Jumat, 13 April 2012

Fenomena Kodok Rebus Ujian Nasional


Fenomena Kodok Rebus Ujian Nasional
J Sumardianta, Guru, Bermukim di Jogja
SUMBER : KORAN TEMPO, 13 April 2012


Seekor kodok normal, sehat, dan lincah ditaruh dalam panci berisi air bersih. Panci kemudian dipanasi dengan suhu sedikit demi sedikit dinaikkan. Kodok tidak merasakan adanya perubahan. Kodok mati terebus tanpa reaksi apa pun saat air mendidih. Kodok lain, yang langsung dicemplungkan ke dalam panci berisi air panas, spontan dengan gerakan beringas melompat keluar menyelamatkan diri. Fenomena kodok rebus adalah metafora bagi bangsa Indonesia yang tidak mampu membaca dan menanggapi betapa bobroknya sistem persekolahan.

Kontroversi sepanjang masa ujian nasional (UN) dalam sistem pendidikan nasional merupakan fenomena kodok rebus. Pelajar dan guru di Indonesia telah lama menjadi kodok rebus. Mereka merupakan tipikal masyarakat yang ulet menderita berkat kebijakan sontoloyo pemerintahnya. Departemen Pendidikan mengkondisikan sedemikian rupa hingga murid dan guru tidak berdaya. Status quo UN terus-menerus dirawat dan dijaga kelangsungannya, kendati semrawut dalam praktek dan menyesatkan secara paradigmatik.

UN berseberangan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberikan kewenangan kepada guru untuk mengkreasikan kurikulum agar selaras dengan konteks sosial, ekonomi, dan lingkungan tempat sekolah berada. Spirit KTSP adalah multikultural, demokratis, dan desentralisasi. Sebaliknya, semangat UN sentralistik dan monokultural.

Pluralisme KTSP diperkurus asas tunggal standardisasi nilai UN sebagai penentu kelulusan. Sejak 2011, proporsi nilai UN dibandingkan dengan nilai sekolah adalah 60 : 40. Perbandingan yang timpang dan tidak adil. UN yang hanya sekali menguji sebagian mata pelajaran diberi porsi besar. Nilai sekolah yang komprehensif dari nilai rapor, ujian praktek, dan ujian sekolah diberi jatah kecil. Soal UN, yang seluruhnya berbentuk pilihan ganda, merupakan produk mental primitif. Proses mengingat dengan gradasi kualitas mental paling rendah.

Peraturan Pemerintahan Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan bertentangan dengan dengan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 58 UU SPN memberikan kewenangan kepada pendidik untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Pasal 67 PP No. 19/2005 memberikan otoritas kepada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk menyelenggarakan UN yang harus diikuti semua peserta didik. Ibarat petani, guru dan sekolahlah yang menabur benih, merawat, memupuk, dan menyiangi tanaman. Tapi, saat panen tiba, pemerintahlah yang menjarah hasilnya. Tampak jelas mentalitas serakah birokrasi penyelenggara UN.

Nilai UN, bagi pelajar SMA, adalah mubazir, tidak memiliki fungsi sertifikasi. Tidak bisa dipakai sama sekali buat masuk perguruan tinggi negeri. Lulusan SMA yang hendak melanjutkan studi ke perguruan tinggi negeri mesti menjalani tes seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Bagi yang masuk melalui jalur undangan, seleksi didasari nilai rapor semester I sampai V yang dilaksanakan sebelum UN berlangsung.

Bagi pelajar sekolah menengah kejuruan (SMK), UN juga kontraproduktif. Saat mereka mencari kerja, yang diverifikasi bukan nilai UN. Perusahaan hanya mengkonfirmasi kecakapan keras dan lunak mereka dalam permesinan, elektronika, bangunan, pertambangan, pengolahan makanan, peternakan, perikanan, dan pertanian, UN justru merecoki pelajar yang hendak meraih kompetensi. Pelajar SMK, memasuki kelas XII, konsentrasinya terpacak pada persiapan UN yang teoretis konseptual, bukan praktek vokasional.

UN merupakan tes sumatif yang bertujuan mengevaluasi kemampuan akhir pelajar setelah menjalani proses pembelajaran panjang di setiap satuan pendidikan. SNMPTN merupakan tes prediksi untuk menakar kemampuan kognitif pelajar guna mengantisipasi kemampuan calon mahasiswa. Fungsi UN dan SNMPTN berbeda. Tak bisa sembarangan dicampuradukkan.

UN bercorak evaluasi. Evaluasi hakikatnya bertujuan memperbaiki desain dan kualitas pembelajaran. Evaluasi berbeda dengan ujian yang bertujuan menentukan kelulusan. Itulah anomali UN: tumpang-tindih kepentingan dan kerancuan evaluasi dengan testing. Otoritas penyelenggara UN mengalami sesat pikir--tidak bisa memahami perbedaan mendasar evaluasi dan ujian dalam assessment.

Birokrasi pemerintahan Indonesia bukan tempat pangreh praja bekerja dilambari budaya mengakui kekeliruan. Bukan birokrat yang bekerja dengan motivasi untuk mengabdi dan melayani. Birokrasi yang secara defensif terpacak kaku (egoistik) dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sendiri. Bukan birokrasi altruis yang ikhlas melepas dan memberi. Motivasi mereka adalah mencari nafkah dan memoles karier. Bisa dibayangkan, ribuan birokrat kementerian pendidikan dasar dan menengah bakal tersapu puting beliung saat kehilangan pekerjaan dan jabatan, bila UN ditiadakan. Di balik UN juga terselip kepentingan birokrasi pemungut rente ekonomi.

Birokrasi beradab adalah birokrasi yang bermental menang-menang. Bukan birokrasi yang terus memaksakan kehendak dengan memadamkan selera belajar generasi mudanya. Seperti ungkapan bijak Mahatma Gandhi, “Jalan terbaik menemukan esensi birokrasi adalah hilangnya kepentingan birokrat dengan fokus melayani.” Kepentingan ribuan pegawai negeri boleh tetap jalan. Tapi nasib jutaan pelajar juga harus diselamatkan dari mekanisme kodok rebus. Kebijakan UN mesti dikembalikan fungsi alamiahnya sebagai alat evaluasi, bukan ujian penentu kelulusan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar