Sabtu, 14 April 2012

Branding Gubernur Jakarta


Branding Gubernur Jakarta
Syafiq Basri Assegaff, Konsultan Komunikasi,
Wartawan, Dosen Komunikasi di Universitas Paramadina
SUMBER : INILAH.COM, 13 April 2012


Berbeda dengan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia – yang menunjukkan pasangan Fauzi ‘Foke’ Bowo-Nachrowi Ramli di tempat teratas -- survei sederhana yang saya lakukan baru-baru ini mengindikasikan pasangan Jokowi-Ahok paling disukai responden.

Dasarnya adalah polling menggunakan Black Berry Messenger (BBM) yang saya sebarkan kepada 100-an teman. Ada dua pertanyaan. Pertama, pasangan mana yang Anda pilih? Kedua, apa alasan Anda memilih pasangan itu?

Dari 53 jawaban yang masuk, sebanyak 23 orang (43%) memilih Jokowi-Ahok, lalu 13 orang (25%) memilih pasangan independen Faisal Basri-Biem Benyamin, empat orang (8%) memilih pasangan Hidayat Nurwahid-Didik Rachbini dan dua orang (atau 3,77%) memilih pasangan Foke-Nachrowi.

Tidak satu orang pun responden memilih pasangan Alex Noerdin-Nono Sampono atau pun pasangan Hendardji-Riza Patria.

Ini memang bukan survei politik besar-besaran. Ini juga tidak dibayar, dan jumlah responden yang memberi jawaban pun hanya sedikit. Ini juga tidak bisa dipakai sebagai acuan pasti, dan bukan riset akademis, melainkan sebuah observasi sederhana untuk melihat indikasi pada sebagian kecil masyarakat kelas menengah-atas Jakarta yang pakai Black Berry.

Yang menarik, hampir 21 persen responden – yakni sebanyak 11 orang – memilih ‘golput’. Tanpa diminta, mereka yang enggan memilih itu memberi macam-macam alasan. Di antaranya adalah: semua tidak bisa dipercaya, belum tahu, atau,”bingung.”

Branding Calon

Kalau indikasi polling ini nantinya terbukti, maka sangat boleh jadi kemenangan Jokowi-Ahok itu disebabkan karena ‘brand’ keduanya yang dianggap jujur, berpengalaman dan berani.

Sebab, saat menjawab pertanyaan kedua, mengenai alasan memilih pasangan calon gubernur dan wakilnya itu, mayoritas (43%) responden mengatakan bahwa ‘kejujuran’ menjadi faktor utama pemilihan keduanya. Alasan berikutnya adalah ‘pengalaman memimpin’ (40%), lalu disusul ‘keberanian’ sebesar 30%.

Alasan jujur dan berani juga menjadi dua alasan utama yang diberikan responden pemilih pasangan Hidayat-Didik dan Faisal-Biem.

Untuk pertanyaan kedua itu, polling BBM di atas memang membatasi pilihan agar memudahkan para responden. Enam pilihan yang ada adalah: pengalaman memimpin, nama baik (reputasi), partai pendukung, kejujuran, keberanian, atau ‘alasan lain’.

Berhubung responden boleh mengisi lebih dari satu alasan, banyak di antara mereka yang menggabungkan beberapa jawaban. Kebanyakan yang memilih alasan ‘kejujuran’ juga menyontreng alasan ‘keberanian’ sang calon, sementara sebagian lainnya juga menambahkan alasan ketiga: pengalaman.

Yang unik adalah, banyak pemilih justru tidak suka pada dukungan partai – sehingga hanya satu orang (2%) saja yang mendasarkan pilihannya pada partai pendukung sang calon gubernur.

Meski sudah disediakan banyak pilihan, yang juga menarik adalah bahwa lebih seperempat dari mereka (26,4%) tetap menambahkan berbagai ‘alasan lain’ dalam pilihannya seperti, peduli rakyat, cerdas, orang kampus, dan belum pernah berkuasa.

Ini memang bukan penelitian ilmiah, dan harus diakui hasilnya belum tentu mencerminkan data yang sebenarnya. Sebab, mayoritas responden BBM itu adalah kalangan menengah-atas – sementara di Jakarta banyak pemilih berada di kelas sosial-ekonomi menengah ke bawah dan tidak menggunakan gadget Black Berry.
Tetapi, hal di atas menggambarkan bahwa masing-masing calon gubernur dan pasangannya sudah punya ‘branding’ sendiri di mata audience mereka, para calon pemilih.

Branding merupakan segala hal yang Anda lakukan. Sesuatu yang menjadikan Anda dapat dibedakan (distinctive), relevan dan ‘unik’. Ia harus ‘singular’, mengenai sebuah ‘sifat’ yang paling utama sang ‘brand’. Satu hal saja yang paling ‘kentara’ atau signifikan yang ada di benak audience.

Maka, dalam menilai para calon gubernur dan wakilnya itu, Anda bisa mencoba mem-’branding’ keenam pasangan itu.

Jokowi, misalnya, secara tidak sadar ter-branding dalam persepsi di benak orang bukan sebagai ’walikota’ saja, melainkan, yang lebih ‘kentara’ adalah seorang yang ‘jujur’ karena ia terbuka, dan ‘berani’. Ini bukan berarti bawah calon lainnya tidak jujur atau kurang berani. Tetapi ‘brand’ para calon gubernur dan pasangannya itu secara lebih signifikan dipersepsi dengan sifat ‘unik’ lainnya.

Hidayat Nurwahid dan Didik Rachbini, misalnya. Kita boleh yakin bahwa keduanya juga jujur dan berani, tetapi branding Hidayat di benak banyak orang barangkali lebih signifikan sebagai ulama dan tokoh PKS yang dikenal luas, sementara Didik punya branding sebagai akademisi atau ekonom jagoan yang kritis dengan pengalaman luar biasa.

Sangat boleh jadi, semua predikat Didik dan Hidayat akan sangat bermanfaat sebagai pemimpin ibukota – karena kita membutuhkan ekonom yang jujur, dan orang saleh (ulama) yang mementingkan masyarakat banyak -- tetapi dalam hal branding ini Didik dibayang-bayangi oleh Faisal Basri, yang juga orang kampus, aktivis dan ekonom. Akibatnya, mungkin sekali suara pemilih Faisal dan Didik akan terpecah.

Di dunia komersial banyak brand terkenal menancapkan kesan unik dan signifikan dalam benak kita.

Merek Coca-Cola, misalnya. Sejatinya ia dikenal bukan sebagai sekadar ‘minuman’, melainkan sebuah brand ‘kesegaran’. Demikian pula, Nike bukan hanya sepatu, melainkan ‘juara bagi setiap pemakainya’ -- sehingga iklannya hanya bilang, “just do it,” sementara Harley Davidson menegaskan sebuah brand ‘pemberontak’ (rebellion), sehingga model motornya selalu menentang kelaziman.

Lalu, coba lihat Twitter dan Google. Jika Twitter punya brand sebagai ‘media bagi Anda untuk bisa bicara di mana tidak mungkin mengatakannya di tempat lain,’ maka Google yang sengaja mengaksentuasikan dua huruf “O”bdi logonya hendak memberi kesan sebuah brand “ketidakterbatasan” — suatu yang infinity.

Semuanya itu membawa sebuah kesimpulan bahwa, sekali Anda menjadi ’brand’, maka Anda menjadi satu dengannya. Brand itu tak bisa lagi dipisahkan dengan sang produk atau jasa yang dijual.

Ia juga tak bisa dipisahkan dari seorang tokoh— dan bahkan diwariskan dari generasi ke generasi. Itu sebabnya, mendiang Jenderal Hoegeng melekat dengan brand kejujuran, dan almarhum Munir tak bisa dipisahkan dari brand pejuang keadilan.

Menanggapi survei BBM itu, pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan bahwa, hasil polling itu menunjukkan sebuah fenomena yang tidak jauh jauh berbeda dengan hasil polling online lainnya. “Sebab, mereka memiliki satu tipe karakter pemilih yang sama,” kata Yunarto.

Sangat boleh jadi, pilihan pada Jokowi muncul karena kuatnya ‘pembeda’ gaya berkomunikasi sang walikota Solo itu.

“Bukan prestasinya, melainkan deferesensiasi cara komunikasinya yang menimbulkan eforia dalam waktu cepat,” kata Yunarto.

Itulah dia: gaya yang berbeda dan unik tadi, yang secara singkat telah menciptakan sebuah brand baru seorang Jokowi – seorang yang bukan lagi dikenal sebagai walikota Solo yang berprestasi, melainkan sebuah brand ‘jujur dan berani’ -- yang membedakannya dengan calon lain, dan membawa luapan kegembiraan (eforia) bagi masyarakat.

Menurut Yunarto, Foke sebagai incumbent menjadi titik ekstrim yang berkebalikan dengan eforia baru bernama Jokowi. “Secara psikologi politik, Foke menjadi sosok yang paling dirugikan,” kata Yunarto, “Tetapi masalahnya fenomena eforia macam ini lebih banyak terjadi di kalangan menengah dan atas saja, yang kebanyakan juga hanya sekadar membuat kebisingan.”

Mungkin Yunarto benar. Sebab mereka yang ‘gaduh’ bereforia boleh jadi hanya para pembaca media, orang kaya, professional, para pengguna Blackberry, Twitter, dan sebagainya – mereka yang sudah mapan, dan bukannya kelas menengah bawah yang di Jakarta ini jumlahnya tidak sedikit.

Kelas menengah bawah itulah yang kiranya bakal lebih menentukan hasil pilkada DKI nantinya. Di situlah ke-enam pasangan calon gubernur dan wakilnya akan diuji.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar