Drama Politik Elektoral Kebijakan Populis
Kacung Marijan, Guru
Besar FISIP Unair dan Staf Ahli Mendikbud
SUMBER : JAWA POS, 04 April 2012
DI antara pelajaran penting
dari drama kebijakan subsidi BBM minggu-minggu ini adalah bahwa kebijakan yang
bercorak populis memperoleh penerimaan dan pembelaan yang cukup tinggi, baik
dari kelompok-kelompok masyarakat maupun politisi.
Argumentasi itu tentu berbeda dengan para penganut neo-liberal yang melihat bahwa kebijakan populis hanya akan membuat perjalanan perekonomian sulit bergerak karena biaya yang ditanggung negara terlalu besar.
Studi-studi mengenai kebijakan politis di berbagai negara menunjukkan bahwa tingkat penerimaan masyarakat terhadap kebijakan yang bercorak populis, seperti pemberian subsidi terhadap kelompok-kelompok tertentu, memang berbeda-beda.
Kelompok yang memperoleh keuntungan langsung akan cenderung mendukung dan mempertahankan kebijakan semacam itu. Manakala terdapat upaya untuk mencabutnya, mereka melakukan aksi penolakan, termasuk berdemonstrasi. Hal ini terlihat di Yunani, Spanyol, dan negara-negara lain di Eropa yang pemerintahannya berusaha mengurangi subsidi.
Kelompok-kelompok yang tidak secara langsung menikmati subsidi tersebut bersikap lebih acuh tidak acuh. Sementara itu, kelompok yang menjadi sumber pokok pembiayaan subsidi, seperti kelompok menengah ke atas pembayar pajak, lebih cenderung mendukung dikuranginya atau bahkan dicabutnya subsidi.
Populis Tidak Mudah
Dalam hal subsidi BBM, kasusnya agak lain. Subsidi ini pada dasarnya bisa dinikmati oleh beragam kelompok meski ada pula yang mengatakan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah ke atas. Kebijakan yang berkaitan dengan BBM, dengan demikian, merupakan isu seksi yang menarik banyak pihak.
Bagi pemerintah yang mengelola fiskal, adanya subsidi besar BBM akan memusingkan. Hal ini terkait dengan fluktuasi harga minyak dunia yang cukup tajam. Parahnya, naik turunnya harga itu tidak banyak ditentukan oleh aspek permintaan dan persediaan sebagaimana hukum pasar, melainkan oleh permasalahan politik di Timur Tengah. Tetapi, bagi pembela kebijakan subsidi, kebijakan tersebut merupakan keniscayaan yang harus diberikan karena dipandang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Mengingat kebijakan subsidi BBM menyangkut kepentingan banyak orang, tidak mengherankan kalau nuansa politik dari isu tersebut jauh lebih mengedepan dibandingkan isu teknis mengenai harga BBM itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari hukum permainan politik elektoral. Bahwa cara paling mudah untuk memperoleh dukungan dari masyarakat pemilih adalah melalui penawaran kebijakan-kebijakan yang bercorak populis.
Meski demikian, praktik di banyak negara juga menunjukkan bahwa setelah suatu pemerintahan itu menganut kebijakan populis, tidak mudah mengimplementasikannya. Sebab, perjalanan perekonomian suatu negara tidak berada di dalam suatu ruang yang tertutup, tapi terpengaruh apa yang terjadi di pasar global.
Negara itu biasanya menghadapi paradoks pelik. Mana kala kebijakan populis dipakai terus, distribusi sumber-sumber yang dimilikinya relatif bisa berjalan secara baik. Tetapi, negara demikian juga menghadapi masalah, yaitu tidak maksimalnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Sumber-sumber yang seharusnya bisa dipakai sebagai bagian dari investasi untuk mendongkrak pertumbuhan lebih banyak dipakai untuk memberikan subsidi. Dalam jangka panjang, negara demikian juga akan mengalami kesulitan dalam menyediakan anggaran untuk subsidi.
Tidaklah mengherankan, negara tertentu yang selama ini terkenal sebagai pemberi subsidi besar, seperti Tiongkok, Vietnam, Kuba dan yang lain, berusaha mengadopsi kebijakan subsidi yang lebih longgar.
Ketegangan yang Wajar
Hal serupa dilakukan Indonesia dalam kasus subsidi BBM. Kalau dilihat dari konstitusi, Indonesia sejatinya tergolong sebagai welfare-state (negara kesejahteraan). Di dalam negara demikian terdapat tanggung jawab untuk lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat. Di antaranya, lewat kebijakan subsidi dan kebijakan proteksi.
Secara makro, perekonomian Indonesia tergolong cukup bagus dibandingkan negara lain. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Hanya, Indonesia juga menghadapi tantangan yang tidak ringan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan fiskal, yang berkaitan dengan besaran subsidi bagi implementasi kebijakan negara kesejahteraan itu.
Dalam menghadapi tantangan demikian, terdapat cara pandang yang tidak sama di antara para pembuat kebijakan. Ketidaksamaan itu tidak semata-mata dipengaruhi adanya perbedaan asumsi dalam menghitung besaran pendapatan dan subsidi. Perbedaan tersebut juga tidak lepas dari kepentingan elektoral. Itulah sebabnya, proses pemutusan apakah besaran terhadap subsidi BBM tersebut dikurangi atau tidak menjadi sangat menegangkan.
Beruntung, nalar demokrasi kelembagaan masih berjalan. Perbedaan tersebut dibahas secara demokratis di lembaga perwakilan. Selain itu, semua pembuat kebijakan sama-sama berpijak pada masih pentingnya kebijakan bercorak populis, tidak terpilah pada kelompok yang pro kebijakan populis dan yang menolaknya. Hasilnya, terdapat keputusan untuk mempertahankan kebijakan subsidi terhadap BBM.
Berhubung harga BBM itu sangat dipengaruhi oleh pasar global, terdapat keputusan tambahan. Dalam hal terdapat kenaikan harga minyak mentah 15 persen dalam enam bulan berturut-turut, pemerintah diberi ruang untuk mengurangi besaran subsidi. Pilihan kebijakan semacam itu masih tergolong populis karena secara teoretis bisa saja tidak akan terjadi kenaikan harga minyak mentah sebesar 15 persen. Konsekuensinya, harga BBM bisa jadi tidak akan pernah naik tahun ini. ●
Argumentasi itu tentu berbeda dengan para penganut neo-liberal yang melihat bahwa kebijakan populis hanya akan membuat perjalanan perekonomian sulit bergerak karena biaya yang ditanggung negara terlalu besar.
Studi-studi mengenai kebijakan politis di berbagai negara menunjukkan bahwa tingkat penerimaan masyarakat terhadap kebijakan yang bercorak populis, seperti pemberian subsidi terhadap kelompok-kelompok tertentu, memang berbeda-beda.
Kelompok yang memperoleh keuntungan langsung akan cenderung mendukung dan mempertahankan kebijakan semacam itu. Manakala terdapat upaya untuk mencabutnya, mereka melakukan aksi penolakan, termasuk berdemonstrasi. Hal ini terlihat di Yunani, Spanyol, dan negara-negara lain di Eropa yang pemerintahannya berusaha mengurangi subsidi.
Kelompok-kelompok yang tidak secara langsung menikmati subsidi tersebut bersikap lebih acuh tidak acuh. Sementara itu, kelompok yang menjadi sumber pokok pembiayaan subsidi, seperti kelompok menengah ke atas pembayar pajak, lebih cenderung mendukung dikuranginya atau bahkan dicabutnya subsidi.
Populis Tidak Mudah
Dalam hal subsidi BBM, kasusnya agak lain. Subsidi ini pada dasarnya bisa dinikmati oleh beragam kelompok meski ada pula yang mengatakan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah ke atas. Kebijakan yang berkaitan dengan BBM, dengan demikian, merupakan isu seksi yang menarik banyak pihak.
Bagi pemerintah yang mengelola fiskal, adanya subsidi besar BBM akan memusingkan. Hal ini terkait dengan fluktuasi harga minyak dunia yang cukup tajam. Parahnya, naik turunnya harga itu tidak banyak ditentukan oleh aspek permintaan dan persediaan sebagaimana hukum pasar, melainkan oleh permasalahan politik di Timur Tengah. Tetapi, bagi pembela kebijakan subsidi, kebijakan tersebut merupakan keniscayaan yang harus diberikan karena dipandang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Mengingat kebijakan subsidi BBM menyangkut kepentingan banyak orang, tidak mengherankan kalau nuansa politik dari isu tersebut jauh lebih mengedepan dibandingkan isu teknis mengenai harga BBM itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari hukum permainan politik elektoral. Bahwa cara paling mudah untuk memperoleh dukungan dari masyarakat pemilih adalah melalui penawaran kebijakan-kebijakan yang bercorak populis.
Meski demikian, praktik di banyak negara juga menunjukkan bahwa setelah suatu pemerintahan itu menganut kebijakan populis, tidak mudah mengimplementasikannya. Sebab, perjalanan perekonomian suatu negara tidak berada di dalam suatu ruang yang tertutup, tapi terpengaruh apa yang terjadi di pasar global.
Negara itu biasanya menghadapi paradoks pelik. Mana kala kebijakan populis dipakai terus, distribusi sumber-sumber yang dimilikinya relatif bisa berjalan secara baik. Tetapi, negara demikian juga menghadapi masalah, yaitu tidak maksimalnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Sumber-sumber yang seharusnya bisa dipakai sebagai bagian dari investasi untuk mendongkrak pertumbuhan lebih banyak dipakai untuk memberikan subsidi. Dalam jangka panjang, negara demikian juga akan mengalami kesulitan dalam menyediakan anggaran untuk subsidi.
Tidaklah mengherankan, negara tertentu yang selama ini terkenal sebagai pemberi subsidi besar, seperti Tiongkok, Vietnam, Kuba dan yang lain, berusaha mengadopsi kebijakan subsidi yang lebih longgar.
Ketegangan yang Wajar
Hal serupa dilakukan Indonesia dalam kasus subsidi BBM. Kalau dilihat dari konstitusi, Indonesia sejatinya tergolong sebagai welfare-state (negara kesejahteraan). Di dalam negara demikian terdapat tanggung jawab untuk lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat. Di antaranya, lewat kebijakan subsidi dan kebijakan proteksi.
Secara makro, perekonomian Indonesia tergolong cukup bagus dibandingkan negara lain. Pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir cukup tinggi. Hanya, Indonesia juga menghadapi tantangan yang tidak ringan, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan fiskal, yang berkaitan dengan besaran subsidi bagi implementasi kebijakan negara kesejahteraan itu.
Dalam menghadapi tantangan demikian, terdapat cara pandang yang tidak sama di antara para pembuat kebijakan. Ketidaksamaan itu tidak semata-mata dipengaruhi adanya perbedaan asumsi dalam menghitung besaran pendapatan dan subsidi. Perbedaan tersebut juga tidak lepas dari kepentingan elektoral. Itulah sebabnya, proses pemutusan apakah besaran terhadap subsidi BBM tersebut dikurangi atau tidak menjadi sangat menegangkan.
Beruntung, nalar demokrasi kelembagaan masih berjalan. Perbedaan tersebut dibahas secara demokratis di lembaga perwakilan. Selain itu, semua pembuat kebijakan sama-sama berpijak pada masih pentingnya kebijakan bercorak populis, tidak terpilah pada kelompok yang pro kebijakan populis dan yang menolaknya. Hasilnya, terdapat keputusan untuk mempertahankan kebijakan subsidi terhadap BBM.
Berhubung harga BBM itu sangat dipengaruhi oleh pasar global, terdapat keputusan tambahan. Dalam hal terdapat kenaikan harga minyak mentah 15 persen dalam enam bulan berturut-turut, pemerintah diberi ruang untuk mengurangi besaran subsidi. Pilihan kebijakan semacam itu masih tergolong populis karena secara teoretis bisa saja tidak akan terjadi kenaikan harga minyak mentah sebesar 15 persen. Konsekuensinya, harga BBM bisa jadi tidak akan pernah naik tahun ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar