Selasa, 03 April 2012

Kasus HAM Papua Kian Temaram


Kasus HAM Papua Kian Temaram
Chrisbiantoro, Anggota Badan Pekerja
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)
SUMBER : KOMPAS, 03 April 2012



Papua tidak kunjung menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik. Beragam persoalan masih membelenggu, termasuk kekerasan dan praktik pelanggaran HAM, korupsi, serta minimnya kesungguhan dari pemerintah untuk menyelesaikannya.
Serangkaian kasus dugaan pelanggaran HAM bahkan berangsur menjadi kasus misterius. Misterius bukan hanya tidak diketahui siapa pelakunya, melainkan juga karena kita tidak pernah tahu langkah hukum dan hasil yang dicapai oleh Polri dan Komnas HAM, termasuk apa tindak lanjutnya.

Eskalasi Kekerasan

Setahun terakhir kejadian penembakan meningkat tajam, khususnya pasca-pemogokan buruh PT Freeport Indonesia (FI). Tercatat ada 11 kali peristiwa penembakan sejak 10 Oktober 2011, termasuk penembakan terhadap ribuan karyawan dan masyarakat adat di Terminal Gorong-gorong. Total korban yang tewas adalah sembilan orang, terdiri dari tujuh karyawan PT FI dan dua penambang tradisional. Korban luka-luka tercatat 18 orang, terdiri dari TNI (2 orang), polisi (4), dan karyawan PT FI (12).

Di luar penembakan di Terminal Gorong-gorong, identitas semua pelaku penembakan tidak diketahui. Kondisi tersebut diperparah dengan peristiwa penyerangan TNI/Polri terhadap peserta Kongres III Rakyat Papua pada 19 Oktober 2011 yang mengakibatkan jatuh korban luka-luka dan meninggal dari masyarakat sipil.

Kondisi ini berbanding terbalik dengan rendahnya kualitas respons dari pemerintah, baik kepolisian, Komnas HAM, maupun Presiden RI. Dari beragam respons yang mereka berikan, tidak satu pun yang memberikan stimulus untuk menopang perbaikan kondisi di Papua.

Sejauh ini tidak ada proses hukum yang efektif dari pihak Kepolisian RI, khususnya melalui mekanisme hukum pidana. Buruknya performa penegakan hukum tersebut tidak lepas dari lemahnya akuntabilitas dan komitmen Polri sebagai ujung tombak penegakan hukum dan pelindung masyarakat sebagaimana dimandatkan dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.

Di satu sisi, Kepolisian RI terkesan enggan melakukan investigasi internal untuk memastikan ada atau tidaknya pelanggaran prosedur di dalam tubuh kepolisian. Di sisi lain, Komnas HAM tidak banyak memberikan kontribusi bagi upaya pengusutan dan pencegahan atas serangkaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Komnas HAM terbukti tidak menjalankan UU No 39/1999 tentang HAM dan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Tidak ada penjelasan, kejelasan dan pertanggungjawaban bahkan tindak lanjut dari aktivitas pemantauan yang telah dilakukan oleh Komnas HAM hingga kini.

Selain itu, kekerasan seputar pemilihan kepala daerah (pilkada) di Papua turut memperburuk situasi di sana. Pertama, di Kabupaten Puncak, dengan terjadinya bentrokan antarpendukung Simon Alom dan Elvis Tabuni saat memperebutkan rekomendasi DPD Gerindra untuk maju ke pemilihan bupati. Sepanjang 31 Juli-Februari 2012, konflik telah menewaskan 95 orang, belum lagi ratusan yang luka-luka akibat perang terbuka antarkubu pendukung itu.

Kedua, bentrok antar-pendukung John Tabo-H Edi Suyanto yang diusung Partai Golkar dengan Usman Wanimbo-Amos Jikwa yang diusung Partai Demokrat dalam pencalonan bupati Tolikara. Bentrokan tersebut telah menewaskan 11 orang, melukai 201 orang, dan menghanguskan 76 rumah.

Dalam dua kasus tersebut, tidak tampak keseriusan partai politik pengusung calon untuk mencarikan jalan keluar dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Di sisi lain, Kepolisian RI gagal mencegah dan mengantisipasi bentrokan.

Situasi ini menegaskan bahwa partai politik tidak boleh melepaskan tanggung jawab atas tindak kekerasan yang terjadi akibat praktik politik para pengikutnya sebagaimana yang terjadi di Papua.

Partai politik harus bertanggung jawab menciptakan iklim persaingan yang sehat dalam pilkada. Kekerasan di Papua dengan kepentingan pilkada yang berkepanjangan menunjukkan bahwa partai politik yang beroperasi di Papua telah gagal menjadi instrumen pendidik demokrasi dan menciptakan kesadaran politik. Ironisnya, pilkada justru jadi kontributor kekerasan yang memperparah kondisi Papua.

Pemerintah Abai

Setidaknya terdapat pernyataan dari beberapa pejabat negara, di antaranya Panglima TNI yang diwakili oleh Letnan Jenderal M Noer Muis, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution, serta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, yang intinya tidak mengakui adanya tindak kekerasan dan dugaan pelanggaran HAM berat di Papua.

Gambaran memprihatinkan tersebut diperparah dengan pernyataan kontroversial yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa operasi TNI dan Polri di Papua adalah untuk menjaga kedaulatan negara, tidak termasuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurut Presiden SBY, negara mana pun akan melakukan hal yang sama terhadap gerakan separatis bersenjata yang muncul di negaranya.

Pernyataan tersebut semakin menegaskan bahwa pemerintah tidak memiliki kesungguhan menyelesaikan beragam persoalan di Papua. Pernyataan ini sekaligus merupakan bentuk dualisme karena di satu sisi mencoba menggulirkan solusi untuk Papua dengan membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2011. Unit kerja ini bertugas membantu presiden melakukan koordinasi, fasilitasi, dan sinkronisasi perencanaan percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Tawaran solusi lainnya yang pernah disetujui dan dijanjikan oleh Presiden SBY adalah komunikasi konstruktif. Namun, sampai saat ini tidak ada kejelasan kapan rencana ini akan dilaksanakan dan tidak jelas komunikasi seperti apa yang dimaksud. Gagasan dialog atau komunikasi ini lahir setelah LIPI bertahun-tahun mendorong gagasan dialog damai untuk penyelesaian konflik di Papua.

Sejauh ini, wujudnya hanyalah dialog dengan tokoh agama yang difasilitasi organisasi agama, seperti Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), tanpa partisipasi dan dukungan pemerintah. Tentu saja hasilnya jauh dari harapan masyarakat Papua karena faktor keterlibatan, keterwakilan, dan aspirasi segenap masyarakat Papua diabaikan.

Di sisi lain, jumlah tahanan politik terus bertambah. Enam bulan terakhir tercatat paling tidak masih ada 30 orang yang menjadi tahanan politik.

Setelah pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah, peraturan ini merupakan kepanjangan tangan dari penerapan secara eksesif pasal-pasal makar dalam KUHP. Sejak itu banyak dikeluarkan kebijakan yang melarang pengibaran bendera Bintang Kejora, dan pengadilan terus memidanakan mereka yang menyebarkan sentimen pro-kemerdekaan. Itu sebabnya mereka yang terkait pengibaran bendera mendapat dakwaan makar, bahkan pengungkapan damai pun dilarang.

Pendekatan ”keamanan” terus diterapkan. Situasi di Papua semakin tidak menentu. Respons pemerintah lambat, ingin mengesankan hati-hati dan sangat ditentukan oleh upaya pencitraan. Tidak mengherankan jika implikasinya justru gagal mencegah memburuknya situasi.

Sikap, pernyataan, dan kebijakan presiden tidak memiliki resonansi pada kondisi riil di masyarakat. Sungguh aneh, daerah dengan kekayaan alam yang fantastis justru dirundung kekerasan, korupsi, dan kemiskinan. Semakin ironis lagi, ketika identitas ke-Papua-annya pun seolah hanya jadi obyek wisata, bukan identitas budaya, apalagi bangsa.

Untuk itu, penulis kembali mengingatkan bahwa persoalan di Papua adalah tanggung jawab secara menyeluruh dari pemerintah. Tidak cukup persoalan ini hanya diserahkan kepada Kepolisian RI dan Komnas HAM yang terbukti tidak mampu menjadi bagian dari solusi, apalagi dengan terus-menerus melibatkan TNI.

Presiden sebaiknya juga jangan lari dari tanggung jawab dan mencari legitimasi dengan mengesankan seolah kewenangan presiden mengecil. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar