terjadi di jantung kota metropolitan.
Ironis. Secara sosiologis-antropologis, ibu kota adalah representasi masyarakat kota dengan peradaban adiluhung. Ada gejala di mana kota tidak lebih dari sekedar wilayah domisili yang berbeda secara administratif berbeda dengan desa. Kompleksitas tekanan hidup membuat masyarakat kota cenderung lebih keras dan beringas.
Tidak Bertanggung Jawab
Kini, setelah demonstrasi berhenti, bangunan-bangunan fisik yang rusak itu harus dibangun kembali. Fasilitas milik publik yang roboh harus ditegakkan kembali. Batu-batu yang berserakan di jalan adalah puing-puing kemarahan dan nafsu yang sia-sia. Siapa yang bertanggung jawab? Yang terlihat adalah budaya “lempar batu sembunyi tangan”. Peribahasa Melayu itu berarti berani berbuat tidak berani bertanggung jawab. Bangsa pelempar batu berarti bangsa yang tidak bertanggung jawab, pengecut, munafik, pengkhianat, pecundang, dan sebagainya.
Sebagaimana dikemukakan Koentjaranigrat dalam Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (2002), bangsa Indonesia memiliki lima karakter negatif: meremehkan mutu, suka menerabas, tidak percaya kepada diri sendiri, tidak disiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hal senada juga dikemukakan budayawan Mochtar Lubis. Menurut Lubis dalam bukunya, Manusia Indonesia (cet. 2, 2008), bangsa Indonesia mengidap beberapa penyakit seperti sifat munafik (hipokrit), tidak bertanggung jawab, berjiwa feodal, mistis dan sangat percaya takhayul, seni yang cenderung erotik, dan mentalitas yang lemah.
Di dalam bahasa Islam, tidak bertanggung jawab berarti tidak amanah. Secara umum amanah mengandung pengertian tugas, tanggung jawab, kepercayaan, aman, sentosa, damai, dan sebagainya.Lawan kata amanah adalah khianat, maksiat, menyeleweng, kafir, dan sejenisnya. Pelakunya dapat disebut pengkhianat, pengecut, pendusta, dan sebagainya. Seseorang yang tidak amanah tidak akan mendatangkan rasa aman.Yang terjadi adalah saling tidak percaya, curiga, dan bermusuhan.
Inilah masalah kebangsaan yang tengah dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Masalah semakin serius tatkala karakter dan budaya lempar batu sembunyi tangan menghinggapi kalangan elit pemimpin. Jika hal ini terjadi, pertanda kehancuran bangsa sudah terbayang di depan mata.
Dialog dan Silaturahmi
Sesungguhnya rakyat sudah letih berdemonstrasi. Energi rakyat sudah nyaris terkuras untuk bertikai. Tetapi, jika arus aspirasi tidak didengar, demonstrasi akan (tetap) menjadi pilihan. Rakyat juga mulai bosan dengan retorika elite yang apologetik dan saling menuding. Hal yang sama berlaku dengan perdebatan intelektual yang akrobatik. Ruang udara sudah penuh sesak oleh pernyataan. Yang diperlukan adalah dialog. Para elite pemimpin perlu berlapang dada, membuka diri dengan penuh kebesaran jiwa mendengar masukan dan menerima aspirasi.
Kritik dan suara kritis adalah konsekuensi bangsa yang melek informasi, cerdas dan partisipatif. Tidak bijak jika ditanggapi sebagai perlawanan. Tetapi, saling menyerang dan beradu “kekuatan” di media massa bukanlah kearifan dan pendidikan. Saling menjatuhkan hanya akan mewariskan dendam dan regenerasi permusuhan. Ada batas informasi yang bisa menjadi konsumsi publik dan rahasia negara. Apakah manfaatnya bertahandenganegoisme? Egoistis adalah cermin manusia kepada batu.
Mengapa tidak saling bertemu dan berbicara dari hati ke hati. Bukan waktunya lagi berbicara atas nama rakyat dan kepentingan bangsa jika kedaulatan tergadaikan. Mengapa tidak terbuka saja dan bicara blaka-suta saja? Menyembunyikan kebenaran adalah bentuk lain karakter lempar batu sembunyi tangan. Mengapa tidak menjalin silaturahmi? Bersilaturahmi berarti saling bertemu, mengunjungi dan berjabat tangan, terutama dengan “lawan”. Sudah saatnya bangsa Indonesia mengubah tradisi melempar batu dengan melempar senyum. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar