Kamis, 19 April 2012

Hukum, Dahlan, dan DPR


Hukum, Dahlan, dan DPR
Sudjito, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM 
SUMBER : SINDO, 19 April 2012



Bukan sekadar berbeda, bukan luar biasa, melainkan juga memiliki ruh. Itulah sepak terjang Dahlan Iskan, menteri negara badan usaha milik negara (BUMN). 

Dari membuka pintu tol, ikut berdesak-desakan naik kereta rel listrik, sampai menginap di rumah petani. Itu semua dilakukan untuk membongkar kebobrokan dan sekaligus meningkatkan kinerja BUMN. Langkah ”cerdas dan progresif” itu memang keluar dari prosedur dan tak lazim,bahkan bisa ditafsirkan melanggar aturan dan tradisi.Paling tidak tudingan semacam itu telah muncul dari beberapa anggota DPR.

Malah tindakannya disebut sebagai aksi koboi. Lebih ”kejam” lagi, para anggota DPR mengajukan hak interpelasi atas langkah kontroversial meneken Kepmen BUMN No.236/201. Dahlan Iskan dituduh melanggar tiga undang-undang (UU) sekaligus yaitu Pasal 15 UU No.19/2003 tentang BUMN, Pasal 24 ayat 5 UU No.17/2003 tentang Keuangan Negara, serta Pasal 45 dan 46 UU No.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Kedua regulasi terakhir itu mengatur bahwa penjualan aset BUMN harus melalui persetujuan DPR, presiden, dan atau menteri keuangan, sesuai tingkat kewenangan masing-masing. Memang tidak jelas soal politik apa yang melatari hak interpelasi itu. Dalam semangat prorakyat, tulisan ini pun tidak ingin masuk dan terlibat dalam urusan politik,tapi ingin menelaahnya dari moralitas hukum.Pertanyaan mendasar adalah seperti apakah komitmen mereka terhadap hukum di negeri ini? Masih adakah rasa malu dalam menjalankan hukum ketika perilaku mereka hampa dari nilai-nilai moralitas?

Perilaku Normatif

Begawan hukum Satjipto Rahardjo teramat sering mengingatkan bahwa hukum itu bukan dunia yang mekanistik, formal, dan teknologis, melainkan sarat dengan muatan ide, perasaan, dan visi kultural. Tarik-menarik antara aspek teknologis dan keinginan berpijak pada basis kultural menjadikan hukum tampil sebagai realitas kompleks. Pemahaman demikian tidak sepantasnya diikuti dengan saling menyalahkan satu terhadap yang lain.

Dahlan Iskan memiliki alasan, pun demikian dengan para anggota DPR. Ciri menonjol dari moralitas hukum bila dibandingkan kepentingan politik dan ekonomi terletak pada fungsi normatifnya. Fungsi inilah yang perlu dijaga agar segenap perilaku tunduk pada otoritas hukum. Ketika fungsi normatif ini lemah dan hal demikian ditengarai oleh ”pembangkangan” ataupun aksi koboi tentu kalangan penganut normatif hukum risau dan menggugatnya.

Namun, mereka pun mesti sadar bahwa aksi koboi tidak mungkin bisa dilawan dengan langkah teknologis kalau akar permasalahannya belum disentuh dan teratasi.Saya yakin Dahlan Iskan telah siap menangkis interpelasi dengan sajian akar permasalahan kebobrokan BUMN yang dipimpinnya. Permasalahan ini bukan beban dan tanggung jawab menteri BUMN, melainkan juga tanggung jawab DPR, bahkan masyarakat.

Sebab itu, ibarat ”adu katigdayan (tinju)” antara Dahlan Iskan berhadapan dengan anggota DPR,disarankan tidak dilangsungkan di arena ring hukum normatif, tapi dialihkan pada arena ring perilaku normatif.Apa itu? Pertama, perilaku mengedepankan wawasan kebangsaan dilandasi sikap kolektif, kebersamaan, dan persatuan.

Alangkah indahnya bila Dahlan Iskan dan para anggota DPR berangkulan lahir dan batin sepakat memberantas kebobrokan BUMN dengan caracara yang cerdas dan progresif. Kedua, perilaku atas dasar kepekaan terhadap krisis yang dialami bangsa dan negara karena ulah korup oknum birokrat, politisi, dan elite pengusaha. Segala bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) perlu dilawan bersama.

Gerakan anti-KKN,mafia hukum,dan kejahatan narkoba mesti merupakan gerakan budaya, dilakukan secara sistemik, dan masif melalui strategi kebudayaan. Ketiga, perilaku kolektif, saling memberi, saling melengkapi, dan tabu mencaki-maki. Dahlan Iskan selaku menteri BUMN dan para anggota DPR selaku legislator adalah komunitas kolektif yang sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap bangsa dan negara.

Sadar akan kekurangan masingmasing sebagai manusia pastilah memerlukan kehadiran orang/pihak lain yang mau dan mampu memberi masukan, bantuan, dan motivasi untuk keberhasilan tugas masingmasing. Keempat, perilaku yang bersandar pada nilai moral sebagai sandaran tertinggi, sementara norma hukum hanyalah diikuti selama konsisten dengan nilai moral tersebut.

Dalam konteks demikian, ketika ada hukum cacat moral, pantas dikritisi dan diubah agar sesuai/ cocok dengan nilai moralitasnya. Tak perlu ragu bahwa bagi bangsa Indonesia, nilai moral tersebut tidak lain adalah nilai-nilai Pancasila. Mudah dan sangat sederhana untuk menjadikan perilaku hukum sebagai perilaku normatif. Kata kuncinya,kebersatuan dan saling melengkapi.Sebaliknya, menjadi tabu untuk mempersaingkan antara keduanya, apalagi berujung kalah atau menang.

Budaya persaingan itu hanya memiliki nilai moral ketika diabdikan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Dan menjadi amoral ketika mereka bersaing untuk jabatan, materi, popularitas, dan berbagai atribut kekuasaan. Fokus kepada perilaku normatif secara perlahan, tapi pasti akan mampu mendamaikan perseteruan antara kubu normatif hukum dan kubu empiris hukum, antara ideologi hukum dan pragmatisme hukum.

Dahlan Iskan dan para anggota DPR pun bisa memberi contoh perilaku normatif tersebut. Kata-kata bijak berbunyi: ”perilaku yang baik adalah dasar hukum yang baik”. Ukuran kebaikan itu tidak lain moral. Marilah kita camkan kembali ajaran moralitas hukum ini. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar