Hiper-realitas
Perekonomian Nasional
Dodi Mantra, Dosen Hubungan Internasional
Universitas Al-Azhar Indonesia;
Pegiat
Aliansi Pemuda Pekerja Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 13 April 2012
Ketegangan politik seputar kenaikan harga BBM
beberapa waktu lalu tak ubahnya sebuah drama yang mempertontonkan kepalsuan dan
kebohongan.
Drama politik ini baru saja berakhir.
Penundaan kenaikan harga BBM jadi adegan penutup yang bahagia bagi semua pihak.
Peran protagonis dimainkan dengan sangat apik sehingga berakhir bahagia. DPR
berhasil memainkan peran sebagai pejuang kepentingan rakyat dengan
dipertahankannya Pasal 7 Ayat (6). Namun, DPR juga tidak memosisikan pemerintah
sebagai tokoh antagonis di dalam drama ini. Melalui penambahan Pasal 7 Ayat
(6a), mayoritas DPR menyiratkan pesan bahwa pemerintah pun berpihak kepada
rakyat karena kenaikan harga BBM diperlukan demi menyelamatkan perekonomian
nasional.
Pemerintah bermain tidak kalah apik dalam adu
peran dengan DPR. Presiden SBY menyambut positif keputusan DPR yang tetap memberikan
ruang dan kewenangan yang sah kepada pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM.
Bahkan, ditegaskan, pemerintah akan terus bersama rakyat dalam suka dan duka.
Keputusan untuk menaikkan harga BBM hanya akan dilakukan jika tidak ada opsi
lain dan sangat diperlukan guna menyelamatkan perekonomian nasional. Meski
tidak populer, pemerintah meyakini itu semata-mata untuk kepentingan yang
besar, kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
Berbahagialah rakyat di negeri ini karena DPR
dan pemerintah mendengarkan aspirasi, bekerja, dan mengabdikan diri untuk
mereka. Rakyat berada di jantung perekonomian nasional sehingga upaya
pemerintah dan DPR dalam menyelamatkan perekonomian nasional adalah untuk
kepentingan rakyat.
Kebohongan
Dapat dicermati, inti dari ”peran berpura-pura”
(drama) ini adalah tentang penyelamatan perekonomian nasional. Jika memang ini
sebuah drama, apa yang disebut perekonomian nasional, di mana dikesankan rakyat
berada tepat di jantungnya, pun merupakan sebuah pentas keberpura-puraan yang
tentu saja bukanlah representasi dari realitas yang sesungguhnya.
Namun, peliknya permasalahan hari ini
menjadikan tampilan yang kemudian kita citrakan sebagai perekonomian nasional
bukanlah sekadar hasil dari sebuah pementasan drama, di mana tembok pemisah
antara kebohongan dan kenyataan masih berdiri tegak. Sebagaimana Yudi Latif
masih dapat melihat perbedaan antara kepalsuan dan kesejatian atau Daoed
Joesoef dapat memisahkan khayalan dan realitas dari drama rencana kenaikan
harga BBM (Kompas, 3/4/2012).
Apa yang kita citrakan sebagai perekonomian
nasional hari ini merupakan sebuah hiper-realitas, sebuah simulacrum raksasa yang benar-benar terlepas dari realitas, yang
lahir dari proses simulasi atas realitas yang justru menggantikan yang riil
(Oberly, 2003). Jadi, batas pemisah antara kepalsuan dan realitas menjadi
lenyap. Dalam medan pemikiran Jean Baudrillard, hiper-realitas berpijak pada
simulasi dan simulacra (Baudrillard, 1983). Simulasi tidak terlepas dari proses
representasi imajiner atau abstraksi atas realitas. Namun, simulasi berbeda
dengan representasi. Representasi, terkait sistem tanda Ferdinand Saussure
(1959), merupakan tanda yang selalu merujuk pada realitas sehingga setiap tanda
dapat ditukar dengan makna.
Simulasi berjalan lewat model-model realitas
tanpa asal atau tanpa merujuk pada realitas. Jika representasi berpijak pada
prinsip kesepadanan antara tanda dan realitas, sebaliknya simulasi berangkat
dari utopia prinsip kesepadanan ini sehingga menghilangkan setiap rujukan
realitas dari tanda (Baudrillard, 1983).
Reproduksi terus-menerus dari simulacra
sehingga simulasi atas realitas dapat menggantikan yang riil menciptakan sebuah
simulacrum raksasa yang sepenuhnya
lepas dari realitas, yaitu hiper-realitas (Oberly, 2003). Jadi, lenyaplah
pemisahan antara yang imajiner dan yang riil di dalam hiper-realitas.
Dalam pemikiran Baudrillard, simulasi juga
tidak hanya sekadar bentuk kepura-puraan (dissimulation).
Dalam kepura-puraan, realitas tetap utuh, tetap terdapat perbedaan jelas antara
kepalsuan dan realitas. Sebaliknya, simulasi menghilangkan perbedaan antara
”benar” dan ”salah”, antara ”yang riil” dan ”yang imajiner” (Baudrillard,
1983). Sebagai sebuah hiper-realitas, perekonomian nasional merupakan sebuah
simulacrum raksasa yang direproduksi terus-menerus melalui simulasi
pertumbuhan.
Sebagai sebuah representasi, pertumbuhan
berawal sebagai sebuah model yang merefleksikan realitas perekonomian. Namun,
terciptanya pertumbuhan sebagai sebuah model realitas justru menyelubungi dan
mengaburkan realitas perekonomian itu sendiri sampai akhirnya pertumbuhan
menjadi simulasi realitas yang menggantikan yang riil.
Dengan kata lain,
simulasi pertumbuhan telah menyerap realitas perekonomian.
Lepas dari Realitas
Angka pertumbuhan yang lahir dari hasil
simulasi pertumbuhan menjadi sebuah simulacrum murni yang tidak lagi merujuk
pada realitas, bahkan telah sepenuhnya lepas dari realitas. Namun, ketika angka
pertumbuhan menjadi sebuah simulacrum, angka ini menjadi lebih nyata daripada
kenyataan itu sendiri. UU APBN, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional, Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Indonesia, laporan Bank Indonesia, laporan BPS, media massa, serta bahan bacaan
dan ruang-ruang kuliah adalah tempat di mana simulasi pertumbuhan dijalankan
sehingga memproduksi simulacra yang menopang hiperrealitas perekonomian
nasional.
Dapat kita cermati bagaimana di dalam
hiper-realitas perekonomian nasional angka pertumbuhan menjadi sesuatu yang
sangat nyata, bahkan lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri. Pada Pasal 43
Ayat (1) UU APBN 2012 (yang tentu saja bukan menjadi fokus revisi dari UU APBN
Perubahan), ”penurunan proyeksi
pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi…,” dijadikan sebagai tanda bagi keadaan
darurat perekonomian nasional.
Di sinilah terlihat bagaimana perekonomian
nasional sebagai sebuah hiper-realitas menjadi sistem pertukaran tanda dengan
tanda, bukan dengan makna. Hiper-realitas merupakan sebuah sistem pertukaran
tanda-tanda yang kosong yang tidak memiliki rujukan (referensi) pada realitas.
”Keadaan darurat” merupakan sebuah tanda yang merujuk pada tanda lain, yaitu ”proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi”.
Dalam RKP 2012, dengan proyeksi pertumbuhan
ekonomi 6,5-6,9 persen, jumlah penduduk miskin diperkirakan turun menjadi
10,5-11,5 persen dan pengangguran terbuka menjadi 6,4-6,6 persen. Di media
massa, pemerintah menyatakan revisi target pertumbuhan 2012 dari 6,7 menjadi
6,5 persen (penurunan sebesar 0,2 persen) berdasarkan APBN Perubahan 2012,
menyebabkan target penciptaan lapangan kerja 90.000 tidak tercapai. Demikianlah
hiper-realitas perekonomian nasional disusun atas dasar pertukaran tanda dengan
tanda. Tanda angka pertumbuhan ditukar dengan tanda juga, yaitu angka
kemiskinan dan pengangguran. Namun, tanda ini tetap menjadi riil, bahkan lebih
riil ketimbang realitas.
Harga BBM sendiri merupakan sebuah simulacrum
yang lahir dari simulasi. Dalam tulisan A Tony Prasetiantono, ”Minyak dan Kegalauan Rakyat” (Kompas,
5/4/2012), dapat dicermati bagaimana harga BBM merupakan simulacrum yang juga
tak terlepas dari pertukaran tanda. Tanda kenaikan harga minyak dunia ditukar
dengan tanda peningkatan konsumsi dunia. Kemudian ditukar lagi dengan tanda
harga BBM di dalam negeri yang juga ditukar dengan tanda penurunan produksi
sekaligus ditukar dengan tanda beban subsidi APBN yang ditukar lagi dengan
tanda keberlanjutan fiskal. Bahkan, dalam tulisan itu kenaikan harga BBM pun
disimulasikan, dengan waktu terbaik setelah Lebaran terkait tanda relaksasi
inflasi.
Bagi Baudrillard, hiper-realitas sendiri
merupakan sebuah bentuk baru dari dominasi (Baudrillard, 1981,1994).
Perekonomian atas dasar pertukaran tanda dengan tanda telah memicu gejolak
politik yang cukup panas di negeri ini. Namun, perlawanan terhadap
hiper-realitas bukanlah perkara mudah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan
gerakan perlawanan dalam gejolak politik kemarin justru terserap oleh simulasi
yang menopang hiper-realitas perekonomian nasional.
Namun, juga tidak berarti hiper-realitas
telah menutup semua ruang bagi gerakan perlawanan. Jadi, yang tersisa hanya ada
satu bentuk perlawanan pada hiper-realitas sebagaimana dikedepankan
Baudrillard, yaitu penolakan untuk berpartisipasi dalam media dan politik.
Perlawanan terhadap hiper-realitas tetap dapat dilakukan. Dalam kondisi ini,
penting bagi gerakan perlawanan untuk melakukan pembongkaran terhadap simulasi
dan simulacra yang menopang hiper-realitas sekaligus berupaya untuk tidak
terserap secara tidak sadar ke dalam hiper-realitas. Meski di dalam sebuah
hiper-realitas batas pemisah antara yang riil dan imajiner semakin hilang,
tetap yang riil tak akan pernah terserap sepenuhnya oleh simulasi. Perlawanan
dengan membongkar dan menampilkan retakan di dalam hiper-realitas dapat menjadi
agenda penting bagi gerakan hari ini. ●
'Hard core' stuff ini. Ngertinya susah.
BalasHapus