Menguatkan
Amanat Undang-Undang Penyiaran
Fathorrahman Hasbul, Peneliti pada Media Literacy Circle
(MLC)
Prodi Ilmu Komunikasi UIN Yogyakarta
SUMBER : KORAN TEMPO, 13 April 2012
Hingga kini, salah satu problem mendasar
dalam dunia penyiaran di Indonesia ialah adanya indikasi kepincangan dalam
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Banyak publik tidak bisa
memahami poin-poin penting dalam undang-undang tersebut. Salah satunya, ketika
undang-undang itu dikaitkan dengan standar kepemilikan media.
Kini proses kepemilikan media seakan
melimpah-ruah dan mengakar. Padahal dalam Pasal 18 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun
2002 disebutkan, "Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran
swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran
maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi." Dengan demikian, cukup
beralasan jika kemudian beberapa hari ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
mendukung penuh judicial review, dengan satu agenda penting agar
semuanya jelas dan berjalan proporsional.
Proses revisi ini penting untuk dikaji secara
komprehensif. Sebab, beberapa hari ini arus besar dunia penyiaran melalui radio
maupun televisi benar-benar deras. Standar kebebasan pers menjadi salah satu
penanda penting dari arus penyiaran yang dahsyat. Freedom of the press
adalah kata kunci yang sering kali diucapkan di era reformasi ini. Kata
tersebut seakan-akan menjadi lambang tunggal beberapa media untuk melakukan
gerakan secara cepat tanpa batas. Bahkan tidak sedikit pekerja media memaknai
kebebasan pers dengan sebutan freedom above anything else (kebebasan di
atas segalanya).
Revisi atas UU Penyiaran tersebut patut
didukung sepenuhnya. Dukungan tersebut bermuara pada satu orientasi kepatutan
sebuah siaran. Industri siaran secara de jure adalah mobilitas kemajuan
dan pengembangan. Dengan demikian, cukup rasional jika, pada awal-awal Perang
Dunia II, Hitler lebih memilih satu radio daripada seribu tentara.
Di republik ini, mayoritas publik tidak mampu
memahami secara utuh makna dasar kebebasan informasi, pers, dan sejenisnya.
Jika kita kembali membuka ulang lembaran sejarah, istilah freedom of the
press, menurut Malvin L. DeFleur dan Everette E. Dennis (1994), sejatinya
bukan karya asli bangsa Indonesia, melainkan dikutip dari amendemen pertama
konstitusi AS: "Congress shall make no law abridging the freedom of
speech, or of the press" (Kongres dilarang menciptakan undang-undang
hukum yang membatasi kebebasan berbicara dan kebebasan pers). Jadi, semangat freedom
of the press ini sebetulnya sangat khas Amerika. Dengan demikian, spirit
kebebasan pers, baik melalui sajian informasi maupun standar kepemilikan,
merupakan mentalitas yang lahir atas nama Barat.
Pada hakikatnya, kebebasan pers di Indonesia,
yang lahir pada 1999 dengan ditutupnya Departemen Penerangan dan dilahirkannya
Undang-Undang Nomor 40/1999 tentang Pers, tentu saja tidak semata-mata
membabi-buta. Di Indonesia, konstitusi kita memberi jaminan kebebasan
berekspresi, termasuk secara implisit menyangkut kebebasan pers. Namun dengan
catatan undang-undang dasar membenarkan pengaturan kebebasan ini oleh
pemerintah. Idealnya, standar kebebasan sama sekali tidak absolut.
Standar kebebasan pers di Indonesia bertumpu
pada poros keadilan. Cita-cita besar UU Penyiaran adalah proses kebebasan
dengan asas keadilan. Salah satu sentrum UU Nomor 32 Tahun 2002, terkait dengan
dimensi kebebasan menuju keadilan, adalah "bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat dan memperoleh informasi
melalui penyiaran sebagai perwujudan hak asasi manusia dalam kehidupan
masyarakat, berbangsa, dan bernegara, dilaksanakan secara bertanggung jawab,
selaras, dan seimbang antara kebebasan dan kesetaraan menggunakan hak
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945". Dengan demikian, proses revisi
pada UU Penyiaran tersebut hanya untuk mempertegas proses pengertian terhadap
beberapa undang-undang yang dinilai tidak dapat diserap secara lebih
komprehensif. Khususnya terhadap undang-undang yang erat kaitannya dengan
standar kepemilikan swasta dan regulasi.
Proses akumulasi jangka panjang dari ikhtiar
revisi atas UU Penyiaran adalah agar industri penyiaran dapat menerapkan
praktek-praktek terbaik (best practices) dalam koridor satuan
jurnalisme. Undang-undang dan segala peraturan yang erat kaitannya dengan kode
etik merupakan perangkat penting bagi para pelaku pers, lebih-lebih di dunia
penyiaran. Dalam arti, plakat kebebasan yang selama ini santer didengungkan
tetap harus berpijak pada poros keadilan.
Proses revisi atas UU Penyiaran mutlak harus
dikawal dan didukung penuh oleh KPI. Sebab, sejak awal, UU Penyiaran sebenarnya
mengamanatkan dibentuknya Komisi Penyiaran Indonesia, khususnya sebagai sebuah
lembaga independen yang berwenang mengatur penyiaran di Indonesia (Pasal 7 ayat
2). Dengan demikian, KPI seyogianya benar-benar mendorong revisi tersebut sebagai
sebuah upaya implementasi dan penguatan pada amanat UU Penyiaran.
Dukungan KPI harus bermuara pada satu
spektrum bagaimana menciptakan wajah dunia penyiaran secara kredibel dan
bermartabat. Sebab, mayoritas publik beberapa hari ini tanpa sadar telah
terjebak dalam arus media yang mengalir luar biasa. Otoritas KPI harus berpijak
di atas kekuatan industri penyiaran, khususnya dalam format nilai-nilai etis
siaran dan kebijakan kepemilikan media.
Jangan sampai sejarah pada awal
diluncurkannya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran terulang. Kala itu,
sekitar tahun 2002-2003, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) melakukan
gerakan anti-UU Penyiaran. Antara lain, dengan menayangkan semacam public
service announcement atau iklan layanan masyarakat (PSA atau ILM) yang
sifatnya "bergabung". Pesan "Kebebasan Pers telah Mati"
benar-benar ditayangkan di semua stasiun TV anggota ATVSI.
Tragedi ini adalah catatan sejarah kelam UU
Penyiaran. Pada tahap ini, kontribusi besar KPI dalam ikut serta mendorong revisi
undang-undang hendaknya dilakukan secara total. Proses pengawalan ini dinilai
penting, mengingat selama ini kendurnya pengawasan terhadap penerapan amanat UU
Penyiaran menghasilkan pemusatan kepemilikan media yang kian berakar.
Setidaknya, revisi UU Penyiaran tersebut akan membantu mengatasi monopoli media
massa di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar