Senin, 02 April 2012

BBM dan Beban Ekonomi Kawasan Timur Indonesia


BBM dan Beban Ekonomi Kawasan Timur Indonesia
Muhammad Syarkawi Rauf, Kepala Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Bisnis,
FE Universitas Hasanuddin
SUMBER : KOMPAS, 02 April 2012



Kenaikan harga minyak mentah produksi Indonesia, Indonesia crude oil price, hingga 120 dollar AS per barrel mendorong pemerintah mempertimbangkan menaikkan harga BBM domestik dengan mengurangi subsidi. Pilihannya, menetapkan subsidi BBM konstan atau berfluktuasi mengikuti perkembangan ICP (harga minyak Indonesia di pasar internasional) dan target konsumsi BBM bersubsidi yang selalu terlampaui.

Pilihan pertama menciptakan kepastian anggaran, tetapi ketidakpastian bagi konsumen. Sementara pilihan kedua memberikan kepastian bagi konsumen, tetapi ketidakpastian anggaran. Apa pun pilihannya, kenaikan harga BBM akan berdampak negatif terhadap setiap daerah di Indonesia. Daerah yang paling terbebani adalah daerah-daerah di kawasan timur Indonesia (KTI) yang persentase penduduk miskinnya sangat besar.

Penduduk Miskin KTI

Sesuai data Badan Pusat Statistik 2011, mayoritas kelompok masyarakat miskin di KTI terdapat di perdesaan. Kelompok ini akan menjadi semakin miskin karena kenaikan harga BBM. Tidak bisa dihindari, 32 persen penduduk Papua dan Papua Barat semakin miskin. Jumlah penduduk miskinnya berpotensi meningkat menjadi lebih kurang separuh dari total penduduknya. Jumlah penduduk miskin Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Sulawesi Tenggara juga akan meningkat signifikan. Jumlah penduduk miskin Maluku yang saat ini 23 persen dari total penduduk akan naik menjadi sekitar 28 persen jika harga BBM naik menjadi Rp 6.000 per liter. Jumlah penduduk miskin Gorontalo berpotensi meningkat jadi 22-25 persen dari total penduduknya.

Peningkatan beban ekonomi karena kenaikan harga BBM di KTI lebih besar dibandingkan dengan kawasan barat Indonesia (KBI) karena juga dipicu oleh sistem logistik yang buruk. Kondisi geografis yang terdiri dari pulau-pulau tidak terkoneksi satu sama lain. Akibatnya, distribusi barang antardaerah tidak lancar sehingga menciptakan gangguan tambahan pada sisi pasokan bahan kebutuhan pokok.

Beban ekonomi KTI diperburuk oleh ketergantungan pasokan barang-barang kebutuhan pokok terhadap sentra industri manufaktur di Pulau Jawa, khususnya Surabaya. Kota Makassar, Sulawesi Selatan, yang merupakan regional hub karena relatif terkoneksi dengan daerah-daerah di KTI tak memiliki industri manufaktur untuk memenuhi permintaan masyarakat di KTI.

Faktanya, perekonomian kabupaten/kota di KTI secara struktural didominasi oleh lapangan usaha perdagangan setelah pertanian. Kota Makassar sebagai kota terbesar di KTI sangat didominasi kegiatan perdagangan dan sektor keuangan. Sementara Kawasan Industri Makassar hanya diisi pedagang, bukan industri manufaktur.

Kondisi serupa terjadi di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, yaitu kenaikan harga BBM akan meningkatkan persentase penduduk miskin jadi jauh di atas angka nasional. Daerah ini bahkan mengalami sindrom penyakit Belanda (Dutch disease) yang ditandai oleh eksploitasi tambang yang meningkat tanpa diikuti pertumbuhan sektor manufaktur (Kompas, 16/3). Keduanya juga tergantung pada pasokan kebutuhan pokok dari Pulau Jawa, khususnya Surabaya.

Jalan Keluar

Kenaikan harga BBM akan berdampak sangat luas, mulai dari sektor transportasi hingga ke penyediaan energi listrik. Kenaikan harga BBM sekitar 33 persen akan mendongkrak biaya pengangkutan sekitar 30-32,50 persen (Organda Sulsel, 2012). Tanpa kenaikan subsidi listrik, tarif dasar listrik (TDL) akan naik mengikuti kenaikan harga BBM karena bahan bakar utama pembangkit listrik di Indonesia adalah BBM.

Inflasi tinggi sulit dihindari, khususnya yang disebabkan oleh kenaikan biaya distribusi, membengkaknya biaya produksi, dan gangguan pada sisi pasokan. Dampak inflasi di KTI lebih besar dibandingkan dengan KBI karena faktor jarak yang jauh dari sentra produksi mendongkrak biaya distribusi beberapa kali lipat yang pada akhirnya dibebankan kepada konsumen.

Lalu, bagaimana mengurangi dampak negatif kenaikan harga BBM? Solusinya tidak mudah, tetapi khusus untuk daerah-daerah di KTI, dalam jangka pendek pemerintah harus bisa menjamin pasokan BBM sehingga tak terjadi kelangkaan di sentra perikanan dan pertanian. Pertamina perlu lebih mengaktifkan peran stasiun pengisian BBM terapung. Pemerintah dituntut bisa mengkreasi suatu skim bantuan khusus kepada petani yang selama ini membajak sawah menggunakan traktor tangan berbahan bakar minyak. Demikian juga, perlu insentif untuk pengangkutan hasil pertanian sehingga petani tidak dirugikan karena tindakan pedagang yang berusaha menekan harga.

Selain itu, perlu upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mengalihkan dana subsidi BBM ke anggaran pembangunan infrastruktur di KTI. Fokus pembangunan infrastruktur diarahkan ke sarana irigasi, jalan dalam berbagai kategori mulai dari jalan desa hingga nasional, pelabuhan perikanan, moda transportasi laut antarpulau, pembangkit listrik non-BBM, dan lainnya.

Langkah lain, mengompensasi kenaikan harga BBM dengan peningkatan pembiayaan infrastruktur sehingga dalam jangka menengah dapat menjamin konektivitas antardaerah di KTI, khususnya antara sentra produksi dan pasar kecamatan, pasar kecamatan dengan pasar kabupaten, pasar kabupaten dengan pasar provinsi, dan ekspor.

Percepatan pembangunan infrastruktur transportasi akan menurunkan secara signifikan biaya pengangkutan barang di KTI, memperlancar distribusi barang sehingga lebih memberikan kepastian pada sisi pasokan, dan memberikan insentif bagi pengembangan industri manufaktur. Harapannya, KTI segera bisa menghindar dari kutukan SDA (Dutch disease). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar