Suara Rakyat
Milik Siapa?
Ikrar Nusa Bhakti, Peneliti senior di Puslit Politik LIPI
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 16 April 2012
SETIAP
rakyat menentukan pilihannya pada pemilihan umum (pemilu). Adagium yang populer
dilontarkan politisi atau pengamat politik di mana pun pemilu itu diadakan
ialah: `suara rakyat, suara Tuhan' (vox
populi, vox dei). Itu untuk menunjukkan bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan
tertinggi yang menentukan siapa yang duduk di parlemen atau pemimpin mana yang
mereka pilih. Agar legitimasi para anggota dewan di mata rakyat lebih kuat,
dikatakan bahwa suara rakyat identik dengan keinginan atau suara Tuhan.
Dalam
menentukan suara rakyat milik siapa, penguasa atau politisi sering kali
mengutak-atik aturan pemilu. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, dahulu daerah
pemilihan suka diubah-ubah agar partai yang berkuasa dapat memenangi pemilu. Di
Singapura, hal itu juga kadang dilakukan agar jangan sampai partai penguasa,
Partai Aksi Rakyat (People's Action Party),
kehilangan kursi di daerah pemilihan tertentu. Caranya, daerah pemilihan diubah
sesuka hati mirip dengan gambar binatang melata salamander, supaya suara rakyat
terpecah dan partai oposisi sulit mendapatkan kursi. Karena orang yang memiliki
gagasan untuk mengutak-atik daerah pemilihan umum itu bernama Gerry, tak
mengherankan jika gambar daerah pemilihan itu disebut Gerrymander.
Bagaimana
dengan di Indonesia? Politisi di negeri ini memang kadang `aneh bin ajaib'.
Bayangkan saja, salah seorang Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI), Priyo Budi Santoso, menyatakan dalam sebuah seminar di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) bahwa
Indonesia negara paling demokratis di dunia! Alasannya, sejak 2004 kita memilih
presiden dan wakil presiden secara langsung! Pertanyaannya, apakah AS yang
memilih presiden dan wakil presiden melalui dua cara, pilihan rakyat dan
pilihan wakil negara bagian (popular vote
dan electoral vote), tidak
demokratis?
Apakah
bukan malah AS yang `lebih Pancasilais' karena menggabungkan electoral democracy dan deliberative democracy (gabungan
pendekatan individualistis dan musyawarah mufakat) dalam menentukan presiden
dan wakil presiden mereka? Jika di AS atau negara Barat masih sering terjadi
keputusan bulat (unanimous decision)
yang diambil melalui cara musyawarah mufakat dan bukan melalui voting, di Indonesia yang memiliki sila
keempat yang berbunyi `Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan' malah lebih menyukai penentuan keputusan di DPR RI
melalui voting yang sangat
individualistis, dengan didasari arogansi kekuasaan dan kekuatan politik. Kita
tidak tahu apakah politisi kita kini ingin menunjukkan bahwa Indonesia jauh
lebih demokratis ketimbang AS?
Kita
juga bertanya-tanya, mengapa untuk menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat
harus dipilih melalui pemilu? India, negara demokratis terbesar di
dunia--dilihat dari jumlah penduduknya--masih memberikan kursi bagi wakil
rakyat dari kelompok kasta terendah yang tidak mungkin memperoleh kursi melalui
pemilu.
Kita dulu punya utusan golongan dan utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jika utusan daerah sudah diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lalu bagaimana nasib utusan golongan yang kini tidak terwakili dan tidak memiliki suara di MPR apalagi di DPR?
Kita dulu punya utusan golongan dan utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jika utusan daerah sudah diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lalu bagaimana nasib utusan golongan yang kini tidak terwakili dan tidak memiliki suara di MPR apalagi di DPR?
Sekali
lagi, politisi kita memang `aneh bin ajaib', negeri ini memang mirip `Negeri
Acakadut'. Bayangkan, hanya di Indonesia undang-undang pemilu dibahas dan
diamendemen setiap tahun! Di negara lain, kalaupun terjadi penambahan,
pengurangan, atau perubahan pasal, pembahasannya tidak bertele-tele setiap akan
dilaksanakan pemilu. Lebih aneh lagi, meski sudah terjadi pembahasan yang alot
dan keputusannya tertunda 24 jam di Sidang Paripurna DPR RI, ternyata Rancangan
Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak mengalami perubahan yang
signifikan dengan UU No 10/2008 sebelumnya, kecuali untuk ambang batas parlemen
yang naik dari 2,5% menjadi 3,5% dan berlaku secara nasional.
Suara Pemilik Uang
Seperti
diberitakan media massa cetak dan elektronik, setelah alot di Pansus RUU Pemilu
dan di sidang paripurna, para anggota DPR RI akhirnya sepakat mengenai beberapa
hal, antara lain, ambang batas parlemen yang menentukan apakah partai-partai
politik dapat memperoleh kursi di DPR sebesar 3,5% dan berlaku secara nasional.
Alokasi kursi di setiap daerah pemilihan masih sama dengan aturan dalam UU No
10/2008 yang diterapkan pada Pemilu Legislatif 2009, yakni alokasi kursi untuk
DPR sebanyak 3-10 kursi per dapil dan DPRD 3-12 kursi per dapil. Untuk jumlah
kursi tersebut, semua partai politik sepakat secara aklamasi.
Metode
konversi dari suara ke kursi melalui voting
akhirnya ditentukan dengan cara kuota murni (hare quote), sama dengan pada undang-undang pemilu sebelumnya. Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) yang tadinya bersama PDIP dan Partai Golkar berkukuh
mengusulkan penggunaan metode divisor
webster, yang bagi partai besar lebih adil konversi suara ke kursinya,
akhirnya meninggalkan PDIP dan Partai Golkar, kemudian memilih menggunakan
metode kuota. Itu karena di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku, Maluku
Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT, struktur kepartaian PKS masih lemah.
Mengenai
penentuan siapa yang terpilih dalam pemilu dari setiap partai politik, melalui voting akhirnya disepakati sistem
proporsional dengan daftar terbuka tetap digunakan seperti pada Pemilu 2009.
PDIP, PKS, dan PKB yang mengusung sistem daftar tertutup kalah dalam voting.
Jika
kita urai (analisis) sidangsidang pansus pemilu legislatif dan sidang paripurna
untuk memutuskannya, tampak jelas betapa mubazirnya uang rakyat
dihambur-hamburkan hanya untuk menentukan perubahan undang-undang pemilu yang
sangat tidak signifikan itu. Apakah tidak ada cara lain untuk melakukan
perubahan undang-undang yang lebih murah dan tidak bertele-tele?
Jangan karena `demokrasi itu mahal' dan `demokrasi mementingkan proses dan
bukan hanya hasil', para anggota DPR RI dapat menghamburhamburkan uang rakyat
hanya untuk mempertahankan kepentingan atau nafsu berkuasa mereka.
Mari
kita urai satu per satu. Pertama, ambang batas parlemen 3,5% yang berlaku
secara nasional. Apakah itu satu-satunya cara untuk menyederhanakan sistem
kepartaian atau mengurangi jumlah partai di Indonesia agar benar-benar sejajar
dengan sistem presidensial yang kita anut? Apakah gangguan di parlemen
menyebabkan pemerintahan tidak dapat berjalan normal? Tidakkah kita dapat tetap
mempertahankan jumlah partai sesuai dengan pilihan rakyat, tetapi kita
kekurangan jumlah fraksi-fraksi di DPR sehingga partaipartai kecil dapat
bergabung dalam satu atau dua fraksi? Bukankah tidak normalnya hubungan politik
eksekutif dan legislatif disebabkan kepala eksekutifnya tidak mampu membangun
hubungan konstruktif dengan parlemen atau partainya tidak mampu melakukan
manuver politik agar kebijakan pemerintah didukung di parlemen?
Ambang
batas parlemen 3,5% yang berlaku secara nasional amat sangat bertentangan
dengan demokrasi dan empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika). Bagaimana mungkin suara rakyat di daerah dirampok hanya
demi menyesuaikan ambang batas parlemen yang berlaku secara nasional? Indonesia
bukan Jakarta, bangsa Indonesia juga amat majemuk. Kebinekaan tampak dari
adanya partai-partai kecil yang masih bisa hidup dan berjaya di daerah walau
mereka tidak dapat memperoleh kursi di DPR RI. Apakah suara rakyat akan
diberikan kepada partai-partai yang mendapatkan kursi di DPR saja? Bagaimana
pula kita memahami dan menghargai pilihan rakyat? Demokrasi macam apa pula ini?
Penggunaan
sistem kuota memang sesuai dengan keinginan partaipartai kecil, walau tetap
kurang pas dari sisi asas keadilan politik menurut kacamata partai-partai besar
yang sisa suara mereka tidak memungkinkan mereka memperoleh kursi tambahan jika
lebih kecil daripada peroleh suara partai kecil. Persoalan ini biarlah menjadi
pertarungan di antara partai-partai besar dan kecil. Yang terpenting ialah
bagaimana suara rakyat dihargai dan dihormati.
Sistem
proporsional daftar terbuka atau tertutup memiliki terbuka atau tertutup
memiliki kekuatan dan kelemahan masingmasing. Kelebihan sistem daftar tertutup
ialah dapat memastikan rakyat memilih orang yang menurut par tai sangat
kredibel, memperkuat sistem kepartaian, lebih sederhana penghitungannya, lebih
murah biaya kampanyenya, dan mengurangi per tarungan di internal partai. Namun
kelemahannya ialah sistem ini mem perkuat sistem oligarki partai dan ka dang
tidak menghargai pilihan rakyat langsung. Sistem daftar terbuka memang lebih
demokratis, tapi lebih rumit, pemilih harus rumit, pemilih harus cermat membaca
daftar calon, lebih mahal karena setiap calon berjuang untuk mendapatkan kursi,
lebih memung kinkan politik uang yang amat dahsyat, dan terjadi sikutsikutan di
antara calon dari sesama partai.
Mengapa
penentuan jumlah kursi diputuskan secara aklamasi? Sebab, semua partai
membutuhkan kursi di DPR. Kursi sama dengan kekuasaan dan uang! Karena itu,
jangan heran bila mereka sepakat meng heran bila mereka sepakat mengenai
jumlahnya. Padahal, kita dapat saja mengurangi jumlah kursi, tidak hanya di
dapil, tetapi juga di tingkat nasional. Itu karena demokrasi tidak identik
dengan jumlah kursi di parlemen.
Suara the voiceless ke Mana?
Kita
patut bertanya, mengapa sidang pansus pemilu legislatif atau paripurna tidak
membahas secara panjang lebar kuota kursi (bukan kuota calon) perempuan?
Mengapa pasal yang mengatur jumlah uang sumbangan pribadi atau perusahaan
bukannya dikurangi, melainkan malah ditambah? Secara akal sehat, mana mungkin
seorang individu mengeluarkan uang dari koceknya sebesar Rp250 juta untuk
membantu calon anggota legislatif jika dia tidak memiliki kepentingan politik?
Hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan yang dapat menyumbang sampai angka
miliaran. Apakah kita benar-benar melaksanakan demokrasi sesuai dengan empat
pilar bangsa yang kita pertahankan? Lalu, mengapa suara orang-orang yang tidak
dapat bersuara (the voice of the
voiceless) di daerah juga dikubur melalui sistem ambang batas parlemen 3,5%
yang berlaku nasional itu? Jika UU pemilu legislatif ini diberlakukan tanpa ada
review dari Mahkamah Konstitusi, kita
tak tahu lagi ke arah mana sesungguhnya demokrasi kita melangkah. Jika di AS,
yang merupakan negara kampiun demokrasi, musyawarah mufakat masih sering
digunakan baik di Kongres atau dalam hubungan antara presiden dan Kongres,
mengapa di Indonesia itu menjadi sesuatu yang amat mahal dan sulit? Hanya
politisi yang dapat menjawabnya. Suara rakyat bukan hanya tidak ada harganya,
melainkan juga nyaris tidak didengar! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar