Kamis, 19 April 2012

Ironi Pasar Bebas


Ironi Pasar Bebas
Donny Gahral Adian, Dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 19 April 2012



Beberapa tahun terakhir, pasar bukan lagi tempat bergunjing, melainkan menjadi obyek gunjingan serius. Krisis yang melanda Eropa dan Amerika Utara menunjukkan ada yang ganjil tentang dan di dalam pasar. Keganjilan ini yang kemudian dikemukakan Presiden Brasil Dilma di hadapan Barack Obama.

Dilma menuduh Amerika melangsungkan kebijakan ekspansionis. Amerika dituding mematok suku bunga terlalu rendah hingga nyaris mendekati 0 persen. Kebijakan serupa yang juga dilakukan di hampir semua negara maju itu membuat mata uang kuat, seperti dollar dan euro, mengalami depresiasi. Akibatnya, mata uang negara berkembang menguat sehingga menyurutkan ekspor. Menurut Dilma, kebijakan tersebut sejatinya adalah perang kurs dengan basis kepentingan nasional Amerika.

Ironi

Pasar bebas adalah secarik ironi tersendiri. Semula itu dimaksudkan sebagai arena global yang meratakan teritorial dan kepentingan politik. Pasar tidak mengenal nasionalisme. Orang membeli pakaian impor karena harganya lebih murah daripada domestik. Subsidi BBM dipatok sebagai kekeliruan politik yang memiliki konsekuensi ekonomi.

Pasar adalah ruang hampa politik. Tempat orang bertransaksi secara bebas dan tidak berbatas. Sebagai ruang, pasar adalah sesuatu yang berbeda dengan negara. Orang bisa keluar masuk pasar secara bebas, sementara orang tidak bebas keluar masuk negara. Pasar adalah anti-teritorial, sementara negara justru berteritorial.

Namun, pasar ternyata tidak sehampa yang dikira orang. Pasar tidak anonim. Dia tidak mengubah planet ini menjadi dataran raksasa tanpa sekat-sekat politik. Pasar justru menunjukkan gelagat politik yang begitu sangat. Tuduhan Dilma terhadap kebijakan Amerika, misalnya. Dilma menuduh Amerika menyumbat kebebasan negara berkembang melalui kebijakan domestiknya. Dilma juga menyumpahi kebijakan luar negeri Amerika yang memusuhi Iran, Suriah, dan Kuba.

Sanksi ekonomi terhadap Iran justru membuat harga minyak dunia naik tajam. Ini memukul negara berkembang, terutama negara-negara yang menjadi net importir. Amerika dapat berleha-leha karena memiliki cadangan minyak tertinggi di dunia: 22,5 miliar barrel.

Lalu, siapa bilang pasar bersimpang jalan dengan nasionalisme? Segala perjanjian perdagangan bebas hanya kedok dari kepentingan nasional negara-negara maju. Amerika, misalnya, pernah menyerang China yang dituduhnya melakukan pematokan kurs sehingga membuat Amerika dibanjiri barang murah buatan China. Kebijakan tersebut dianggap tidak fair karena menyalahi prinsip perdagangan bebas. Barang-barang buatan Cina menjadi begitu dominan di pasar global akibat kebijakan domestik Pemerintah China.

Ironisnya, Amerika sekarang melakukan hal yang sama. Kebijakan suku bunga rendah oleh Amerika dituduh sebagai biang keladi kemerosotan ekspor negara berkembang. Kombinasi kebijakan dalam dan luar negeri Amerika memaksa negara berkembang menjadi importir dan membayar ongkos sosial akibat naiknya harga BBM. Artinya, daya saing negara berkembang tidak ditentukan oleh kapasitas sosial-ekonomi-kultural negara itu sendiri, tetapi hegemoni negara maju. Indonesia yang begitu kaya sumber daya alam pun dipaksa menjadi pengimpor ikan dan garam serta membayar BBM sesuai harga pasar yang disulut secara politik.

Pasar tidak sebebas yang dikira orang. Pasar adalah arena yang, alih-alih melangsungkan deteritorialisasi, justru berbuat sebaliknya. Deteritorialisasi dalam pasar global menyembunyikan arus reteritorialisasi yang begitu tajam. Pasar tidak meratakan teritorial, tetapi memunculkan teritorial-teritorial politik yang hegemonik, tetapi senantiasa berkabut.

Pasar (Tidak) Bebas

Pasar bebas adalah jargon ilusif sekaligus diskriminatif. Jargon itu selalu ditudingkan pada negara berkembang yang berusaha keras melindungi kepentingan nasionalnya. Namun, jargon serupa tidak pernah dilontarkan kepada negara maju yang melakukan hal serupa. Indonesia, misalnya, dituduh tidak kondusif bagi investasi asing.

Namun, sebaliknya, apakah negara maju juga membuka pintu ekonominya bagi Indonesia? Barang-barang ekspor kita selalu dituduh kumuh, tidak higienis, dan berbahaya berdasarkan tolok ukur yang dibuat (buat) negara maju.

Presiden Dilma mengingatkan kita bahwa globalisasi tidak sama dengan universalisasi. Globalisasi hanya merobohkan pagar-pagar politik negara berkembang. Tembok-tembok baja negara maju dibiarkan tetap tegak tak tersentuh.

Globalisasi tidak membuat konflik politik ternetralisasi secara ekonomi. Sebaliknya, justru ekonomi menyembunyikan pertarungan politik yang sengit berbasis kepentingan nasional. Globalisasi ekonomi menyembunyikan fakta konflik politik yang tak berkesudahan dan tak seimbang. Negara-negara berkembang terus didera sanksi ekonomi, sementara negara maju tak putus menikmati hak-hak istimewanya di pasar gobal.

Pasar bebas, meminjam istilah filsuf Ranciere, adalah epos pasca-politik. Sebuah epos di mana konflik ideologis digantikan oleh kolaborasi para teknokrat yang terus menegosiasikan kepentingan mereka atas nama konsensus universal. Namun, konsensus universal bernama pasar bebas tidak bebas ideologis. Itu adalah kedok dari hegemoni politik negara maju.

Pasar bebas menjungkirbalikkan konsep ”metapolitik” dari Ranciere. Apabila ”metapolitik” berarti bersembunyinya kepentingan ekonomi di balik pertarungan politik, yang terjadi di epos pasar bebas justru ekonomi yang menyembunyikan pertarungan politik.

Pasar bebas bukan tempat berpidato tentang universalisme. Dia bukan pekik kosmopolit tentang toleransi global dan kesatuan yang serba menyelimuti. Universalis sejati justru bersembunyi pada mereka yang tidak percaya pada ”sihir universal” pasar bebas. Universalis sejati tertanam dalam diri wanita besi bernama Dilma. Dia tanpa tedeng aling-aling melibatkan diri dalam pertarungan penuh gairah melawan ketidakadilan global berkedok universalisme.

Sebaliknya, keprihatinan justru menyengat saat menengok sepak terjang pemimpin bangsa sendiri. Alih-alih berjuang melawan mitos pasar bebas, pemimpin kita justru berserah diri pada harga minyak dunia. Saat pasar menjadi ajang pertarungan kepentingan nasional, pemimpin kita justru menyerahkan nasionalisme pada mekanisme pasar. Padahal, pasar tidak se-naif yang dikira orang. Dia bukan medan tempat orang berdagang, melainkan berjuang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar