Dari Tambun
Utara ke Istana Merdeka : Diskriminasi Ibadat Jemaat HKBP Filadelfia
Evi Rahmawati, Aktivis Komunitas Epistemik Muslim Indonesia
(KEMI)
SUMBER : JIL, 16 April 2012
Minggu terik (15/04) sejarah intoleransi
terhadap jemaat HKBP Filadelfia berulang untuk kali yang tak terhitung. Setelah
sebelumnya (25 Maret 2012) perwakilan mereka terpaksa menandatangani
kesepakatan yang berisi melarang kegiatan ibadah karena massa yang
berduyun-duyun memojokkan posisi dan mengintimidasi perwakilan dari jemaat HKBP
itu.
Di pagi ketika matahari telah meninggi,
sekitar pukul 08.30, jemaat HKBP Filadelfia berduyun-duyun membentuk dua
barisan menuju lokasi tempat pembangunan gereja mereka yang telah disegel.
Sebelumnya mereka berkumpul di Villa 2 Bekasi, memarkir kendaraan masing-masing
di depan rumah seorang anggota mereka, dengan bantuan penjagaan dari RT
setempat yang siap siaga.
Belum sampai di lokasi, kira-kira seratus
meter dari tempat mereka berkumpul sebelumnya, jalan telah ditutup. Jemaat
disambut puluhan massa yang telah berada di sana sejak pagi buta. Massa terdiri
dari bapak-bapak berpakaian koko dan berpeci, anak-anak muda tanggung, hingga
anak-anak kecil berusia belasan tahun. Juga ada beberapa perempuan yang
sepertinya tinggal di sekitar jalan kampung yang mereka tutup tersebut.
Teriakan-teriakan kasar mewarnai hingar-bingar dari massa penolak ibadah HKBP
itu.
Hampir saja terjadi benturan fisik ketika
jemaat HKBP mulai merapat hendak menembus papan penghalang yang telah dipasang
massa untuk menutup jalan. Adu argumen antara dua belah pihak terjadi cukup
sengit. Barisan HKBP terdepan yang diisi oleh ibu-ibu harus berhadap-hadapan
langsung dengan massa yang terlihat sudah cukup terbakar emosinya. Menghadapi
teriakan massa, beberapa ibu-ibu dari jemaat HKBP hanya bisa menangis sambil
terus mengatakan, ”Kami hanya ingin
beribadah, bukan berbuat rusuh.” Tetapi massa tidak mempedulikan tangisan
mereka, bahkan seorang warga perempuan berjilbab yang merupakan bagian dari
massa penolak, mengatakan, ”Tangisan
buaya, palsu!”
Setelah hampir sepuluh menit dalam situasi
yang tak karuan, antara tangisan dan cacian, akhirnya seorang polisi bernama
Andri Ananta mengajak pihak HKBP Filadelfia berdialog. Ketika Pendeta Palti
Pandjaitan dari HKBP memintanya mengawal jemaat HKBP sampai lokasi pembangunan
gereja, Andri berusaha menjelaskan bahwa itu tidak mungkin, karena situasi yang
memanas tersebut. Pendeta Palti menyanggah alasan polisi tersebut, bahwa
seharusnya polisi bertindak sebagai pelindung mereka yang ingin melakukan
ibadah, dengan mengamankan massa yang mengamuk itu agar tidak
menghalang-halangi. Tetapi Andri berpegang pada hasil “kesepakatan” lalu yang
menyatakan jemaat HKBP dilarang beribadah lagi setelah tanggal 8 April.
“Kesepakatan
itu sudah kami batalkan!” seorang ibu dari jemaat HKBP menjawab penjelasan
sang polisi. Lantas polisi itu masih tetap berargumen, “Tapi pembatalannya hanya sepihak, Bu…”
Rupanya ibu-ibu dari HKBP yang mendengar
penjelasan polisi itu sudah tidak tahan dengan sikap aparat negara yang tak
juga mau memenuhi permintaan mereka. Seorang ibu berseru, “Itu bukan kesepakatan, Pak. Itu paksaan! Ketika itu yang diundang hanya
lima orang, tapi mereka datang ratusan, hingga perwakilan dari kami merasa
terintimidasi dan terpaksa menandatangani surat itu! Makanya kami membatalkan
kesepakatan itu!”
Mendengar pernyataan tersebut, sang polisi
tak bisa berkata apa-apa. Akhirnya ia berbalik menuju H. Naimun yang dipercaya
sebagai perwakilan massa. Ketika ia menjelaskan pernyataan sekaligus keinginan
dari jemaat HKBP, H. Naimun dengan lantang menolaknya dengan alasan yang terus
diulang-ulang, bahwa ini sudah merupakan hasil dari kesepakatan. Bahkan di
akhir pembicaraan, ia berteriak, ”Silakan datangkan dari Vatikan, warga
saya akan melawannya di sini, kami berani!”
Setelah proses dialog sama sekali tidak
memungkinkan, akhirnya jemaat melakukan ibadah di jalan. Mereka duduk bersila
di tengah teriknya matahari yang sangat menyiksa. Peluh bercucuran. Air mata
berlinangan, menitikkan kepedihan mereka yang tidak tertanggungkan. Sementara
itu massa masih belum tenang. Syahdu nyanyian rohani gagal menyentuh hati
orang-orang yang tampak tidak mampu menahan amarah dan kebenciannya. Bahkan
seorang laki-laki berteriak, “Ini sih nantangin!” Lalu teriakan demi teriakan
bersusulan, mengalahkan suara-suara lirih jemaat HKBP yang mencoba mengadu pada
Tuhan. Tidak kurang pula cacian kasar berhamburan dari kelompok penolak.
Tidak berhenti hanya pada teriakan dan cacian, beberapa anak muda menghidupkan
radio dengan suara maksimum dan mengarahkannya pada jemaat yang tengah beribadah.
Maka, bersainglah lagu-lagu “picisan” dari radio yang disambungkan massa
penolak ibadah pada sound system dengan lagu-lagu rohani yang dimadahkan para
jemaat HKBP.
Di tengah proses ibadah jemaat HKBP, massa
berkali-kali hampir mengamuk. Provokasi disulut oleh beberapa orang, muda dan
tua. Yang tua meneriakkan isu agama. Yang muda meneriakkan isu demokrasi yang
sepertinya tidak begitu mereka mengerti. Akhirnya, jemaat HKBP Filadelfia
menyelesaikan ibadahnya, karena waktu untuk mereka dibatasi hanya sampai jam
sepuluh saja. Dengan wajah-wajah muram dan terbakar matari, mereka beranjak
dari tempat yang terik itu. Massa bertepuk tangan riuh diselingi teriakkan
takbir, “Allahu akbar, Allahu akbar…!”
Sekitar pukul 12 siang, puluhan jemaat HKBP
Filadelfia berangkat ke Istana Negara menggunakan bis tiga perempat yang mereka
sewa. Di sana telah berkumpul jemaat dari GKI Taman Yasmin yang bernasib sama.
Selain mereka, ada juga beberapa perwakilan LSM seperti dari LBH Jakarta,
YLBHI, WI, TPKB, Setara Institute, SEJUK, Syiah, dan ICRP. Perwakilan Komnas
Perempuan juga hadir. Aksi berlangsung damai dengan orasi-orasi perwakilan
jemaat HKBP Filadelfia, GKI Yasmin dan Syiah Sampang yang mengeluhkan hak
beragama mereka yang terpasung, diteriakkan di depan lapangan Monas seberang
istana.
Keluh dan perasaan teraniaya yang sempat mengendap di perjalanan dari Tambun
Utara ke Istana Negara kembali diteriakkan di sana. Mereka berharap ada langkah
tegas dari Presiden SBY terhadap pihak-pihak Pemerintah Kabupaten Bekasi yang tidak
mematuhi putusan hukum PTUN Bandung yang memenangkan perizinan pembangunan
rumah ibadah HKBP Filadelfia. Mereka akan terus menagih hak-hak dan kebebasan
beribadah ke pemerintah sampai benar-benat dapat terjamin dan terlindungi
sesuai amanat konstitusi.
Begitupun tuntutan yang sama disampaikan
perwakilan jemaat GKI Yasmin agar dengan kewenangannya SBY menindak Diani
Budiarto yang mengabaikan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 9 Desember 2010 di
mana GKI Yasmin memenangkan perkara dengan putusan menolak peninjauan kembali
yang diajukan Pemerintah Kota Bogor berkaitan dengan IMB GKI Yasmin. Para
aktivis ikut berorasi. Pada kesempatan itu pula Anggota Komisi III DPR RI Eva
Kusuma Sundari turut unjuk penyesalan atas abainya Presiden SBY karena negara
terus menerus mangkir dari kewajibannya menegakkan hak-hak dan kebebasan
beribadah yang menimpa HKBP Filadelfia dan GKI Yasmin.
Ratusan orang berkumpul mendengarkan orasi
dari berbagai perwakilan, yang diselingi lantunan lagu-lagu rohani oleh para
jemaat. Aksi dan ibadah ini berlangsung sekitar tiga jam. Seluruh kegiatan
kemudian diakhiri dengan membacakan press
release tuntutan mereka terhadap pemerintah sambil menghadap ke Istana
Merdeka, dengan harapan segala ketidakadilan yang mereka terima kali ini
benar-benar bisa sampai ke telinga presiden yang mungkin tengah menyaksikan
dari balik pintu istana yang tertutup sangat rapat itu. Atau, mungkin tidak? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar