Amanat Penderitaan Hakim
Achmad Fauzi, Hakim
Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan
SUMBER : JAWA POS, 04 April 2012
SOROTAN publik terhadap
hakim akhir-akhir ini sangat tajam. Produk putusan yang dinilai tidak memenuhi
rasa keadilan disinyalir memiliki kandungan kecurangan dan unsur kejahatan
hukum. Tapi, saat harapan terhadap hakim untuk jujur begitu tinggi, kewenangan
negara dalam memberikan fasilitas dan penggajian memadai justru jauh panggang
dari api.
Gerakan mogok sidang yang dipelopori hakim di PN Aceh Tamiang Sunoto adalah bentuk protes atas pengabaian hak-hak hakim sebagai pejabat negara. Selama sebelas tahun negara mengunci angka kesejahteraan hakim di bawah kewajaran.
Gerakan itu sekaligus tamparan keras atas konsep pemisahan kekuasaan di Indonesia yang setengah hati. Peradilan sebagai kekuasaan yang merdeka dalam praktiknya justru dikangkangi banyak kekuasaan eksekutif dan legislatif. Ironis karena publik ingin supremasi hukum tegak dengan sempurna, tapi pada saat bersamaan kesejahteraan hakim termarginalkan.
Banyak ketimpangan kesejahteraan di antara pejabat negara di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Membandingkan penghasilan anggota DPR dengan hakim, misalnya, seperti jarak langit dengan sumur tambang. Ketimpangan itu adalah sebuah kesengajaan politik. Sebab, ada skema besar pelemahan penegakan hukum yang terselubung.
Dalam pengertian, jika hakim sudah sejahtera, kelompok politik khawatir hukum tak bisa lagi dibeli, hakim semakin garang, dan peluang praktik suap semakin sempit. Mestinya, tata kelola keuangan lembaga yudikatif otonom agar klop dengan semangat konstitusional lembaga yudikatif sebagai pilar peradilan yang merdeka.
Hampir setahun yang lalu saya membuat artikel menohok di media nasional berjudul Menjadi Hakim Digdaya. Tulisan itu dimuat beberapa saat setelah ada rumor rencana hakim turun ke jalan terkait dengan tuntutan kesejahteraan. Artikel itu, selain menggunakan pendekatan struktur, substansi, dan budaya hukum, juga mengkaji isu kesejahteraan hakim sebagai pokok yang paling sensitif. Godaan suap kadang datang ketika hakim benar-benar membutuhkan dukungan finansial. Kalaupun hakim itu tangguh harga diri, tidak jarang keluarganya menjadi sasaran suap.
Setelah mengalami penurunan tensi setahun lamanya, kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah sebagai amanat UU tak kunjung direalisasikan. Akibatnya, rasa gusar hakim kembali tertumpah di banyak media. Intinya, banyak hakim Indonesia yang masih hidup memprihatinkan. Di tengah pola mutasi yang berjalan terus-menerus dan berpisah dengan keluarga, hakim harus berdesak-desakan mengontrak rumah petak, kredit di bank untuk biaya hidup keluarga, juga berjalan kaki ke kantor karena tidak ada kendaraan dinas. Remunerasi yang sejak 2007 diberikan 70 persen saja cairnya tidak menentu.
Mengatasi jual beli hukum yang kerap menampar supremasi hukum kita tidak bisa didekati hanya melalui perspektif moral dan kode etik yang formalistis. Perlu juga dilihat dari sudut pandang kesejahteraan. Tunjangan hakim sudah lama tidak naik, sekitar sepuluh tahun. Kenaikan uang tunjangan hakim kali terakhir dilakukan di era Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keppres 89/2001. Begitu pula gajinya, empat tahun jalan di tempat padahal gaji PNS tiap tahun naik. Bahkan, jika gaji PNS dibandingkan dengan gaji hakim pada golongan yang sama saat ini, lebih tinggi gaji PNS. Hakim sebagai pejabat negara semestinya diberi gaji dan fasilitas memadai.
Ketua baru Mahkamah Agung, H Muhammad Hatta Ali, memiliki perhatian khusus terhadap kesejahteraan hakim. Beliau mendesak pemerintah memperhatikan kesejahteraan hakim sebagai salah satu instrumen memberantas hakim nakal. Komisi Yudisial juga tak henti-henti mengupayakan kesejahteraan sebagai upaya menjaga martabat dan keluhuran hakim. Setahun lalu, di hadapan presiden KY memohon agar kesejahteraan hakim diperhatikan. Presiden berjanji memprioritaskan kesejahteraan hakim. Dan kini sedang ditunggu realisasi janji itu.
Sejarah Mogok
Aksi mogok sidang sejatinya bukan hal baru. Pada 1989 ketua MA Australia mengecam gaji hakim yang rendah. Pada 1989 dan 1990 hakim-hakim di Prancis dan Austria turun ke jalan untuk memprotes gaji yang minim. Pada 1988 hakim Portugal dan Peru berdemo untuk memprotes gaji yang rendah serta remunerasi.
Pada 1981 sebanyak 290 hakim Sudan mengundurkan diri karena gaji yang rendah. Pada 1989 para hakim di Quebec, Kanada, mogok sidang memprotes gaji yang rendah. Pada 1989 hakim-hakim di Amerika menghentikan penerimaan perkara sampai 80 persen sebagai perlawanan dimentahkannya usul kenaikan gaji oleh kongres.
Pada 1986 seorang hakim Granada, Spanyol, keluar dari ruang sidang yang notabene sedang memeriksa perkara pidana yang menarik perhatian publik lantaran gajinya kecil. Sedangkan di Indonesia pada tahun '50-an hakim melakukan aksi mogok sidang untuk isu yang sama.
Ketika gerakan mogok sidang mencuat di jejaring sosial dan didukung beberapa hakim di Indonesia, sebagian atau beberapa bagian anggota DPR menyatakan sepenuhnya mendukung aksi itu. Tapi, yang dibutuhkan bukan soal mendukung atau tidak mendukung. Persoalannya adalah iktikad baik pemerintah merealisasikan substansi perjuangan tersebut.
Ini jangan dianggap ada pergeseran jiwa hakim menjadi cenderung materialistis, duniawi, atau tidak mafhum penderitaan rakyat. Tuntutan itu muncul karena -meminjam istilah Prof Bagir Manan- hakim terlalu lama telantar dan ditelantarkan. Hakim tidak menuntut berlebih, tapi sebagaimana yang diamanatkan UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim adalah pejabat negara yang wajib diberi penggajian dan fasilitas memadai laiknya pejabat negara lain. Peraturan itu sempurna di atas kertas, tapi keropos pada tataran implementasi. ●
Gerakan mogok sidang yang dipelopori hakim di PN Aceh Tamiang Sunoto adalah bentuk protes atas pengabaian hak-hak hakim sebagai pejabat negara. Selama sebelas tahun negara mengunci angka kesejahteraan hakim di bawah kewajaran.
Gerakan itu sekaligus tamparan keras atas konsep pemisahan kekuasaan di Indonesia yang setengah hati. Peradilan sebagai kekuasaan yang merdeka dalam praktiknya justru dikangkangi banyak kekuasaan eksekutif dan legislatif. Ironis karena publik ingin supremasi hukum tegak dengan sempurna, tapi pada saat bersamaan kesejahteraan hakim termarginalkan.
Banyak ketimpangan kesejahteraan di antara pejabat negara di lingkungan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Membandingkan penghasilan anggota DPR dengan hakim, misalnya, seperti jarak langit dengan sumur tambang. Ketimpangan itu adalah sebuah kesengajaan politik. Sebab, ada skema besar pelemahan penegakan hukum yang terselubung.
Dalam pengertian, jika hakim sudah sejahtera, kelompok politik khawatir hukum tak bisa lagi dibeli, hakim semakin garang, dan peluang praktik suap semakin sempit. Mestinya, tata kelola keuangan lembaga yudikatif otonom agar klop dengan semangat konstitusional lembaga yudikatif sebagai pilar peradilan yang merdeka.
Hampir setahun yang lalu saya membuat artikel menohok di media nasional berjudul Menjadi Hakim Digdaya. Tulisan itu dimuat beberapa saat setelah ada rumor rencana hakim turun ke jalan terkait dengan tuntutan kesejahteraan. Artikel itu, selain menggunakan pendekatan struktur, substansi, dan budaya hukum, juga mengkaji isu kesejahteraan hakim sebagai pokok yang paling sensitif. Godaan suap kadang datang ketika hakim benar-benar membutuhkan dukungan finansial. Kalaupun hakim itu tangguh harga diri, tidak jarang keluarganya menjadi sasaran suap.
Setelah mengalami penurunan tensi setahun lamanya, kesejahteraan yang dijanjikan pemerintah sebagai amanat UU tak kunjung direalisasikan. Akibatnya, rasa gusar hakim kembali tertumpah di banyak media. Intinya, banyak hakim Indonesia yang masih hidup memprihatinkan. Di tengah pola mutasi yang berjalan terus-menerus dan berpisah dengan keluarga, hakim harus berdesak-desakan mengontrak rumah petak, kredit di bank untuk biaya hidup keluarga, juga berjalan kaki ke kantor karena tidak ada kendaraan dinas. Remunerasi yang sejak 2007 diberikan 70 persen saja cairnya tidak menentu.
Mengatasi jual beli hukum yang kerap menampar supremasi hukum kita tidak bisa didekati hanya melalui perspektif moral dan kode etik yang formalistis. Perlu juga dilihat dari sudut pandang kesejahteraan. Tunjangan hakim sudah lama tidak naik, sekitar sepuluh tahun. Kenaikan uang tunjangan hakim kali terakhir dilakukan di era Presiden Abdurrahman Wahid dengan Keppres 89/2001. Begitu pula gajinya, empat tahun jalan di tempat padahal gaji PNS tiap tahun naik. Bahkan, jika gaji PNS dibandingkan dengan gaji hakim pada golongan yang sama saat ini, lebih tinggi gaji PNS. Hakim sebagai pejabat negara semestinya diberi gaji dan fasilitas memadai.
Ketua baru Mahkamah Agung, H Muhammad Hatta Ali, memiliki perhatian khusus terhadap kesejahteraan hakim. Beliau mendesak pemerintah memperhatikan kesejahteraan hakim sebagai salah satu instrumen memberantas hakim nakal. Komisi Yudisial juga tak henti-henti mengupayakan kesejahteraan sebagai upaya menjaga martabat dan keluhuran hakim. Setahun lalu, di hadapan presiden KY memohon agar kesejahteraan hakim diperhatikan. Presiden berjanji memprioritaskan kesejahteraan hakim. Dan kini sedang ditunggu realisasi janji itu.
Sejarah Mogok
Aksi mogok sidang sejatinya bukan hal baru. Pada 1989 ketua MA Australia mengecam gaji hakim yang rendah. Pada 1989 dan 1990 hakim-hakim di Prancis dan Austria turun ke jalan untuk memprotes gaji yang minim. Pada 1988 hakim Portugal dan Peru berdemo untuk memprotes gaji yang rendah serta remunerasi.
Pada 1981 sebanyak 290 hakim Sudan mengundurkan diri karena gaji yang rendah. Pada 1989 para hakim di Quebec, Kanada, mogok sidang memprotes gaji yang rendah. Pada 1989 hakim-hakim di Amerika menghentikan penerimaan perkara sampai 80 persen sebagai perlawanan dimentahkannya usul kenaikan gaji oleh kongres.
Pada 1986 seorang hakim Granada, Spanyol, keluar dari ruang sidang yang notabene sedang memeriksa perkara pidana yang menarik perhatian publik lantaran gajinya kecil. Sedangkan di Indonesia pada tahun '50-an hakim melakukan aksi mogok sidang untuk isu yang sama.
Ketika gerakan mogok sidang mencuat di jejaring sosial dan didukung beberapa hakim di Indonesia, sebagian atau beberapa bagian anggota DPR menyatakan sepenuhnya mendukung aksi itu. Tapi, yang dibutuhkan bukan soal mendukung atau tidak mendukung. Persoalannya adalah iktikad baik pemerintah merealisasikan substansi perjuangan tersebut.
Ini jangan dianggap ada pergeseran jiwa hakim menjadi cenderung materialistis, duniawi, atau tidak mafhum penderitaan rakyat. Tuntutan itu muncul karena -meminjam istilah Prof Bagir Manan- hakim terlalu lama telantar dan ditelantarkan. Hakim tidak menuntut berlebih, tapi sebagaimana yang diamanatkan UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim adalah pejabat negara yang wajib diberi penggajian dan fasilitas memadai laiknya pejabat negara lain. Peraturan itu sempurna di atas kertas, tapi keropos pada tataran implementasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar