Kamis, 19 April 2012

Mengarusutamakan Fikih Lingkungan


Mengarusutamakan Fikih Lingkungan
Hasibullah Satrawi, Alumnus Al-Azhar, Kairo, Mesir;
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta 
SUMBER : SINDO, 19 April 2012



Gempa bumi berskala 8,5 SR kembali terjadi di wilayah Aceh dan sekitarnya.Di balik gempa bumi yang sedikitnya memakan lima korban jiwa itu tampak terlihat ada trauma publik yang sangat kuat di kalangan masyarakat luas. 

Maklum Aceh pernah dilumpuhkan oleh gempa bumi dan tsunami pada akhir 2004 yang memakan ribuan korban jiwa. Di samping gempa bumi dan tsunami, ada sejumlah bencana lain yang tak ubahnya “langganan” bagi Indonesia (khususnya di musim hujan) seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan sebagainya. Jakarta sebagai ibu kota negara sekaligus kota para ahli dan pengambil kebijakan bahkan kerap dibuat tak berdaya oleh bencana alam seperti banjir.

Mandat Kekhilafahan

Dalam perspektif keagamaan, pelbagai macam bencana dan kerusakan di muka bumi sepenuhnya disebabkan oleh ulah perbuatan manusia. Dalam Alquran, contohnya, pesan ini sangat eksplisit ditekankan dalam Surah Ar-Rum ayat 41. Dengan kata lain, manusialah yang harus bertanggung jawab sekaligus menanggung pelbagai macam dampak buruk dari pelbagai keburukan dan perusakan yang dilakukan di muka bumi. Manusia yang dimaksud dalam ayat di atas tentu manusia secara umum.

Ada segolongan manusia yang mungkin tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan.Tapi, mereka yang tak bersalah kerapkali juga harus menanggung beban derita dari bencana ataupun musibah yang terjadi. Mengingat musibah yang terjadi sesungguhnya akibat ulah manusia lain di waktu yang berbeda ataupun mungkin di tempat yang berbeda.

Inilah yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah, iza nazalal ‘azab amma as-shaleh wa at-thaleh (tatkala azab atau bencana melanda, dia tidak pernah membedakan kelompok yang saleh atau toleh/ jahat). Semuanya terkena dampak buruk dari musibah yang terjadi. Pelimpahan tanggung jawab kepada manusia secara total (manakala terjadi musibah) sejajar dengan kepercayaan ataupun amanat yang diberikan Allah kepada manusia.

Allah bahkan menjadikan manusia sebagai khalifah atau pengganti-Nya di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30). Inilah yang penulis sebut sebagai mandat kekhilafahan. Mandat kekhilafahan tentu bukan dimaksudkan agar manusia berprilaku laiknya Tuhan ataupun mendirikan kerajaan atas nama Tuhan di muka bumi. Karena Allah sebagai Tuhan tak pernah terwakilkan oleh siapa pun.Alih-alih oleh manusia biasa,para manusia pilihan Allah pun tidak dalam kapasitas menjadi wakil-Nya dalam ketuhanan.

Itu sebabnya para manusia pilihan itu dikenal dengan istilah Nabi ataupun Rasul yang secara kebahasaan berarti pembawa berita agung (an-nabiy) atau utusan Allah (rasulullah). Tugas utama dan terutama dari mandat kekhilafahan yang diberikan Allah kepada manusia adalah melestarikan dan memakmurkan bumi beserta lingkungan hidup.

Hal ini bisa dipahami secara eksplisit dalam Alquran, Surah Hud, ayat 61; …hua ansya`aku minal ardh wa ista’marakum fiha… (Allah menciptakan manusia dari bumi dam memandatkan kepada manusia untuk memakmurkan bumi). Karena diciptakan darinya dan akan kembali kepadanya, manusia wajib memakmurkan bumi. Sangat disayangkan, memakmurkan bumi beserta lingkungan sebagai tugas utama yang terdapat dalam mandat kekhilafahan yang diberikan Allah kepada manusia justru kerap diabaikan secara berjamaah.

Mandat kekhilafahan nbahkan tak jarang digunakan sebagai argumen teologis untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat kekuasaan pragmatis. Sedangkan pesan memakmurkan bumi beserta lingkungan acap terabaikan seakan tak pernah ada dalam mandat kekhilafahan atau bahkan seakan tidak ada dalam kitab suci yang dikuduskan oleh umat beragama.

Hal ini terlihat jelas dari pola keberagamaan yang berkembang di kalangan umat beragama, termasuk umat Islam. Pada umumnya, pola keberagamaan yang berkembang di kalangan umat Islam membedakan “yang dunia” dan “yang akhirat”. Hal-hal yang terkait dengan persoalan keduniaan (termasuk persoalan lingkungan) cenderung dinomorduakan. Sedangkan yang dinomorsatukan adalah halhal yang bersifat ukhrawi.

Fikih Lingkungan

Dalam konteks seperti ini, fikih lingkungan mutlak dibutuhkan ke depan untuk menekankan akan pentingnya pelestarian lingkungan secara umum. Pun demikian bahwa perhatian terhadap lingkungan menjadi satu kesatuan dalam ajaran agama yang utuh dan komprehensif.Apalagi Indonesia selama ini masuk dalam kategori negara yang menjadi “langganan bencana”, sebagaimana telah disampaikan di atas.

Harus diakui bersama, fikih sebagai disiplin ilmu keislaman yang sangat “merakyat” memberikan perhatian cukup besar terhadap persoalan lingkungan. Hampir semua kitab fikih, contohnya, memberikan pembahasan cukup panjang lebar tentang interaksi manusia yang bersifat sosial atau bahkan transaksi usaha di pelbagai macam bentuknya (bab al-mu’amalat).

Kendati demikian, pembahasan fikih tentang lingkungan selama ini cenderung dipahami dalam semangat pola keberagamaan yang bersifat dikotomis antara “yang dunia” dan “yang akhirat”. Hingga perhatian terhadap lingkungan tetap dalam posisi nomor dua. Sedangkan yang nomor satu adalah hal-hal yang bersifat ukhrawi.

Tidak ada yang salah dari perhatian besar umat beragama terhadap hal-hal yang bersifat ukhrawi, seperti peribadatan dan seterusnya.Namun, harus ditegaskan bahwa hal-hal yang bersifat duniawi tidak dapat diabaikan atas nama hal-hal yang bersifat ukhrawi. Sebaliknya, pesan-pesan moral, sosial, lingkungan, dan hal keduniaan lain justru menjadisatu kesatuan dalam bangunan ritual dan peribadatan yang wajib dilakukan oleh umat beragama.

Karena itu,menurut hemat penulis,semua pihak ke depan harus mulai melakukan pengarusutamaan terhadap fikih lingkungan (khususnya di kalangan tokoh agama). Hingga hal-hal yang bersifat keduniaan tidak dijadikan “tumbal” demi kesempurnaan halhal yang bersifat keakhiratan. Apa yang disampaikan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Mustashfa, sejatinya menjadi perhatian semua pihak.

Tujuan dari syariat (maqshad as-syar’iy) tak lepas dari lima hal yaitu menjaga agama (hifzu ad-din), melindungi jiwa (hifzu an-nafs), menjaga akal (hifzu al-aql), menjaga keturunan (hifzu an-nasl), dan menjaga harta kekayaan (hifzu al-mal). Dan hampir semua dari lima hal pokok di atas (ad-dharuriyat alkhamsa) tidak dapat terjaga dan terlindungi secara baik tanpa ada lingkungan dan kehidupan yang terjaga dan terurus secara lestari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar