UN dan
SNMPTN
Rindu Rumapea, Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan
SUMBER : SUARA KARYA, 17 April 2012
Ujian Nasional (UN) masih berlangsung. Siswa-siswi kelas III SMA
dan SMP sederajat pun sibuk menghadapi UN, yang setiap tahun terus saja mengundang
kontroversi dan permasalahan. Untuk mempersiapkannya, bukan rahasia lagi, siswa
terpaksa menambah jam belajarnya dengan mengikuti les bimbingan belajar
meliputi mata pelajaran yang akan di-UN-kan di lembaga-lembaga pendidikan
informal.
Pemerintah sendiri sibuk meminimalisasi dana yang akan dibebankan
kepada siswa peserta UN. Terakhir, pemerintah melalui Kemendiknas
menginstruksikan agar sekolah tidak membebankan biaya apa pun kepada siswa
dalam rangka mengikuti UN, baik untuk persiapan maupun ujiannya.
Selain siswa-siswi, yang paling disibukkan dengan pelaksanaan UN
adalah guru dan sekolah. Kebijakan-kebijakan yang diambil pihak sekolah setiap
tahun memasuki semester genap akan fokus pada upaya mempersiapkan siswa
menghadapi UN, baik kesiapan dari segi intelektual (pengetahuan) maupun
psikologisnya.
Hal ini terlihat ketika memasuki awal tahun ajaran semester genap,
siswa kelas III akan mengikuti les atau tambahan belajar pada sore hari yang
diadakan sekolah. Guru pada proses pembelajaran setiap harinya di sekolah pun
cenderung hanya membahas soal UN sebelumnya atau soal pre-diksi UN berikutnya.
'Kehebohan' pelaksanaan UN terjadi karena angka kelulusan siswa
menjadi harga diri bagi sekolah. Tingkat kelulusan yang tinggi akan menjadi
'daya tarik' siswa ataupun orangtuanya untuk memilih suatu sekolah. Sekolah
yang tingkat kelulusan UN-nya tinggi akan lebih dipilih daripada sekolah yang
tingkat kelulusan UN-nya rendah. Dhus, biasanya sekolah paling takut jika
siswanya tidak lulus UN sehingga sekolah harus menempuh berbagai cara untuk
'meluluskan' siswanya. Tampak sekali bahwa sebenarnya UN adalah kepentingan
sekolah.
Tambahan belajar atau les merupakan salah satu kesibukan setiap
sekolah di semester genap. Namun, selain itu yang mungkin lebih dipikirkan oleh
siswa, khususnya siswa kelas III SMA adalah persiapan memasuki Perguruan Tinggi
Negeri (PTN). Bagaimanapun di antara mereka tentu ingin sukses pula menghadapi
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).
Tren melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi telah membuat
siswa takut tidak lulus SNMPTN. Siswa-siswi harus berjuang untuk itu karena
selain persaingan yang begitu ketat, kuliah di PTN dianggap sangat menjanjikan
masa depan mereka. Bahkan, jika kita melihat kondisi siswa-siswi saat ini, mereka
lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi SNMPTN daripada UN karena kebanyakan
siswa telah merasa begitu yakin akan lulus UN.
Jika melihat kepentingan di balik UN dan SNMPTN, bisa kita
simpulkan bahwa seharusnya setiap sekolah, terutama sekolah-sekolah favorit
lebih fokus mempersiapkan siswa untuk lulus SNMPTN, daripada UN. Dan,
masyarakat harus cerdas melihat hal tersebut. Pendidikan saat ini bukanlah
sebatas perkara lulus atau tidak lulus dari sekolah menengah, melainkan perkara
mengenai kualitas sebenarnya yang dimiliki siswa, yang hanya tampak jika diuji
dengan jujur. Memang sangat naif jika kita beranggapan bahwa kualitas seorang
siswa ditentukan oleh lolos tidaknya SNMPTN, akan tetapi itulah kenyataannya.
Kemendiknas dan Badan Strandarisasi Nasional Pendidikan (BSNP),
akhir tahun lalu juga berjuang untuk mengintegrasikan UN menjadi alat untuk
seleksi SNMPTN demi mengefektifkan waktu, dana, dan tenaga. Namun, keinginan
tersebut mentah. Hasil yang diperoleh tim Teknologi Informasi dan Komunikasi
(TIK) SNMPTN 2010, korelasi nilai hasil UN dan SNMPTN adalah 0.2 untuk IPA dan
0.18 (IPS).
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa hasil UN tidak bisa dipakai
sebagai alat untuk menentukan kelulusan calon mahasiswa ke universitas negeri.
(Kompas, 18/11/2011) Ada banyak perbedaan mendasar yang tidak bisa
mengintegrasikan hasil UN-SNMPTN. Salah satunya, seperti diungkapkan oleh
Koordinator TIK SNMPTN 2010, Priyo Suprobo yang juga Rektor ITS, bahwa tipe
soal UN untuk mengukur kemampuan penguasaan materi dari siswa. Adapun tipe soal
di SNMPTN bersifat prediktif untuk mengetahui bagaimana tingkat keberhasilan
calon mahasiswa itu di bangku kuliah.
Dapat kita pahami bahwa niat Kemendiknas dan BSNP adalah baik
adanya. Karenanya, siswa tidak perlu mempersiapkan diri sebanyak dua kali,
yakni persiapan menghadapi UN dan SNMPTN. Persiapan seperti itu sangatlah tidak
efektif mengingat rentang waktu antara UN dan SNMPTN sangatlah dekat.
Selain itu, pemerintah dan regulator di dunia pendidikan perlu
kembali duduk bersama untuk melihat apakah UN yang ada saat ini memang layak
diterapkan pada siswa yang tersebar dari ujung Sumatera hingga Papua, dan
dengan fasilitas serta kompetensi siswa yang sangat tidak merata?
Kita harus ingat bahwa kualitas siswa bukanlah tercapai karena
dievaluasi. Penilaian melalui UN hanyalah untuk melihat sejauh mana kemampuan
siswa-siswi setelah mengikuti pembelajaran selama tiga tahun. Selain itu, kita
juga perlu pikirkan keefektifan dan korelasi yang kuat antara UN dan SNMPTN
sehingga bentuk evaluasi pendidikan menengah (apa pun nama dan strateginya)
bisa menjadi alat seleksi yang kuat untuk masuk PTN lewat jalur SNMPTN.
UN dan SNMPTN seharusnya memberikan gambaran mengenai kualitas
siswa secara objektif, bukan untuk kepentingan lembaga pendidikan atau sekolah.
Jika UN mengundang polemik panjang dan menguras energi, sebaiknya UN tidak
perlu dilaksanakan. Barangkali perlu dibuat kebijakan baru yang tidak
mengundang polemik (bila perlu Kemendiknas melakukan survei mengenai mau
tidaknya siswa dievaluasi melalui UN). Jika tidak bersedia, tentu evaluasi yang
dilakukan tidak efektif lagi untuk mengukur kualitas siswa yang sebenarnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar