Selasa, 17 April 2012

Dari Tambun Utara ke Istana Merdeka : Diskriminasi Ibadat Jemaat HKBP Filadelfia


Dari Tambun Utara ke Istana Merdeka : Diskriminasi Ibadat Jemaat HKBP Filadelfia
Evi Rahmawati, Aktivis Komunitas Epistemik Muslim Indonesia (KEMI)
SUMBER : JIL, 16 April 2012



Minggu terik (15/04) sejarah intoleransi terhadap jemaat HKBP Filadelfia berulang untuk kali yang tak terhitung. Setelah sebelumnya (25 Maret 2012) perwakilan mereka terpaksa menandatangani kesepakatan yang berisi melarang kegiatan ibadah karena massa yang berduyun-duyun memojokkan posisi dan mengintimidasi perwakilan dari jemaat HKBP itu.

Di pagi ketika matahari telah meninggi,  sekitar pukul 08.30, jemaat HKBP Filadelfia berduyun-duyun membentuk dua barisan menuju lokasi tempat pembangunan gereja mereka yang telah disegel. Sebelumnya mereka berkumpul di Villa 2 Bekasi, memarkir kendaraan masing-masing di depan rumah seorang anggota mereka, dengan bantuan penjagaan dari RT setempat yang siap siaga.

Belum sampai di lokasi, kira-kira seratus meter dari tempat mereka berkumpul sebelumnya, jalan telah ditutup. Jemaat disambut puluhan massa yang telah berada di sana sejak pagi buta. Massa terdiri dari bapak-bapak berpakaian koko dan berpeci, anak-anak muda tanggung, hingga anak-anak kecil berusia belasan tahun. Juga ada beberapa perempuan yang sepertinya tinggal di sekitar jalan kampung yang mereka tutup tersebut. Teriakan-teriakan kasar mewarnai hingar-bingar dari massa penolak ibadah HKBP itu.

Hampir saja terjadi benturan fisik ketika jemaat HKBP mulai merapat hendak menembus papan penghalang yang telah dipasang massa untuk menutup jalan. Adu argumen antara dua belah pihak terjadi cukup sengit. Barisan HKBP terdepan yang diisi oleh ibu-ibu harus berhadap-hadapan langsung dengan massa yang terlihat sudah cukup terbakar emosinya. Menghadapi teriakan massa, beberapa ibu-ibu dari jemaat HKBP hanya bisa menangis sambil terus mengatakan, ”Kami hanya ingin beribadah, bukan berbuat rusuh.” Tetapi massa tidak mempedulikan tangisan mereka, bahkan seorang warga perempuan berjilbab yang merupakan bagian dari massa penolak, mengatakan, ”Tangisan buaya, palsu!

Setelah hampir sepuluh menit dalam situasi yang tak karuan, antara tangisan dan cacian, akhirnya seorang polisi bernama Andri Ananta mengajak pihak HKBP Filadelfia berdialog. Ketika Pendeta Palti Pandjaitan dari HKBP memintanya mengawal jemaat HKBP sampai lokasi pembangunan gereja, Andri berusaha menjelaskan bahwa itu tidak mungkin, karena situasi yang memanas tersebut. Pendeta Palti menyanggah alasan polisi tersebut, bahwa seharusnya polisi bertindak sebagai pelindung mereka yang ingin melakukan ibadah, dengan mengamankan massa yang mengamuk itu agar tidak menghalang-halangi. Tetapi Andri berpegang pada hasil “kesepakatan” lalu yang menyatakan jemaat HKBP dilarang beribadah lagi setelah tanggal 8 April.

Kesepakatan itu sudah kami batalkan!” seorang ibu dari jemaat HKBP menjawab penjelasan sang polisi. Lantas polisi itu masih tetap berargumen, “Tapi pembatalannya hanya sepihak, Bu…”

Rupanya ibu-ibu dari HKBP yang mendengar penjelasan polisi itu sudah tidak tahan dengan sikap aparat negara yang tak juga mau memenuhi permintaan mereka. Seorang ibu berseru, “Itu bukan kesepakatan, Pak. Itu paksaan! Ketika itu yang diundang hanya lima orang, tapi mereka datang ratusan, hingga perwakilan dari kami merasa terintimidasi dan terpaksa menandatangani surat itu! Makanya kami membatalkan kesepakatan itu!” 

Mendengar pernyataan tersebut, sang polisi tak bisa berkata apa-apa. Akhirnya ia berbalik menuju H. Naimun yang dipercaya sebagai perwakilan massa. Ketika ia menjelaskan pernyataan sekaligus keinginan dari jemaat HKBP, H. Naimun dengan lantang menolaknya dengan alasan yang terus diulang-ulang, bahwa ini sudah merupakan hasil dari kesepakatan. Bahkan di akhir pembicaraan, ia berteriak, ”Silakan datangkan dari Vatikan,  warga saya akan melawannya di sini, kami berani!”

Setelah proses dialog sama sekali tidak memungkinkan, akhirnya jemaat melakukan ibadah di jalan. Mereka duduk bersila di tengah teriknya matahari yang sangat menyiksa. Peluh bercucuran. Air mata berlinangan, menitikkan kepedihan mereka yang tidak tertanggungkan. Sementara itu massa masih belum tenang. Syahdu nyanyian rohani gagal menyentuh hati orang-orang yang tampak tidak mampu menahan amarah dan kebenciannya. Bahkan seorang laki-laki berteriak, “Ini sih nantangin!” Lalu teriakan demi teriakan bersusulan, mengalahkan suara-suara lirih jemaat HKBP yang mencoba mengadu pada Tuhan. Tidak kurang pula cacian kasar berhamburan dari kelompok penolak.
 
Tidak berhenti hanya pada teriakan dan cacian, beberapa anak muda menghidupkan radio dengan suara maksimum dan mengarahkannya pada jemaat yang tengah beribadah. Maka, bersainglah lagu-lagu “picisan” dari radio yang disambungkan massa penolak ibadah pada sound system dengan lagu-lagu rohani yang dimadahkan para jemaat HKBP.

Di tengah proses ibadah jemaat HKBP, massa berkali-kali hampir mengamuk. Provokasi disulut oleh beberapa orang, muda dan tua. Yang tua meneriakkan isu agama. Yang muda meneriakkan isu demokrasi yang sepertinya tidak begitu mereka mengerti. Akhirnya, jemaat HKBP Filadelfia menyelesaikan ibadahnya, karena waktu untuk mereka dibatasi hanya sampai jam sepuluh saja. Dengan wajah-wajah muram dan terbakar matari, mereka beranjak dari tempat yang terik itu. Massa bertepuk tangan riuh diselingi teriakkan takbir, “Allahu akbar, Allahu akbar…!

Sekitar pukul 12 siang, puluhan jemaat HKBP Filadelfia berangkat ke Istana Negara menggunakan bis tiga perempat yang mereka sewa. Di sana telah berkumpul jemaat dari GKI Taman Yasmin yang bernasib sama. Selain mereka, ada juga beberapa perwakilan LSM seperti dari LBH Jakarta, YLBHI, WI, TPKB, Setara Institute, SEJUK, Syiah, dan ICRP. Perwakilan Komnas Perempuan juga hadir. Aksi berlangsung damai dengan orasi-orasi perwakilan jemaat HKBP Filadelfia, GKI Yasmin dan Syiah Sampang yang mengeluhkan hak beragama mereka yang terpasung, diteriakkan di depan lapangan Monas seberang istana.
 
Keluh dan perasaan teraniaya yang sempat mengendap di perjalanan dari Tambun Utara ke Istana Negara kembali diteriakkan di sana. Mereka berharap ada langkah tegas dari Presiden SBY terhadap pihak-pihak Pemerintah Kabupaten Bekasi yang tidak mematuhi putusan hukum PTUN Bandung yang memenangkan perizinan pembangunan rumah ibadah HKBP Filadelfia. Mereka akan terus menagih hak-hak dan kebebasan beribadah ke pemerintah sampai benar-benat dapat terjamin dan terlindungi sesuai amanat konstitusi.

Begitupun tuntutan yang sama disampaikan perwakilan jemaat GKI Yasmin agar dengan kewenangannya SBY menindak Diani Budiarto yang mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 9 Desember 2010 di mana GKI Yasmin memenangkan perkara dengan putusan menolak peninjauan kembali yang diajukan Pemerintah Kota Bogor berkaitan dengan IMB GKI Yasmin. Para aktivis ikut berorasi. Pada kesempatan itu pula Anggota Komisi III DPR RI Eva Kusuma Sundari turut unjuk penyesalan atas abainya Presiden SBY karena negara terus menerus mangkir dari kewajibannya menegakkan hak-hak dan kebebasan beribadah yang menimpa HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin.

Ratusan orang berkumpul mendengarkan orasi dari berbagai perwakilan, yang diselingi lantunan lagu-lagu rohani oleh para jemaat. Aksi dan ibadah ini berlangsung sekitar tiga jam. Seluruh kegiatan kemudian diakhiri dengan membacakan press release tuntutan mereka terhadap pemerintah sambil menghadap ke Istana Merdeka, dengan harapan segala ketidakadilan yang mereka terima kali ini benar-benar bisa sampai ke telinga presiden yang mungkin tengah menyaksikan dari balik pintu istana yang tertutup sangat rapat itu. Atau, mungkin tidak? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar