Energi
Alternatif
Eduard Depari, Dosen Universitas Pelita Harapan
SUMBER : SUARA KARYA, 17 April 2012
Hiruk-pikuk soal naik tidaknya harga bahan bakar minyak (BBM)
jenis premium sementara mereda. Ini karena pemerintah bersama DPR memutuskan
menunda kenaikan sambil mengamati perkembangan harga minyak internasional dalam
waktu tiga bulan ke depan. Pemerintah memperoleh keleluasaan dari DPR untuk
mengurangi beban subsidi manakala dalam kurun waktu 90 hari harga minyak naik
15 persen dari harga saat kesepakatan diambil. DPR terkesan populis karena
sekonyong-konyong berpaling kepada rakyat.
Cuma, kalau mau jujur, mendefinisikan "rakyat", yang
paling diuntungkan adalah 85 persen rakyat pemilik mobil, yang tetap mengisi
BBM premium. Apakah ini adil? Jawabannya bisa "ya", bisa
"tidak". Adil, apabila diartikan sebagai memberi pada orang lain apa
yang menjadi haknya. Tidak adil, apabila dilihat sasaran subsidi adalah kelompok
sosial menengah ke bawah yang membutuhkan energi untuk kelangsungan hidup
mereka (pemilik angkot, bajaj, angkutan umum, dan sebagainya).
Kalau kita terjebak pada debat semantik, masalahnya tidak akan
pernah selesai. Di sini orang menggunakan kacamata ekonomi. Pengorbanan
minimal, namun hasil maksimal. Persoalannya, mengapa rakyat kecil justru tidak
menyadari bahwa nama mereka dicatut dan disalahgunakan dalam kebijakan subsidi
BBM?
Jawabannya, mereka adalah kelompok pengguna BBM yang minimalis
karena kemampuan ekonominya. Akibatnya, perubahan harga BBM akan mengubah pola
konsumsi mereka secara signifikan dalam bentuk naiknya ongkos angkutan umum dan
melambungnya harga bahan pokok. Padahal, penghasilan mereka tidak ikut naik.
Paradoks subsidi BBM tampak saat penikmat subsidi adalah mayoritas masyarakat
berstatus sosial ekonomi menengah ke atas. Namun, saat subsidi dikurangi,
kelompok sosial ekonomi menengah ke bawah makin termarginalisasi dan menderita.
Pemerintah memang berada dalam posisi yang dilematis. Meratapi
kegagalan mengurangi subsidi harga BBM jelas tidak menyelesaikan masalah.
Menggantungkan harapan agar harga BBM di pasar internasional turun, juga tidak
realistis. Situasi politik Timur Tengah sangat mencemaskan dan minyak bisa saja
dijadikan alat politik oleh negara-negara yang bertikai untuk menaikkan posisi
tawar mereka. Minyak memang licin dan mudah terbakar. Karakter minyak ini telah
ikut mewarnai kehidupan politik kita, sejak zaman Orla, memasuki zaman Orba
hingga merasuk le zaman reformasi.
Apa yang dapat dilakukan? Mengurangi ketergantungan impor BBM
dengan membangun kilang pengolahan minyak mentah, jelas butuh waktu lama. Pada
saat yang sama, kebutuhan energi di dalam negeri juga akan meningkat sebagai
konsekuensi industrialisasi.
Karena itu, langkah sederhana dan memenuhi kelayakan untuk
dijalankan adalah kampanye massal "hemat energi". Selain itu, langkah
konkret perlu ditempuh, yakni mengembangkan energi alternatif. Indonesia kaya
akan sumber energi alternatif, tinggal apakah pemerintah memiliki kemampuan
politik untuk memprioritaskan pengembangannya. Pertamina memiliki know-how
untuk itu. Perusahaan minyak negara ini memiliki divisi riset dan pengembangan
yang teruji. Persoalannya, apakah Pertamina diberi peluang dan ruang gerak yang
memadai?
Sudah saatnya BUMN ini diberi kewenangan lebih besar untuk
mengaktualisasikan potensi SDM mereka, demi tercapainya cita-cita kemandirian
energi Indonesia. Banyak peluang untuk mengembangkan ernergi terbarukan. Dalam
soal energi, terbukti kita tidak dapat memercayai ketulusan pihak asing untuk
membantu Indonesia swasembada energi. Saatnya berpaling pada perusahaan bangsa
sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar