Selasa, 17 April 2012

Suara Rakyat Milik Siapa?

Suara Rakyat Milik Siapa?
Ikrar Nusa Bhakti, Peneliti senior di Puslit Politik LIPI
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 16 April 2012



SETIAP rakyat menentukan pilihannya pada pemilihan umum (pemilu). Adagium yang populer dilontarkan politisi atau pengamat politik di mana pun pemilu itu diadakan ialah: `suara rakyat, suara Tuhan' (vox populi, vox dei). Itu untuk menunjukkan bahwa rakyatlah pemilik kedaulatan tertinggi yang menentukan siapa yang duduk di parlemen atau pemimpin mana yang mereka pilih. Agar legitimasi para anggota dewan di mata rakyat lebih kuat, dikatakan bahwa suara rakyat identik dengan keinginan atau suara Tuhan.

Dalam menentukan suara rakyat milik siapa, penguasa atau politisi sering kali mengutak-atik aturan pemilu. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, dahulu daerah pemilihan suka diubah-ubah agar partai yang berkuasa dapat memenangi pemilu. Di Singapura, hal itu juga kadang dilakukan agar jangan sampai partai penguasa, Partai Aksi Rakyat (People's Action Party), kehilangan kursi di daerah pemilihan tertentu. Caranya, daerah pemilihan diubah sesuka hati mirip dengan gambar binatang melata salamander, supaya suara rakyat terpecah dan partai oposisi sulit mendapatkan kursi. Karena orang yang memiliki gagasan untuk mengutak-atik daerah pemilihan umum itu bernama Gerry, tak mengherankan jika gambar daerah pemilihan itu disebut Gerrymander.

Bagaimana dengan di Indonesia? Politisi di negeri ini memang kadang `aneh bin ajaib'. Bayangkan saja, salah seorang Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Priyo Budi Santoso, menyatakan dalam sebuah seminar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) bahwa Indonesia negara paling demokratis di dunia! Alasannya, sejak 2004 kita memilih presiden dan wakil presiden secara langsung! Pertanyaannya, apakah AS yang memilih presiden dan wakil presiden melalui dua cara, pilihan rakyat dan pilihan wakil negara bagian (popular vote dan electoral vote), tidak demokratis?

Apakah bukan malah AS yang `lebih Pancasilais' karena menggabungkan electoral democracy dan deliberative democracy (gabungan pendekatan individualistis dan musyawarah mufakat) dalam menentukan presiden dan wakil presiden mereka? Jika di AS atau negara Barat masih sering terjadi keputusan bulat (unanimous decision) yang diambil melalui cara musyawarah mufakat dan bukan melalui voting, di Indonesia yang memiliki sila keempat yang berbunyi `Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan' malah lebih menyukai penentuan keputusan di DPR RI melalui voting yang sangat individualistis, dengan didasari arogansi kekuasaan dan kekuatan politik. Kita tidak tahu apakah politisi kita kini ingin menunjukkan bahwa Indonesia jauh lebih demokratis ketimbang AS?

Kita juga bertanya-tanya, mengapa untuk menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat harus dipilih melalui pemilu? India, negara demokratis terbesar di dunia--dilihat dari jumlah penduduknya--masih memberikan kursi bagi wakil rakyat dari kelompok kasta terendah yang tidak mungkin memperoleh kursi melalui pemilu.
Kita dulu punya utusan golongan dan utusan daerah di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Jika utusan daerah sudah diganti dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lalu bagaimana nasib utusan golongan yang kini tidak terwakili dan tidak memiliki suara di MPR apalagi di DPR?

Sekali lagi, politisi kita memang `aneh bin ajaib', negeri ini memang mirip `Negeri Acakadut'. Bayangkan, hanya di Indonesia undang-undang pemilu dibahas dan diamendemen setiap tahun! Di negara lain, kalaupun terjadi penambahan, pengurangan, atau perubahan pasal, pembahasannya tidak bertele-tele setiap akan dilaksanakan pemilu. Lebih aneh lagi, meski sudah terjadi pembahasan yang alot dan keputusannya tertunda 24 jam di Sidang Paripurna DPR RI, ternyata Rancangan Undang-Undang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan UU No 10/2008 sebelumnya, kecuali untuk ambang batas parlemen yang naik dari 2,5% menjadi 3,5% dan berlaku secara nasional.

Suara Pemilik Uang

Seperti diberitakan media massa cetak dan elektronik, setelah alot di Pansus RUU Pemilu dan di sidang paripurna, para anggota DPR RI akhirnya sepakat mengenai beberapa hal, antara lain, ambang batas parlemen yang menentukan apakah partai-partai politik dapat memperoleh kursi di DPR sebesar 3,5% dan berlaku secara nasional. Alokasi kursi di setiap daerah pemilihan masih sama dengan aturan dalam UU No 10/2008 yang diterapkan pada Pemilu Legislatif 2009, yakni alokasi kursi untuk DPR sebanyak 3-10 kursi per dapil dan DPRD 3-12 kursi per dapil. Untuk jumlah kursi tersebut, semua partai politik sepakat secara aklamasi.

Metode konversi dari suara ke kursi melalui voting akhirnya ditentukan dengan cara kuota murni (hare quote), sama dengan pada undang-undang pemilu sebelumnya. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tadinya bersama PDIP dan Partai Golkar berkukuh mengusulkan penggunaan metode divisor webster, yang bagi partai besar lebih adil konversi suara ke kursinya, akhirnya meninggalkan PDIP dan Partai Golkar, kemudian memilih menggunakan metode kuota. Itu karena di wilayah Indonesia Timur seperti Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, dan NTT, struktur kepartaian PKS masih lemah.

Mengenai penentuan siapa yang terpilih dalam pemilu dari setiap partai politik, melalui voting akhirnya disepakati sistem proporsional dengan daftar terbuka tetap digunakan seperti pada Pemilu 2009. PDIP, PKS, dan PKB yang mengusung sistem daftar tertutup kalah dalam voting.

Jika kita urai (analisis) sidangsidang pansus pemilu legislatif dan sidang paripurna untuk memutuskannya, tampak jelas betapa mubazirnya uang rakyat dihambur-hamburkan hanya untuk menentukan perubahan undang-undang pemilu yang sangat tidak signifikan itu. Apakah tidak ada cara lain untuk melakukan perubahan undang-undang yang lebih murah dan tidak bertele-tele?
 
Jangan karena `demokrasi itu mahal' dan `demokrasi mementingkan proses dan bukan hanya hasil', para anggota DPR RI dapat menghamburhamburkan uang rakyat hanya untuk mempertahankan kepentingan atau nafsu berkuasa mereka.
Mari kita urai satu per satu. Pertama, ambang batas parlemen 3,5% yang berlaku secara nasional. Apakah itu satu-satunya cara untuk menyederhanakan sistem kepartaian atau mengurangi jumlah partai di Indonesia agar benar-benar sejajar dengan sistem presidensial yang kita anut? Apakah gangguan di parlemen menyebabkan pemerintahan tidak dapat berjalan normal? Tidakkah kita dapat tetap mempertahankan jumlah partai sesuai dengan pilihan rakyat, tetapi kita kekurangan jumlah fraksi-fraksi di DPR sehingga partaipartai kecil dapat bergabung dalam satu atau dua fraksi? Bukankah tidak normalnya hubungan politik eksekutif dan legislatif disebabkan kepala eksekutifnya tidak mampu membangun hubungan konstruktif dengan parlemen atau partainya tidak mampu melakukan manuver politik agar kebijakan pemerintah didukung di parlemen?

Ambang batas parlemen 3,5% yang berlaku secara nasional amat sangat bertentangan dengan demokrasi dan empat pilar bangsa (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika). Bagaimana mungkin suara rakyat di daerah dirampok hanya demi menyesuaikan ambang batas parlemen yang berlaku secara nasional? Indonesia bukan Jakarta, bangsa Indonesia juga amat majemuk. Kebinekaan tampak dari adanya partai-partai kecil yang masih bisa hidup dan berjaya di daerah walau mereka tidak dapat memperoleh kursi di DPR RI. Apakah suara rakyat akan diberikan kepada partai-partai yang mendapatkan kursi di DPR saja? Bagaimana pula kita memahami dan menghargai pilihan rakyat? Demokrasi macam apa pula ini?

Penggunaan sistem kuota memang sesuai dengan keinginan partaipartai kecil, walau tetap kurang pas dari sisi asas keadilan politik menurut kacamata partai-partai besar yang sisa suara mereka tidak memungkinkan mereka memperoleh kursi tambahan jika lebih kecil daripada peroleh suara partai kecil. Persoalan ini biarlah menjadi pertarungan di antara partai-partai besar dan kecil. Yang terpenting ialah bagaimana suara rakyat dihargai dan dihormati.

Sistem proporsional daftar terbuka atau tertutup memiliki terbuka atau tertutup memiliki kekuatan dan kelemahan masingmasing. Kelebihan sistem daftar tertutup ialah dapat memastikan rakyat memilih orang yang menurut par tai sangat kredibel, memperkuat sistem kepartaian, lebih sederhana penghitungannya, lebih murah biaya kampanyenya, dan mengurangi per tarungan di internal partai. Namun kelemahannya ialah sistem ini mem perkuat sistem oligarki partai dan ka dang tidak menghargai pilihan rakyat langsung. Sistem daftar terbuka memang lebih demokratis, tapi lebih rumit, pemilih harus rumit, pemilih harus cermat membaca daftar calon, lebih mahal karena setiap calon berjuang untuk mendapatkan kursi, lebih memung kinkan politik uang yang amat dahsyat, dan terjadi sikutsikutan di antara calon dari sesama partai.

Mengapa penentuan jumlah kursi diputuskan secara aklamasi? Sebab, semua partai membutuhkan kursi di DPR. Kursi sama dengan kekuasaan dan uang! Karena itu, jangan heran bila mereka sepakat meng heran bila mereka sepakat mengenai jumlahnya. Padahal, kita dapat saja mengurangi jumlah kursi, tidak hanya di dapil, tetapi juga di tingkat nasional. Itu karena demokrasi tidak identik dengan jumlah kursi di parlemen.

Suara the voiceless ke Mana?

Kita patut bertanya, mengapa sidang pansus pemilu legislatif atau paripurna tidak membahas secara panjang lebar kuota kursi (bukan kuota calon) perempuan? Mengapa pasal yang mengatur jumlah uang sumbangan pribadi atau perusahaan bukannya dikurangi, melainkan malah ditambah? Secara akal sehat, mana mungkin seorang individu mengeluarkan uang dari koceknya sebesar Rp250 juta untuk membantu calon anggota legislatif jika dia tidak memiliki kepentingan politik? Hal yang sama juga berlaku bagi perusahaan yang dapat menyumbang sampai angka miliaran. Apakah kita benar-benar melaksanakan demokrasi sesuai dengan empat pilar bangsa yang kita pertahankan? Lalu, mengapa suara orang-orang yang tidak dapat bersuara (the voice of the voiceless) di daerah juga dikubur melalui sistem ambang batas parlemen 3,5% yang berlaku nasional itu? Jika UU pemilu legislatif ini diberlakukan tanpa ada review dari Mahkamah Konstitusi, kita tak tahu lagi ke arah mana sesungguhnya demokrasi kita melangkah. Jika di AS, yang merupakan negara kampiun demokrasi, musyawarah mufakat masih sering digunakan baik di Kongres atau dalam hubungan antara presiden dan Kongres, mengapa di Indonesia itu menjadi sesuatu yang amat mahal dan sulit? Hanya politisi yang dapat menjawabnya. Suara rakyat bukan hanya tidak ada harganya, melainkan juga nyaris tidak didengar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar