Kamis, 05 April 2012

Dulu P-4, Kini 4-P


Dulu P-4, Kini 4-P
Masdar Farid Mas’udi, Rois Pengurus Besar Nahdlatul Ulama;
Penulis Buku Syarah Konstitusi: UUD 1945 dalam Perspektif Islam
SUMBER : KOMPAS, 05 April 2012



Di era Orba kita disuguhi mantra P-4, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Kini di Era Reformasi kita disuguhi mantra lain: 4-P.

Adalah Bung Taufiq Kiemas, Ketua MPR, bersama jajarannya yang berjasa memopulerkan 4-P, ”empat pilar”, untuk hidup bernegara dan berbangsa kita. Disebut memopulerkan karena ”barang”-nya sudah ada sejak lama: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam dunia dagang, memopulerkan produk tidak kalah penting dengan menciptakannya.

Momentumlah yang menakdirkan konsep 4-P perlu dikampanyekan. Seperti kita tahu, sejak Era Reformasi sebagai antitesis Orba, popularitas Pancasila dan UUD 1945 jatuh terpuruk. Bukan karena bangsa ini hendak mengingkarinya, melainkan karena bosan selama Orba terus-menerus diceramahi dengan P-4.

Waktu terus bergerak maju. Ternyata derap reformasi berjalan sekenanya. Korupsi dan kolusi yang semula dikutuk habis bukannya menghilang, malah semakin jor-joran: pundi-pundi pajak diembat, kekayaan negara dijarah, dan aset bangsa diobral kepada pihak asing. Sementara itu, rakyat jelata dibiarkan semakin tenggelam dalam sengsara lama.

Kita pun kembali tercenung dan bertanya-tanya jengkel. Sesungguhnya bangsa ini oleh para petinggi dan elitenya dipandang sebagai apa dan hendak dibawa ke mana?
Ibarat rumah, Indonesia Raya tidak mungkin berdiri sempurna hanya dengan 4-P. Sekokoh apa pun 4-P itu. Di antara pilar-pilar yang empat, mesti ada anak-anak pilar atau tiang-tiang pendukung, ada dinding dan tembok yang memagari dan melindungi segenap penghuninya. Juga musti ada atap yang kokoh dan antibocor. Harus ada lantai yang lebar plus perabot rumah tangga yang lengkap. Bahkan, kebun dan taman di sekelilingnya yang luas dan tertata indah.

Pilar-pilar pembantu plus semua perangkat rumah Indonesia yang kokoh, indah, dan membahagiakan segenap rakyatnya: itulah pengamalan dari empat pilar utama. Semakin sempurna pengamalan 4-P, semakin sempurna pulalah rumah Indonesia. Pada gilirannya semakin berbahagia pula segenap rakyat yang menghuni dan memilikinya.

4-P yang Merana

Namun, pengamalan 4-P sebagai ajaran luhur bangsa itulah yang sampai kini tetap belum jelas sosoknya. Alih-alih mengamalkan sebaik-baiknya, justru semakin banyak pihak yang sengaja menggerogoti pilar-pilar yang empat itu. Mari kita lihat satu per satu!

Pertama adalah pilar Pancasila. Sepantasnya lima sila yang terumus sederhana itu tetap melekat dalam ingatan setiap kita. Nyatanya semakin banyak di antara anak bangsa, bahkan pejabat negara, tokoh masyarakat, apalagi warga biasa yang tidak lagi mengingat kalimat-kalimatnya.

Di kalangan komunitas tertentu, sila-sila Pancasila malah hendak diganti substansinya: ”Allah Tujuanku, Al-Qur’an Konstitusiku, Muhammad Imamku, Jihad Jalanku, dan Syahid Puncak Impianku”. Adalah hak mereka untuk mengambil lima sila tersebut sebagai acuan hidup internalnya. Namun, menyodorkannya sebagai alternatif Pancasila untuk hidup berbangsa dan bernegara Indonesia yang bineka adalah hal yang berbeda.

Di pihak lain, dalam kehidupan sehari-hari, sila Ketuhanan Yang Maha Esa praktis sudah diganti menjadi ”Keuangan Yang Mahakuasa”. Buktinya, di negeri ini nyaris segalanya bisa ditundukkan oleh uang, uang, dan uang. Di ranah legislatif, yudikatif, eksekutif, bahkan pada masyarakat umum berlaku dalil ”ada uang, segalanya bisa dibereskan”.

Kemudian pilar ”Bhinneka Tunggal Ika”. Pilar ini pun semakin rawan kondisinya. Berbagai konflik dan kebencian antara kelompok etnisitas, politik, budaya, dan kepentingan semakin gampang tersulut hanya oleh perkara sepele.

Tidak kalah serius ialah konflik sektarian, terutama di kalangan umat Islam sebagai mayoritas bangsa. Adalah hak setiap umat memeluk habis keyakinannya. Akan tetapi, menjadikan perbedaan agama atau keyakinan sebagai alasan untuk saling membenci dan menafikan sesama sungguh tidak bisa diterima.

Juga pilar ketiga, ”Negara Kesatuan Republik Indonesia” alias NKRI. Tuntutan otonomi daerah yang overdosis, bahkan gelagat separatisme yang berlarut-larut tanpa penyelesaian, juga semakin mengancam bangunan negara kesatuan kita.

Sejatinya otonomi an sich bukan masalah. Bahkan, afdal apabila tujuannya mempercepat keadilan dan kemakmuran masyarakat luas, terutama di lapis bawah yang terpencil dan jauh dari pusat. Namun, jika yang terjadi dengan otonomi daerah adalah egoisme daerah, bahkan egoisme para pejabat dan elitenya untuk bebas mengorupsi uang negara, persoalannya menjadi lain sama sekali.

Ancaman terhadap integritas NKRI juga datang dari gerakan ideologi subversif lama: NII, Negara Islam Indonesia. Jika di zaman Orba gerakan ini sembunyi-sembunyi, di Era Reformasi ini mereka dibiarkan tampil secara terbuka, bahkan bisa pamer kekuatan di jalan-jalan protokol Ibu Kota.

Terakhir, pilar UUD 1945. Selain pasal-pasal perihal bagi-bagi kekuasaan dan anggaran, UUD kita sedikit sekali yang diamalkan. Paling telantar adalah pasal-pasal perlindungan hak-hak rakyat banyak, baik sosial, ekonomi, maupun lingkungan.

Sudah lama di kalangan masyarakat UUD kita dipelesetkan menjadi ”ujung-ujungnya duit” untuk menyindir perilaku pejabat publik di semua lini, khususnya ketika berhubungan dengan masyarakat.

Di pihak lain, pada tataran normatif, ada persoalan amandemen. Sesungguhnya amandemen per se boleh-boleh saja. Bahkan, Al Quran pun mengenal amandemen (nasakh) untuk hal-hal yang bersifat teknis operasional demi lebih mempercepat tercapainya tujuan, goal, ghoyah.

Tujuan bernegara kita terang: ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Amandemen konstitusi yang jelas-jelas menjauhkan kita dari tujuan, terutama yang menggampangkan penjarahan aset bangsa oleh pihak asing, jelas haram dan harus ditolak. Sebaliknya, yang bisa mempercepat tujuan tentu tidak ada masalah, bahkan bisa sunah sampai dengan wajib.

Pemimpin Berkarakter

Sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa telah menganugerahkan segalanya kepada bangsa ini untuk mewujudkan cita-cita luhurnya, yakni ”tanah air yang begitu luas nan gemah ripah loh jinawi” sebagai perangkat kerasnya plus doktrin ”empat pilar” sebagai perangkat lunaknya.

Yang belum kita miliki sampai hari ini hanya satu: ”Pemimpin yang berkarakter, visioner, kuat, dan amanah yang mampu menyuguhkan keteladanan luhur kepada rakyat bagaimana mengamalkan 4-P dalam kehidupan nyata”.

Atau, empat pilar itu dibiarkan teronggok sepi sendirian dan rumah Indonesia Raya yang megah dan berwibawa hanya tinggal khayalan? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar