Menjaga Kerukunan Tradisional
Fajar Riza Ul Haq, Direktur
Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
SUMBER : KOMPAS, 02 April 2012
Perubahan peta politik global dan tingginya
migrasi manusia di abad ke-21 memiliki dampak terhadap tingkat kerentanan
konflik sosial negara-negara yang mempunyai tingkat kemajemukan tinggi, tidak
terkecuali Indonesia.
Keragaman etnisitas dan agama negeri ini yang paling heterogen di dunia, selain Papua Niugini, Kanada, Amerika Serikat, India, Nigeria, dan Australia. Bahkan, dari sisi kekayaan bahasa, Indonesia hanya kalah dari Papua Niugini yang dilaporkan memiliki 870 bahasa etnis.
Meningkatnya intensitas konflik sosial berlatar agama, khususnya tiga tahun terakhir, telah memaksa kita memahami kembali makna kerukunan kehidupan beragama dalam konteks kekinian. Penelitian Lazuardi Birru menyimpulkan bahwa indeks kerentanan radikalisme nasional di tahun 2011 sebesar 43,6 persen, masih jauh dari zona aman, yaitu 33,33 persen. Topik kerukunan ini mengemuka dalam diskusi terbatas yang diadakan Lembaga Ketahanan Nasional (20/3/2012) di Jakarta. Kerentanan kerukunan antar-umat beragama akan mengancam integrasi bangsa. Terlebih, potensi konflik sosial di Indonesia diperkirakan semakin mengeskalasi beberapa tahun ke depan.
Toleransi Pasif
Meningkatnya statistik perilaku intoleran, kekerasan bernuansa agama, dan konflik sektarian sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa penelitian mengingatkan kita semua bahwa perspektif ”kerukunan tradisional” tak lagi memadai untuk mengelola kebhinekaan bangsa. Menurut Franz Magnis-Suseno, kerukunan tradisional hanya bisa efektif dalam masyarakat yang stabil, di mana tak ada ruang untuk aktualisasi masing-masing identitas politik, sebagaimana kebijakan politik Orde Baru. Dalam konstruksi kerukunan tradisional, kemunculan konflik selalu dimaknai sebagai ketidakmampuan budaya dan agama tertentu untuk berselaras dengan kebijakan politik nasional. Mengabaikan faktor ketidakseimbangan distribusi sumber daya ekonomi-politik. Ledakan konflik berlatar SARA di awal-awal Reformasi merupakan salah satu dampak dari konstruksi politik Orde Baru yang memicu segregasi sosial seperti terjadi di Maluku.
Pada satu sisi, perspektif kerukunan tradisional telah menyuburkan sikap toleransi pasif. Sebuah istilah yang dipakai PM David Cameron ketika mempersoalkan kegagalan politik multikulturalisme Inggris di saat dilanda kerusuhan rasial (Guardian, 16/12/2011). Menurut Frank Furedi, sikap toleran menuntut keberanian, kepercayaan diri, dan komitmen terhadap nilai-nilai kebebasan. Seseorang dianggap bertoleransi pasif jika dirinya menghindar atau tak mau berbuat sesuatu untuk menyelamatkan orang lain dari ancaman intoleransi dan ekstremisme. Meski mayoritas masyarakat masih dinilai toleran di ruang publik terhadap perbedaan beragama sebagaimana terungkap dari temuan CSRC Universitas Islam Jakarta, saya curiga mentalitas toleransi yang mayoritas itu adalah toleransi pasif. Jika betul, kita semua patut cemas.
Salah satu gejala toleransi pasif adalah ketika satu masyarakat memperlakukan persoalan intoleransi di lingkungannya sebagai masalah internal, bukan urusan publik. Dalam sebuah pelatihan pendidikan karakter anti-kekerasan untuk guru-guru Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Kewargaan, terungkap mengenai tumbuh suburnya sikap-sikap yang kontraproduktif dengan semangat kebangsaan dan kecenderungan menoleransi aksi kekerasan atas nama agama di beberapa sekolah umum negeri. Sejumlah siswa tak mau menghormat bendera dan mengharamkan nasionalisme. Ada guru yang tak keberatan dengan kegiatan latihan paramiliter siswa di sekolah. Yang mengejutkan, mereka menganggap kasus semacam ini sebagai ”masalah biasa” yang tidak perlu dibicarakan di tingkat pengurus sekolah, apalagi dinas pendidikan.
Rendahnya empati dan kepedulian terhadap persoalan minoritas merupakan gejala lain dari toleransi pasif. Ketidaktegasan pemerintah dalam penyelesaian konflik sektarian seperti kasus Ahmadiyah, Syiah, dan sengketa rumah ibadah mempertebal apatisme publik. Ketidaktuntasan proses penyelesaian konflik-konflik sektarian telah menggerus rasa kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah. Kondisi semacam ini memicu ketidakpuasan kelompok masyarakat yang berujung pada lunturnya kepercayaan mereka terhadap efektivitas penegakan hukum. Masa depan kerukunan umat beragama menjadi taruhannya mengingat potensi konflik sektarian menjadi bagian tak terpisahkan dari realitas heterogenitas etnis dan agama.
Pada sisi lain, perspektif kerukunan tradisional tak berdaya membendung arus intoleransi keagamaan di ruang publik. Rukun diyakini sebagai bentuk keselarasan, tidak memberi tempat pada keberbedaan etnisitas, tradisi agama, dan lokalitas budaya. Padahal dinamika hubungan sosial antarkelompok masyarakat di tengah proses demokratisasi politik dan tingginya mobilitas sosial membutuhkan kerangka kerukunan yang berbasis pengakuan terhadap politik identitas dan keadilan ekonomi-politik. Kajian Thung Ju Lan dkk (2010) di Riau, Kalimantan Timur, dan Bali memperlihatkan, konflik sosial berkorelasi dengan kebijakan politik etnisitas Orde Baru. Pemerintah pusat telah meminggirkan kelompok tertentu dan direspons dengan kemunculan mobilisasi sentimen etnisitas kedaerahan.
Yang harus diwaspadai, jika pola serupa dengan basis isu sentimen keagamaan berkembang. Tingkat ketidakadilan dalam relasi mayoritas dan minoritas di Jawa akan berpengaruh pada relasi sosial di luar Jawa. Komunitas Muslim di Bali dan NTT mulai merasakan persoalan ketika mereka akan mendirikan masjid. Komunitas Gereja di Sulawesi Utara mempertanyakan pembangunan pondok pesantren di lingkungannya. Masuknya aliran keagamaan baru dari luar menimbulkan implikasi terhadap pola relasi sosial-keagamaan yang sudah terbangun. Seorang pemuka masyarakat Bali mencemaskan penetrasi aliran-aliran Hindu India yang dalam banyak hal berbeda dengan Hindu Bali. Tantangan semacam ini juga dihadapi kelompok Islam, Kristen, dan Katolik. Kian besar ruang subyektivitas keberagamaan, kian besar pula potensi ketegangan sektarian antarkelompok keagamaan.
Modal Sosial
Berdasarkan studi Robert Putnam dan David Campbell (2010), kemajemukan kelompok keagamaan tak hanya berpotensi memicu konflik sektarian tetapi juga mampu menjadi modal sosial suatu bangsa. Semangat inilah yang seharusnya menjiwai RUU kerukunan umat beragama dalam bentuk jaminan dan perlindungan hak konstitusional warga negara. Faktanya, RUU itu nyaris tak bergeser dari perspektif kerukunan tradisional.
Alih-alih membawa perubahan, RUU itu gagal keluar dari jebakan relasi mayoritas-minoritas bahkan berpotensi menciptakan segregasi secara sosial dan budaya. Contohnya, upaya DPR meregulasi perayaan hari besar keagamaan (pasal 9-10) dan pemakaman jenazah (pasal 19-22) tak mempertimbangkan aspek kemajemukan budaya masyarakat, khususnya di luar Jawa. Di banyak tempat seperti di Ende dan Bali, perayaan hari besar keagamaan adalah bagian tak terpisahkan dari budaya masyarakatnya yang mencerminkan semangat toleransi aktif.
Kekayaan tradisi semacam ini menjadi modal sosial bangsa dalam mengembangkan hubungan kerukunan umat beragama. Negara tak boleh memasuki ruang-ruang subyektivitas keberagamaan setiap kelompok karena justru akan memancing konflik. Yang harus dilakukan negara, memastikan setiap orang dari setiap kelompok mendapatkan jaminan kesetaraan perlakuan dan perlindungan hak keberagamaannya di ruang publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar