Harga Sukhoi Terbang Tinggi
Al Araf, Direktur
Program Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial);
Pegiat
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Pertahanan dan Keamanan
SUMBER : KOMPAS, 03 April 2012
Saya menyadari bahwa tulisan Andi Widjajanto
berjudul ”Estimasi Harga Sukhoi 30 MK2”
yang dimuat di Kompas, 28/3/2012, mengajak pembaca memahami rumus teoretis
dalam menghitung harga Sukhoi 30MK2.
Sebagai dosen Teknologi Senjata FISIP
Universitas Indonesia, bisa dimengerti apabila ia ingin agar masyarakat tidak
jatuh pada kesimpulan keliru. Apalagi, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi
Sektor Pertahanan dan Keamanan telah mempersoalkan pembelian enam unit Sukhoi
30 MK2 karena harganya dianggap tak wajar. Namun, ada perbedaan referensi dan
persepsi antara Andi dan Koalisi. Andi dalam menghitung harga Sukhoi hanya
bersandar pada teori dan istilah-istilah yang dijelaskan dalam buku keilmuan,
tetapi kurang didukung data lain, termasuk proforma invoice dan kontrak.
Sementara Koalisi memakai data faktual karena bersumber dari Kementerian
Pertahanan selaku pengusul pengadaan Sukhoi.
Teori versus Fakta
Akibat terlalu teoretis, rumus dan istilah
yang digunakan Andi kurang dapat menjelaskan inti permasalahan yang tengah
dipersoalkan Koalisi. Salah satu contoh bahwa terjadi pencampuradukan
penghitungan harga Sukhoi, yang terdiri atas berbagai macam faktor penentu
harga dengan pembiayaan, perawatan, amunisi dan sistem persenjataan, rudal,
serta rumus-rumus kenaikan atau inflasi pembiayaan yang tidak ada korelasi
dengan inti permasalahan dan pada akhirnya menimbulkan kerancuan.
Pada kenyataannya, pembiayaan perawatan yang
terbagi ke dalam hitungan 1.000, 3.000, dan 6.000 jam terbang sebagaimana
ditulis Andi tidak menjadi bagian dari komponen yang diperhitungkan dalam
kontrak sebagaimana dipaparkan Wamenhan dalam Rapat Kerja dengan Komisi I DPR
pada 26 Maret 2012. Tentu tak masuk akal jika pemerintah harus membayar di
depan biaya perawatan yang baru akan dilakukan lima tahun mendatang.
Untuk amunisi dan sistem rudal, pada dokumen
autentik yang dimiliki Koalisi, enam Sukhoi yang akan kita beli tak memasukkan
amunisi dan rudal dalam paket pembelian. Sebagaimana penjelasan Wamenhan,
kebutuhan amunisi dan rudal masih dalam perencanaan dan akan dibelanjakan
terpisah pada 2012.
Hal lain yang cukup mengganggu adalah
penyebutan tipe mesin AL-37FD untuk pesawat Sukhoi 30MK2. Dalam katalog yang
dikeluarkan Rosoboronexport (2011)
ataupun berbagai macam sumber informasi atas spesifikasi teknis Sukhoi 30MK2,
dinyatakan tipe mesin untuk Sukhoi 27SK/SKM ataupun Sukhoi 30MK2 adalah tipe
AL-31F turbofans produksi Saturn.
Penulis tidak mengerti apakah telah terjadi salah ketik dalam soal ini atau
memang merujuk pada tipe mesin Sukhoi yang berbeda.
Jika mengacu pada harga dasar pesawat tempur
yang mencakup rangka pesawat, mesin, dan avionik sebagaimana ditulis Andi
sebesar 55 juta dollar AS-60 juta dollar AS, justru inilah yang hingga kini
masih misterius. Kontrak pembelian enam Sukhoi 30 MK2 berikut proforma invoice sebagai rujukan paling
autentik atas spesifikasi teknis pesawat serta ruang lingkup pekerjaan
pembelian—hingga melahirkan angka dalam kontrak jual beli 470 juta dollar
AS—sebagai harga versi Kemenhan tak kunjung dibuka.
Meskipun Komisi I DPR dalam rapat kerja
dengan Kemenhan sudah meminta agar kontrak dan proforma invoice dibuka, hingga hari ini permintaan itu tidak
pernah digubris. Oleh karena itu, wajar jika muncul dugaan bahwa Kemenhan
sedang menyembunyikan sesuatu.
Barangkali benar bahwa harga satuan pesawat
terdiri atas rangka pesawat, mesin, dan avionik. Akan tetapi, harus diingat,
dari total anggaran 470 juta dollar AS yang diajukan Kemenhan, terdapat usulan
membeli 12 mesin AL-31F seri 23 dengan harga satuan 6,8 juta dollar AS.
Anehnya, pada usulan anggaran yang bersumber dari APBN Perubahan 2011, Kemenhan
juga mengajukan pembelian mesin untuk Sukhoi sebanyak lima unit dengan harga
satuan 5 juta dollar AS.
Pertanyaannya, apakah enam unit Sukhoi yang
akan kita beli sebenarnya tanpa mesin sehingga harus membeli 12 mesin secara
terpisah? Jika tanpa mesin, gugur asumsi bahwa harga satuan pesawat terdiri
atas rangka, mesin, dan avionik. Demikian pula dari sisi harga mesin, terdapat
indikasi ketidakwajaran karena harga internasional yang beredar atas mesin seri
AL-31F untuk Sukhoi 30MK2 hanya berkisar 3 juta dollar AS hingga 3,5 juta
dollar AS. Artinya, jika dibandingkan dengan harga yang diusulkan Kemenhan,
terlihat selisih hingga 100 persen lebih mahal daripada harga wajarnya.
Adanya ketidakwajaran harga itu tentu tidak
bisa dilepaskan dari penggunaan kredit komersial dalam pembelian Sukhoi.
Alhasil, pihak ketiga, dalam hal ini PT Trimarga Rekatama sebagai agen, ikut
terlibat di dalam pengadaannya sebagaimana terlihat pada pengumuman TNI AU, 21
Oktober 2011. Meskipun dalam nota kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Rusia dan
Indonesia pada 2007 Sukhoi tak termasuk alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dibeli melalui fasilitas
kredit negara (state credit),
terdapat klausul amandemen dalam MOU yang membuka ruang untuk perubahan.
Terlebih lagi pihak Rusia justru
mempertanyakan mengapa alokasi state
credit yang masih sisa dari gagalnya pembelian kapal selam dari Rusia tidak
digunakan. Rosoboronexport sendiri
sebenarnya punya kantor di Jakarta, tetapi mengapa masih melibatkan agen dalam
pengadaan Sukhoi. Di sinilah timbul kecurigaan, penggunaan kredit komersial
sebenarnya hanya untuk membuka ruang bagi pihak ketiga/agen. Bukan rahasia
lagi, dalam perdagangan senjata di Indonesia broker sering kali berperan besar dalam mengatur dan mempermainkan
harga.
Hal ini diperkuat pengakuan anggota Komisi I
DPR, Helmi Fauzi, yang menyatakan keterlibatan calo atau rekanan membuka celah
bagi mafia anggaran (Kompas, 29/3/2012). Dalam keputusan rapat Komisi I dan
Kemenhan, 26 Maret 2012, Kemenhan akhirnya setuju akan berusaha mengubah
pengadaan alutsista dari kredit komersial ke kredit negara dari Rusia.
Salah Kesimpulan
Berdasarkan uraian fakta di atas, patut
disayangkan jika dalam tulisan Andi kemudian terdapat kesimpulan harga
pembelian enam Sukhoi dianggap wajar. Sejak kapan sebuah teori dapat memberikan
kesimpulan atas fakta yang tengah terjadi? Bukankah sebaliknya, kesimpulan yang
ditarik dari sebuah teori harus berlandaskan atas fakta?
Barangkali karena minimnya data autentik,
sandaran teoretis keilmuan yang ia gunakan tak sanggup menjelaskan kenyataan
yang terjadi sebenarnya. Perlu ditekankan, Koalisi tak dalam kepentingan
menggagalkan upaya memodernisasi alutsista TNI yang memang sangat minim dan
dalam kondisi memprihatinkan.
Sebaliknya, siapa pun warga negara Indonesia
akan bangga jika TNI memiliki armada tempur kuat sehingga diperhitungkan negara
lain sekaligus akan meningkatkan harga diri bangsa dalam arus percaturan
global. Namun, ini tak lantas membuat proses pengadaan alutsista boleh
dilakukan secara tidak transparan dan akuntabel. Jika Kemenhan mampu memenuhi
tuntutan transparansi dan akuntabilitas pengadaan alutsista, akan meningkatkan
citra positif pemerintah dalam upaya memodernisasi alutsista sehingga dukungan
publik serta-merta mengalir. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar