Rabu, 04 April 2012

Dilema dan Paradoks Eropa


Dilema dan Paradoks Eropa
Darmansjah Djumala, Diplomat, bertugas di Polandia
SUMBER : KOMPAS, 04 April 2012



Eropa kembali membetot perhatian. Tindak kekerasan dengan senjata meruyak lagi di Eropa.

Desember lalu, seorang laki-laki melempar granat dan menembaki kerumunan orang di pertokoan di Liege, Belgia, sebelum ia menembak kepala sendiri. Lima nyawa melayang.
Beberapa minggu lalu, anak muda warga negara Perancis berdarah Aljazair menembak tiga pasukan payung di Mantauban dan Toulouse, barat daya Perancis. Beberapa hari kemudian, orang yang sama memberondongkan peluru ke kerumunan orang di sekolah Yahudi, juga di Toulouse. Empat jiwa menjadi korban, tiga di antaranya anakanak. Ada apa dengan Eropa?

Rangkaian kekerasan ini sudah cukup menggambarkan silang sengkarut permasalahan yang dihadapi Eropa. Sepintas, fakta bahwa pelakunya adalah keturunan Arab akan mudah memarakkan spekulasi stereotip: kekerasan itu berlatar agama. Namun, jika disigi lebih teliti, permasalahan berakar pada isu-isu yang lebih fundamental.

Dua Isu

Dilema yang dihadapi Eropa saat ini berpusar setidaknya pada dua isu utama. Pertama, demokrasi yang ditahbiskan sebagai ideologi Uni Eropa. Seperti diamanahkan oleh Mukadimah Lisbon Treaty 2009, entitas regional ini mengusung nilai-nilai religius, kemanusiaan, kebebasan, dan demokrasi.

Kebebasan dan demokrasi menjadi mantra bagi Uni Eropa dalam menakar hubungan dengan mitra internasional. Demokrasi pula yang menjadi parameter utama bagi Uni Eropa dalam mengembangkan politik luar negeri. Dalam konteks inilah negara anggota Uni Eropa ikut andil menggempur Libya untuk menjatuhkan Khadafy, termasuk di Afganistan dan Irak.

Namun, ada paradoks di sana. Demokrasi, dalam aras ideal, adalah nilai yang mengutamakan non-kekerasan (soft power) daripada kekerasan (hard power). Namun, yang terjadi dalam proses demokratisasi (mengubah rezim otoriter menjadi demokratis) di Timur Tengah dan Afrika Utara dengan dukungan negara-negara Eropa justru menonjolkan kekerasan. Muncul fenomena absurd: demokrasi diterapkan dengan kekerasan sehingga siklus kekerasan terus berputar.

Apa pun pembenaran atas kekerasan itu, termasuk niat mulia, seperti mengembangkan demokrasi, rumus psikologi politik ini tetap berlaku: kekerasan berbuah kekerasan. Inilah yang kita saksikan di Eropa sekarang. Lihatlah kekerasan yang terjadi di Perancis dan Belgia. Pelaku penembakan mengaku, ia membalas pengiriman pasukan Perancis ke Afganistan dan prakarsa menggempur Libya. Penembakan terhadap seorang rabi Yahudi dan tiga muridnya diklaim sebagai tindakan balas dendam terhadap perlakuan orang Yahudi terhadap bangsa Palestina.

Politik Imigrasi

Masalah lainnya adalah politik imigrasi yang dijalankan oleh negara-negara Eropa. Dibukanya pintu bagi pendatang ke pasar tenaga kerja Eropa memunculkan persepsi bahwa para pendatang, terutama dari Afrika Utara dan Timur Tengah, merebut porsi rezeki warga asli. Berkembanglah tren anti-imigran di sejumlah negara.

Untuk tidak menyebut semua, ambil contoh Belanda. Baru-baru ini Party for Freedom pimpinan Geert Wilders melalui situsnya mengimbau warga Belanda untuk melaporkan setiap tindakan imigran yang dianggap merugikan warga asli. Bukan hanya negara, Uni Eropa pun ikut menyuburkan benih-benih sentimen etnik di Eropa.

Video di situs kampanye perluasan Uni Eropa menggambarkan bagaimana etnik Asia dan Amerika Latin akan menjadi ancaman bagi Eropa jika negara-negara di Eropa tidak bersatu. Meskipun telah dicabut karena diprotes sebagai rasis, pemuatan video itu seolah menegaskan bahwa sentimen ras dan etnik ada dan hidup di bumi Eropa, tak terkecuali di benak para elite-nya. Lagi, terasa ada paradoks di sini: entitas yang menghargai pluralisme dan kemanusiaan malah mengangkat isu etnik dalam program perluasannya.

Eropa memang dikenal sebagai benua tempat budaya dan peradaban berkembang pesat. Namun, dengan serangkaian permasalahan yang dihadapi, terutama dalam hal kekerasan dan politik etnik, sesungguhnya Eropa sedang menghadapi dilema. Dilema itu justru bermula dari rujukan nilai yang selama ini diusung: kemanusiaan, kebebasan, dan demokrasi.

Penyebaran demokrasi ke kawasan lain membuahkan kekerasan. Prinsip kemanusiaan dalam menerima pekerja pendatang justru menimbulkan sentimen anti-migran. Semua ini menunjukkan, untuk membuat kebijakan yang konsisten dengan nilai-nilai yang diamanatkan, ternyata memang bukan pekerjaan gampang, termasuk bagi Eropa.

Dilema dan paradoks yang dialami oleh Eropa saat ini menjadi tantangan para elite-nya, setidaknya untuk menguji kembali apakah rujukan nilai yang diusung entitas regional itu dapat benar-benar sesuai dengan kebijakan di tataran praksis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar