Jakarta
Sebuah Tantangan
Toeti Prahas Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 13 April 2012
HASIL
survei Lingkaran Survei Indonesia baru-baru ini menunjukkan Fauzi Bowo sebagai
gubernur incumbent masih mengungguli calon-calon lain. Wajar saja. Jika
ditinjau dari pengalaman, sudah belasan tahun Foke menangani Jakarta, dari
posisi sebagai Kepala Biro Protokol dan Hubungan Internasional Pemda DKI,
meningkat menjadi wakil gubernur, kemudian gubernur. Pendidikan formalnya pun
khusus untuk perencanaan kota dan wilayah, dari Universitas Braunschweig di
Jerman dengan gelar sarjana (selesai 1976) sampai gelar doktor dari Universitas
Kaiserslautern di negara sama (selesai 2000). Maka, slogan ‘Serahkan kepada Ahlinya’, sekalipun ada
saja yang mencibir, rasanya bisa diterima.
Akan
tetapi, calon-calon lain tidak kalah hebat dan berkesempatan untuk menang. Masing-masing
memiliki pengalaman unik yang banyak dipuji. Mereka pun bergairah untuk
memimpin Jakarta, kendati skala permasalahannya tentu berbeda dari yang pernah
mereka jumpai. Mereka diharapkan memiliki trik-trik dan strategi untuk mampu
menaklukkan Jakarta yang buas dan liar.
Problem Sama, Tanggapan bisa Berbeda
Perkembangan
peradaban setiap kota besar memiliki garis besar yang sama, tetapi
penanganannya bisa berbedabeda. Masalah Jakarta, misalnya, tentu beda dengan
masalah New York. Namun dalam hal-hal tertentu, ada kesamaannya, antara lain
aglomerasi antara kota induk dan kota-kota satelit, urban sprawl atau pelebaran daerah permukiman dengan kepadatan penduduk
yang rendah dan tidak terkendali, dan menurunnya daerah dukung lingkungan
perkotaan seperti masalah air bersih dan sampah.
Memang
sudah banyak saran untuk membuat Jakarta menjadi daerah tempat tinggal yang
nyaman bagi penduduknya. Bahkan para gubernur, termasuk Foke, telah mengerahkan
berbagai gagasan untuk mewujudkannya. Ada yang mengacu compact city, yaitu
memanfaatkan pusat kota sebagai kawasan serbaguna, ditandai dengan hadirnya
banyak bangunan apartemen untuk tempat tinggal ataupun daerah-daerah pusat
belanja seperti mal-mal. Toh meskipun itu diwujudkan, kenyataannya Jakarta
telah melebar. Urban sprawl telah merusak lingkungan perdesaan di seputar kota.
Alternatif
lain ialah memisahkan kota pemerintahan dengan Jakarta sebagai kota bisnis,
seperti halnya Kuala Lumpur dan Putrajaya, Canberra dan Sydney, atau Washington
DC dan New York. Juga masih ada wacana tentang konsep megapolitan
Jabodetabekjur-gagasan pengelolaan terpadu
Jakarta-Bogor-DepokTangerang-Bekasi-Cianjur.
Apa
pun pilihan gubernur nantinya mengenai daerah Ibu Kota, tentunya tidak bisa
menghindari kenyataan tentang heterogenitas penduduk, terutama dari tingkat
sosialekonomi. Apa pun rencana pembangunan yang akan datang, kenyataan tersebut
tidak bisa diabaikan bila tidak ingin Jakarta kelihatan compang camping.
Sekarang, misalnya, di balik gedung-gedung pencakar langit dengan jendela jendela
kaca ukuran raksasa, menempel hunian-hunian kumuh warga Jakarta yang setiap
hari harus berjuang hanya demi kelangsungan hidup: gembel dan pengemis,
pemulung, pedagang asongan, dan penganggur yang memilih jalan pintas untuk
mendapatkan penghasilan. Memang kepentingan penduduk kelas bawah akan menjadi
problem yang tidak berkesudahan karena jumlah mereka terus bertambah akibat
urbanisasi.
Tantangan Tidak Kunjung Usai
Mantan
Gubernur Wiyogo Atmodarminto, 20 tahun silam, mengatakan daya tampung Ibu Kota
maksimum 12 juta orang. Dapat dipastikan, sekarang jumlahnya sudah lebih dari
satu setengah kali jumlah tersebut. Sebagai tempat permukiman, Jakarta tidak
lagi terjamin kebersihan maupun kesehatannya. Bila banjir hebat datang, hanya
sekitar separuhnya selamat--umum nya daerah tempat tinggal kalangan elite dan
daerahdaerah yang dilewati jalanjalan protokol. Jadi, kalau kita bicara soal
penanggulangan banjir dan rusaknya lingkungan hidup, antara lain karena
keserakahan pebisnis yang membongkar daerah-daerah resapan air dari hulu sampai
hilir, sebenarnya masalahnya tidak terbatas sampai di situ. Salah satu problem
terbesar ialah beban arus penduduk. Mereka yang mengungsi dari banjir umumnya
terdiri dari orang-orang yang pergi dari desa yang tidak lagi memiliki daya
tarik karena tidak mampu memberikan penghidupan yang layak.
Masalah
banjir sebenarnya mengungkap keadaan fisik dan spirit Ibu Kota. Jakarta bukan
sekadar gebyar kemakmuran dan kesejahteraan 1%-10% penduduknya yang terkaya.
Bukan pula gambar kemajuan ideal sebuah kota besar seperti kota-kota
metropolitan lain di dunia dengan gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan
utama yang seakan melayang, semburan sejumlah air mancur sebagai penambah
keasrian, serta kerlap-kerlip kehidupan malam yang mencerminkan luapan
kegembiraan. Semua itu sisi terbaik mimpi kita bersama tentang Ibu Kota. Sisi
terparahnya dapat dipastikan membuat orang yang peduli akan menangis memikirkan
masa depan penduduk miskin yang terabaikan oleh gegapgempita Ibu Kota. Banjir
menjadi kenyataan setiap tahun.
Kanal banjir Jakarta, yang direncanakan sejak 1920 agar aliran Sungai Ciliwung tidak melintas di Kota Batavia, sampai saat ini belum terselesaikan, terutama karena soal pembebasan tanah.
Kanal banjir Jakarta, yang direncanakan sejak 1920 agar aliran Sungai Ciliwung tidak melintas di Kota Batavia, sampai saat ini belum terselesaikan, terutama karena soal pembebasan tanah.
Maka
itu, sementara dibuai kampanye penuh janji, kita tentu membayangkan sulitnya
menangani permasalahan Ibu Kota yang bertambah kompleks. Mudah-mudahan Jakarta
bisa mendapatkan pemimpin terbaiknya. Sejatinya menjadi tugas bersama pemimpin
dan warganya untuk membuat Jakarta sebuah ibu kota ideal. Apakah seluruh
penduduk Jakarta sudah `menjakartakan' dirinya? Atau masih ada yang menganggap
Jakarta sebagai sumber penghidupan dan tempat singgah semata? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar