Kamis, 05 April 2012

Ekonomi sebagai Ideologi


Ekonomi sebagai Ideologi
Budiarto Danujaya, Dosen Filsafat Politik FIB-UI
SUMBER : KOMPAS, 05 April 2012



Politik, kata Alain Badiou (2006), berhenti di seluar pagar institusi. Di sedalamnya komitmen tanpa pamrih warga terhadap keprihatinan kolektif masyarakatnya menjelma menjadi sekadar strategi kuasa makro. Jadi, perkara taktis: kalkulasi dan lalu transaksi belaka.

Wacana pelik radikalitas politik disensus ini menjadi banal lewat contoh peristiwa partisi politik dramatis di seluar versus sedalam gerbang Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Jumat (30/3) petang.

Tengoklah! Di seluar pagar, para mahasiswa, buruh, dan pelbagai anasir keprihatinan masyarakat lain bercucur keringat memekikkan kegalauan masyarakat. Di sedalamnya para anggota Dewan yang mulia sibuk lobi menyusun eufemisme agar masyarakat merasa aspirasi mereka agar BBM tidak naik telah cukup diperjuangkan. Sementara itu, rencana bagi-bagi duit menjelang pemilu, toh, bisa tetap dilaksanakan lantaran, katanya, sudah telanjur dianggarkan (?).

Tidak jelas apakah mereka cukup naif menganggap ini sejenis solusi saling menguntungkan (win-win solution). Namun, tak pelak lagi, militansi sebagai kesetiaan ”ideologis” tidak terperi terhadap gambaran akan kemaslahatan bersama segera berubah menjadi sekadar agitasi berapi-api. Disrupsi sebagai hentakan atas kemelencengan dalam politik status quo bertiwikrama menjadi sekadar sinetron hujan interupsi. Disensus lalu menjadi sekadar pemantas dramaturgis agar teater konsensus kelihatan lebih afdal belaka.

Politik Subsidi

Kontras tersebut semakin meyakinkan kita akan ketidakhadiran komitmen ideologis dalam galau usul kenaikan harga BBM selama ini. Seperti kita simak dalam hujan agitasi dan interupsi sepanjang petang itu, tak ada debat mengenai raison d’etre pengambilan pilihan. Bahkan, tanpa alasan meyakinkan, para pihak mudah berganti pilihan demi menguntungkan citra ”keberpihakannya” pada aspirasi di luar gedung.

Betapapun secara teoretis terdapat diskursus keras antisubsidi, dalam praktiknya tidak ada satu pun rezim pemerintahan nyata di dunia dewasa ini yang tidak melakukan subsidi, entah lewat insentif langsung terhadap produsen, insentif tidak langsung lewat sistem pajak, entah pembelanjaan lebih tersembunyi. Bahkan, kampiun kapitalisme liberal seperti Amerika Serikat sekalipun sempat membukukan subsidi langsung belasan miliar dollar AS per tahunnya hanya untuk subsidi langsung sektor pertanian (Stiglitz: 2000).

Perbedaan kebijakannya hanyalah dalam sektor, besaran, dan konsentrasi penempatan belaka. Dengan demikian, semestinya kita menyadari, ketimbang sepenuhnya perkara ekonomi, apalagi sekadar perkara kalkulasi anggaran belaka, subsidi lebih merupakan perkara pilihan politik. Jadi, semestinya lebih perkara ideologi ketimbang semata-mata ekonomi.

Tentu saja setiap pilihan kebijakan yang waras juga harus mengacu pada kondisi ekonomi, tetapi jangan lupa juga situasi sosiopolitik masyarakat lebih menyeluruh pada satuan ruang-waktu tertentu. Dalam kerangka ideologis, perkara eksistensial dari segenap masyarakat sejalan dengan gambaran kolektif kita sebagai bangsa—seperti tersurat pada konstitusi dan pandangan hidup kita—harus lebih didahulukan ketimbang kalkulasi ekonomi. Dengan demikian, mungkin lebih tepat lagi, ini merupakan perkara penerjemahan ideologis dari sebuah politik ekonomi yang kontekstual.

Hanya dalam pancaran ideologis semacam itulah kita bisa memahami politik ketertutupan dari Revolusi Kebudayaan RRC, yang sempat diolok masyarakat Barat, justru menyengsarakan rakyatnya. Itulah pilihan ideologis sementara mereka guna mempersiapkan daya saing pada masa depan, seperti telah terbukti sekarang.

Begitu pula keputusan sejumlah negara Amerika Latin mengambil alih kendali perusahaan-perusahaan minyak asing. Bagi mereka, ini keniscayaan ideologis agar bisa membanderol harga yang lebih terjangkau masyarakat demi menjaga kesejahteraan minimum masyarakat miskin mereka. Masalahnya, tidakkah ironis bak ayam mati di lumbung padi kalau rakyat banyak negeri produsen minyak tidak sanggup membeli minyak?

Ekonomi Sebagai Panglima

Bagi mereka yang terlalu percaya bahwa subsidi sekadar perkara kalkulasi anggaran dan lalu menilik pencabutan subsidi sebagai kewajaran konsekuensi kenaikan harga minyak dunia belaka, mungkin perlu mengunyah kritik Slavoj Zizek lebih saksama. Pemikir terkemuka ini berulang kali mengingatkan bahwa dewasa ini ”ekonomi sendiri—logika pasar dan kompetisi—secara progresif telah mendesakkan dirinya sendiri menjadi ideologi yang menghegemoni” (New Left Review 64: 2010).

Dengan formula rahasia ”biaya lebih rendah, efisiensi lebih tinggi”, rasionalitas pasar dan persaingan bebas ini merangsek ke segenap sektor kehidupan sehingga berpikir secara ekonomis seolah-olah kewajaran tunggal dalam kehidupan manusia. Laik pertimbangan para petinggi kita akan kewajaran harga pasar sebagai pertimbangan kebijakan penentuan harga BBM, logika ekonomi yang sebetulnya dan seharusnya hanyalah salah satu rasionalitas sektoral dalam kehidupan, lalu berkembang menjadi kewajaran logis satu-satunya bagi segenap kehidupan manusia.

Menanggapi krisis ekonomi Eropa, Zizek beranggapan, justru inilah sumber kedaruratan permanen ekonomi dewasa ini. Baginya, pengagulan logika pasar dan kompetisi semacam ini hanya akan mewujudkan pernyataan profetik Antonio Gramsci bahwa ”dunia lama sedang sekarat dan dunia baru berjuang untuk dilahirkan: sekarang adalah zaman para monster”.

Maksudnya jelas, mengagulkan berlebihan logika pasar, dan bahkan menganggapnya sebagai kewajaran, hanya akan berujung pada pengukuhan dominasi para raksasa transnasional (TNC). Krisis dewasa ini bahkan memperlihatkan mereka tak terbukti memberi contoh corporate governance yang lebih saksama. Namun, celakanya, seperti penanggulangan krisis di AS, dan sebetulnya juga di Indonesia, akhirnya negara justru terpaksa menyelamatkan mereka dengan uang pajak rakyat banyak karena besaran dampaknya membuat mereka dianggap terlalu besar untuk dibiarkan gagal.

Menganggap wajar ekonomi sebagai ideologi melalaikan satu hal penting: logika pasar dan persaingan bebas merupakan rasionalitas ideologis kapitalisme liberal. Jadi, hanyalah rasionalitas sebuah ideologi tertentu belaka. Menganggapnya sebagai kewajaran, mempersempit ragam rasionalitas alternatif kita, bahkan memerosotkan kritisisme dan obyektivitas metodologis menyeluruh kita karena telah menganggapnya sebagai semacam ”metabahasa” (Parekh: 2003).

Dalam pengibaratan Biksu Parekh, seperti mata uang dollar AS, padahal hanya merupakan salah satu mata uang yang jadi ukuran bagi segenap mata uang lain di dunia. Kita tahu bahwa dalam diskursus ideologi klasik, kecenderungan menerima sebuah rasionalitas ideologis atau logika sektoral tertentu sebagai kewajaran alamiah untuk memahami segenap realitas semacam ini dihujat sebagai gejala kesadaran palsu, false consciousness.

Kiranya dalam kerangka inilah kita harus membatalkan keputusan DPR menambahkan Pasal 7 Ayat 6a pada UU APBN 2012 yang memberi kebebasan bagi pemerintah menaikkan/menurunkan harga BBM bersubsidi jika dalam enam bulan berjalan, harga minyak mentah melampaui 15 persen di atas/di bawah asumsi APBN. Ini eufemisme terhadap rasionalitas pasar UU Migas No 22/2001 Pasal 22 Ayat 2 (baca: ”mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”) yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2004.

Secara ideologis, seperti termaktub pada Pasal 33 UUD 45, kita tak menempatkan ekonomi sebagai ideologi, apalagi pada perkara-perkara yang menyangkut hajat hidup orang banyak semacam ini. Penguasaan negara terhadap bumi, air, dan segenap kekayaan di dalamnya dalam konteks ini haruslah berada dalam kerangka sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak.

Dalam kerangka itu, dalam ungkapan gaya Orde Lama, kita tidak boleh menempatkan ”ekonomi sebagai panglima” seperti halnya tidak boleh menempatkan ”politik sebagai panglima”. Rasionalitas ideologis tidak boleh terpasung pada logika ekonomi semata karena idolatri-nya tertuju pada perwujudan gambaran kolektif ideal kita sebagai bangsa.
Idolatri semacam ini jelas mengandaikan sebuah bangsa dengan segenap matranya. Oleh karena itu, dalam pancaran ideologi, seperti halnya kita harus memikirkan kemaslahatan bersama, sebagai strategi temporal kita, misalnya saja, bahkan boleh dan bisa saja memutuskan untuk lebih baik sementara ”melarat bersama” seperti tersirat dalam pekikan ”go to hell with your aid” dari Bung Karno. Persoalannya, Bung Besar kita ini sadar betul bahwa eksistensi dan martabat sebuah bangsa jauh lebih penting daripada kalkulasi ekonomi.

Ekonomi memang merupakan salah satu matra penting, bahkan boleh jadi juga terpenting dalam kehidupan manusia sebagai pribadi, apalagi dalam bermasyarakat dan berbangsa. Kiranya tetaplah ekonomi tidak boleh kita perlakukan sebagai panglima, apalagi sebagai ideologi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar