Kamis, 19 April 2012

Ketegangan Baru China-Filipina


Ketegangan Baru China-Filipina
Saptopo B Ilkodar, Dosen Prodi Hubungan Internasional FISIP UPN Veteran Yogyakarta, Mahasiswa S-3 Ilmu Politik UGM
SUMBER : SUARA MERDEKA, 19 April 2012



"Kemenangan China sangat berisiko mengundang kehadiran kembali pangkalan militer AS di Asia Tenggara"

SETELAH saling unjuk kapal di sekitar Kepulauan Spratly, China dan Filipina sama-sama menyatakan siap menyelesaikan sengketa wilayah itu secara damai, kini eskalasi malah meningkat dengan saling tuduh melanggar wilayah yang dipersengketakan (SM, 18/04/12). Apakah persoalan itu bisa mereka selesaikan dan kita bisa tenang?

Sengketa wilayah Laut China Selatan itu melibatkan China, Taiwan, dan empat negara anggota ASEAN, yaitu Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Lokasi yang dipersengketakan berbatasan dengan wilayah Indonesia, yaitu di sekitar Kepulauan Natuna.

Kenyataan itu membuat kita harus waspada. Bukan hanya karena empat saudara serumpun terlibat melainkan terlebih karena lokasi sengketa berbatasan dengan kita. Jika sampai terjadi konflik bersenjata, kita terkena imbasnya. Banyak kapal perang lalu-lalang yang mungkin juga masuk ke wilayah RI, dan berarti kedaulatan kita terganggu juga mengganggu kelancaran ekspor-impor. Belum lagi kerusakan lingkungan laut.

Seandainya sengketa itu berakhir pun, Indonesia harus terus mewaspadai siapa pemilik wilayah itu. Jika pemenangnya Vietnam, Indonesia dan negara ASEAN tak perlu terlalu khawatir. Jika China menjadi pemenang maka Indonesia dan ASEAN harus siap menghadapi perubahan besar geopolitik dan geostrategi.

Ada tiga negara mengklaim kepemilikan wilayah itu secara utuh, yaitu China, Taiwan, dan Vietnam, adapun Malaysia, Brunei, dan Filipina mengklaim sebagian. Dengan demikian yang kemungkinan menjadi pemenang penuh hanya China atau Vietnam. Kemenangan Vietnam tidak akan terlalu banyak mengubah peta wilayah.

Lain halnya bila China, peta wilayah bisa berubah drastis, salah satunya China akan memiliki hak untuk disebut bagian dari negara Asia Tenggara. Di sini masa depan ASEAN dan terutama kepemimpinan Indonesia di dalamnya bisa menghadapi pesoalan serius.

Eksistensi China secara permanen di wilayah ini tidak akan dibiarkan oleh negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat. Hal itu berkaitan dengan perebutan pengaruh global dan posisi strategis untuk mobilitas kekuatan militer. Dengan kata lain, kemenangan China berisiko mengundang kehadiran kembali pangkalan militer AS di Asia Tenggara. Artinya, cita-cita membangun perdamaian di wilayah ini akan sirna.

Upaya Indonesia

Indonesia memang tidak tinggal diam. Sebagai negara yang berprinsip bebas aktif dalam politik luar negerinya, sekaligus pemimpin informal ASEAN, Indonesia telah lama  mengurai masalah tersebut. Sejak 1989 telah menjadi pemrakarsa, tuan rumah, dan pengelola pertemuan para pihak yang mengklaim wilayah itu.

Selama 10 tahun kegiatan yang dikenal dengan sebutan diplomasi jalur dua itu dilaksanakan dengan dana dari Kanada. Ketika kontrak dengan Kanada berakhir, Deplu kita kesulitan mendapatkan sumber dana baru. Akhirnya sumber dana dan pengelolaan pertemuan itu diambil alih China. Akibatnya, Indonesia kehilangan legitimasi untuk terus melibatkan diri secara mendalam.

Parahnya, kenyataan itu seolah-olah memberi kemenangan awal kepada China. Sejak semula mereka menolak pembahasan sengeketa Laut China Selatan pada level multilateral.  Bahkan terhadap prakarsa Indonesia yang menyelenggarakan diplomasi jalur dua itu pun China kurang bisa menerima. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar