Branding
Gubernur Jakarta
Syafiq Basri Assegaff, Konsultan Komunikasi,
Wartawan,
Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina
SUMBER : INILAH.COM, 13 April 2012
Berbeda
dengan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia – yang menunjukkan pasangan
Fauzi ‘Foke’ Bowo-Nachrowi Ramli di tempat teratas -- survei sederhana yang
saya lakukan baru-baru ini mengindikasikan pasangan Jokowi-Ahok paling disukai
responden.
Dasarnya
adalah polling menggunakan Black Berry Messenger (BBM) yang saya sebarkan
kepada 100-an teman. Ada dua pertanyaan. Pertama, pasangan mana yang Anda
pilih? Kedua, apa alasan Anda memilih pasangan itu?
Dari
53 jawaban yang masuk, sebanyak 23 orang (43%) memilih Jokowi-Ahok, lalu 13
orang (25%) memilih pasangan independen Faisal Basri-Biem Benyamin, empat orang
(8%) memilih pasangan Hidayat Nurwahid-Didik Rachbini dan dua orang (atau
3,77%) memilih pasangan Foke-Nachrowi.
Tidak
satu orang pun responden memilih pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono atau pun
pasangan Hendardji-Riza Patria.
Ini
memang bukan survei politik besar-besaran. Ini juga tidak dibayar, dan jumlah
responden yang memberi jawaban pun hanya sedikit. Ini juga tidak bisa dipakai
sebagai acuan pasti, dan bukan riset akademis, melainkan sebuah observasi
sederhana untuk melihat indikasi pada sebagian kecil masyarakat kelas
menengah-atas Jakarta yang pakai Black Berry.
Yang
menarik, hampir 21 persen responden – yakni sebanyak 11 orang – memilih
‘golput’. Tanpa diminta, mereka yang enggan memilih itu memberi macam-macam
alasan. Di antaranya adalah: semua tidak bisa dipercaya, belum tahu,
atau,”bingung.”
Branding
Calon
Kalau
indikasi polling ini nantinya terbukti, maka sangat boleh jadi kemenangan
Jokowi-Ahok itu disebabkan karena ‘brand’ keduanya yang dianggap jujur,
berpengalaman dan berani.
Sebab,
saat menjawab pertanyaan kedua, mengenai alasan memilih pasangan calon gubernur
dan wakilnya itu, mayoritas (43%) responden mengatakan bahwa ‘kejujuran’
menjadi faktor utama pemilihan keduanya. Alasan berikutnya adalah ‘pengalaman
memimpin’ (40%), lalu disusul ‘keberanian’ sebesar 30%.
Alasan
jujur dan berani juga menjadi dua alasan utama yang diberikan responden pemilih
pasangan Hidayat-Didik dan Faisal-Biem.
Untuk
pertanyaan kedua itu, polling BBM di atas memang membatasi pilihan agar
memudahkan para responden. Enam pilihan yang ada adalah: pengalaman memimpin,
nama baik (reputasi), partai pendukung, kejujuran, keberanian, atau ‘alasan
lain’.
Berhubung
responden boleh mengisi lebih dari satu alasan, banyak di antara mereka yang
menggabungkan beberapa jawaban. Kebanyakan yang memilih alasan ‘kejujuran’ juga
menyontreng alasan ‘keberanian’ sang calon, sementara sebagian lainnya juga
menambahkan alasan ketiga: pengalaman.
Yang
unik adalah, banyak pemilih justru tidak suka pada dukungan partai – sehingga
hanya satu orang (2%) saja yang mendasarkan pilihannya pada partai pendukung
sang calon gubernur.
Meski
sudah disediakan banyak pilihan, yang juga menarik adalah bahwa lebih seperempat
dari mereka (26,4%) tetap menambahkan berbagai ‘alasan lain’ dalam pilihannya
seperti, peduli rakyat, cerdas, orang kampus, dan belum pernah berkuasa.
Ini
memang bukan penelitian ilmiah, dan harus diakui hasilnya belum tentu
mencerminkan data yang sebenarnya. Sebab, mayoritas responden BBM itu adalah
kalangan menengah-atas – sementara di Jakarta banyak pemilih berada di kelas
sosial-ekonomi menengah ke bawah dan tidak menggunakan gadget Black Berry.
Tetapi,
hal di atas menggambarkan bahwa masing-masing calon gubernur dan pasangannya
sudah punya ‘branding’ sendiri di mata audience mereka, para calon pemilih.
Branding
merupakan segala hal yang Anda lakukan. Sesuatu yang menjadikan Anda dapat
dibedakan (distinctive), relevan dan ‘unik’. Ia harus ‘singular’,
mengenai sebuah ‘sifat’ yang paling utama sang ‘brand’. Satu hal saja yang
paling ‘kentara’ atau signifikan yang ada di benak audience.
Maka,
dalam menilai para calon gubernur dan wakilnya itu, Anda bisa mencoba mem-’branding’
keenam pasangan itu.
Jokowi,
misalnya, secara tidak sadar ter-branding dalam persepsi di benak orang bukan
sebagai ’walikota’ saja, melainkan, yang lebih ‘kentara’ adalah seorang yang
‘jujur’ karena ia terbuka, dan ‘berani’. Ini bukan berarti bawah calon lainnya
tidak jujur atau kurang berani. Tetapi ‘brand’ para calon gubernur dan
pasangannya itu secara lebih signifikan dipersepsi dengan sifat ‘unik’ lainnya.
Hidayat
Nurwahid dan Didik Rachbini, misalnya. Kita boleh yakin bahwa keduanya juga
jujur dan berani, tetapi branding Hidayat di benak banyak orang barangkali
lebih signifikan sebagai ulama dan tokoh PKS yang dikenal luas, sementara Didik
punya branding sebagai akademisi atau ekonom jagoan yang kritis dengan
pengalaman luar biasa.
Sangat
boleh jadi, semua predikat Didik dan Hidayat akan sangat bermanfaat sebagai
pemimpin ibukota – karena kita membutuhkan ekonom yang jujur, dan orang saleh
(ulama) yang mementingkan masyarakat banyak -- tetapi dalam hal branding
ini Didik dibayang-bayangi oleh Faisal Basri, yang juga orang kampus, aktivis
dan ekonom. Akibatnya, mungkin sekali suara pemilih Faisal dan Didik akan
terpecah.
Di
dunia komersial banyak brand terkenal menancapkan kesan unik dan signifikan
dalam benak kita.
Merek
Coca-Cola, misalnya. Sejatinya ia dikenal bukan sebagai sekadar ‘minuman’,
melainkan sebuah brand ‘kesegaran’. Demikian pula, Nike bukan hanya sepatu,
melainkan ‘juara bagi setiap pemakainya’ -- sehingga iklannya hanya bilang, “just do it,” sementara Harley Davidson
menegaskan sebuah brand ‘pemberontak’ (rebellion),
sehingga model motornya selalu menentang kelaziman.
Lalu,
coba lihat Twitter dan Google. Jika Twitter punya brand sebagai ‘media bagi
Anda untuk bisa bicara di mana tidak mungkin mengatakannya di tempat lain,’
maka Google yang sengaja mengaksentuasikan dua huruf “O”bdi logonya hendak
memberi kesan sebuah brand
“ketidakterbatasan” — suatu yang infinity.
Semuanya
itu membawa sebuah kesimpulan bahwa, sekali Anda menjadi ’brand’, maka Anda menjadi satu dengannya. Brand itu tak bisa lagi dipisahkan dengan sang produk atau jasa
yang dijual.
Ia
juga tak bisa dipisahkan dari seorang tokoh— dan bahkan diwariskan dari
generasi ke generasi. Itu sebabnya, mendiang Jenderal Hoegeng melekat dengan
brand kejujuran, dan almarhum Munir tak bisa dipisahkan dari brand pejuang
keadilan.
Menanggapi
survei BBM itu, pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan bahwa, hasil polling
itu menunjukkan sebuah fenomena yang tidak jauh jauh berbeda dengan hasil
polling online lainnya. “Sebab, mereka memiliki satu tipe karakter pemilih yang
sama,” kata Yunarto.
Sangat
boleh jadi, pilihan pada Jokowi muncul karena kuatnya ‘pembeda’ gaya
berkomunikasi sang walikota Solo itu.
“Bukan
prestasinya, melainkan deferesensiasi cara komunikasinya yang menimbulkan
eforia dalam waktu cepat,” kata Yunarto.
Itulah
dia: gaya yang berbeda dan unik tadi, yang secara singkat telah menciptakan
sebuah brand baru seorang Jokowi – seorang yang bukan lagi dikenal sebagai
walikota Solo yang berprestasi, melainkan sebuah brand ‘jujur dan berani’ --
yang membedakannya dengan calon lain, dan membawa luapan kegembiraan (eforia)
bagi masyarakat.
Menurut
Yunarto, Foke sebagai incumbent
menjadi titik ekstrim yang berkebalikan dengan eforia baru bernama Jokowi. “Secara psikologi politik, Foke menjadi sosok
yang paling dirugikan,” kata Yunarto, “Tetapi
masalahnya fenomena eforia macam ini lebih banyak terjadi di kalangan menengah
dan atas saja, yang kebanyakan juga hanya sekadar membuat kebisingan.”
Mungkin
Yunarto benar. Sebab mereka yang ‘gaduh’
bereforia boleh jadi hanya para pembaca media, orang kaya, professional, para
pengguna Blackberry, Twitter, dan sebagainya – mereka yang sudah mapan, dan
bukannya kelas menengah bawah yang di Jakarta ini jumlahnya tidak sedikit.
Kelas
menengah bawah itulah yang kiranya bakal lebih menentukan hasil pilkada DKI
nantinya. Di situlah ke-enam pasangan calon gubernur dan wakilnya akan diuji. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar