BBM, Ekspektasi Inflasi, dan Kesejahteraan Petani
Bustanul Arifin, Guru
Besar Universitas Lampung,
Professorial
Fellow InterCAFE dan MB-IPB
SUMBER : KOMPAS, 02 April 2012
Sebagaimana diketahui, harga eceran bahan
bakar minyak bersubsidi di dalam negeri tidak jadi naik pada awal April ini.
Pemerintah bersama parlemen telah menyetujui besaran baru Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan Tahun 2012 dengan defisit Rp 190 triliun (2,23
persen) jika kelak harga BBM jadi dinaikkan sebesar Rp 1.500 per liter.
Keputusan politik yang diambil pada Jumat
dini hari itu akhirnya memberikan diskresi kepada pemerintah untuk menyesuaikan
harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi apabila harga rata-rata minyak mentah
Indonesia (Indonesia crude oil price/ICP) mengalami perubahan lebih dari 15
persen dalam kurun waktu enam bulan. Dengan posisi harga ICP yang telah
melampaui 120 dollar AS per barrel, pemerintah mungkin akan menaikkan harga BBM
menjadi Rp 6.000 per liter pada Oktober 2012 jika harga ICP tetap bertahan
tinggi.
Di satu sisi, masyarakat mungkin dapat
terhibur dengan keputusan politik tersebut walaupun harga kebutuhan pokok sudah
berangsur naik. Namun, di sisi lain keputusan yang sebenarnya meningkatkan
ekspektasi inflasi (expected inflation) justru dapat memicu inflasi yang sebenarnya.
Banyak analis memperkirakan laju inflasi bulan Maret akan berada di atas 0,1
persen walaupun musim panen padi telah dimulai. Laju inflasi tahunan 2012 ini
akan berada di atas 5 persen, apalagi jika harga BBM kelak jadi dinaikkan.
Telah banyak bukti teoretis dan empiris bahwa
ekspektasi yang lebih tinggi akan memengaruhi tingkah laku ekonomi yang
menimbulkan tambahan-tambahan biaya baru. Dengan perkiraan inflasi naik, yang
juga berarti menurunnya daya beli, masyarakat cenderung menanamkan modal pada
investasi jangka panjang, seperti tanah dan properti. Perkiraan inflasi ini pun
akan memperumit pengendalian harga, terutama pangan pokok, karena psikologi
pasar sudah telanjur memiliki gambaran tidak stabil atau negatif.
Pengalaman empiris pada 2011 juga menunjukkan
bahwa harga pangan dan kebutuhan pokok lain melonjak tinggi pada Juni-Agustus,
terutama karena ekspektasi inflasi menghadapi Ramadhan dan Idul Fitri.
Sepanjang Juli 2011 itu, harga beras kualitas murah sampai sedang telah naik
melampaui 10 persen karena ekspektasi pedagang dan konsumen terhadap kenaikan
harga yang akan terjadi. Pada 2012 ini, laju inflasi diperkirakan naik juga
pada rentang musim kemarau tersebut karena panen padi telah selesai. Hanya
sejumlah kecil petani yang mampu melakukan penyimpanan untuk keperluan pada
musim paceklik.
Pada Senin ini, Badan Pusat Statistik akan
mengumumkan laju inflasi bulan Februari, angka ramalan pertama produksi padi
tahun 2012, dan beberapa statistik penting lainnya. Sekitar 65 persen dari
produksi padi di Indonesia dihasilkan pada periode panen raya Maret-April ini
dan 35 persen sisanya pada panen gadu September-Oktober. Apabila produksi gabah
kering giling mampu lebih tinggi dari 65 juta ton, akan tebersit harapan baru
untuk mencapai target ambisius surplus beras 10 juta ton. Demikian pula
sebaliknya, apabila panen raya sekarang ini tidak menunjukkan kinerja yang
spektakuler, harapan untuk meningkatkan kesejahteraan petani tampak masih jauh
dari kenyataan.
Dampak Kesejahteraan Petani
Kalangan awam pun paham bahwa ekspektasi laju
inflasi, apalagi jika disertai kenaikan harga BBM, akan menambah biaya
pengeluaran masyarakat, tidak terkecuali petani. Ukuran yang paling kasar
seperti nilai tukar petani pun telah menunjukkan kecenderungan memburuknya
kesejahteraan petani. Nilai tukar petani kumulatif pada Februari 2012 tercatat
105,1 (turun 0,60 persen) dengan gambaran tidak baik diderita petani padi
(turun 1,02 persen), nelayan (turun 0,39 persen), dan petani hortikultura
(turun 0,23 persen).
Persoalan klasik di lapangan belum dapat
ditanggulangi, seperti kenaikan harga faktor produksi pertanian, yaitu pupuk,
pestisida, upah buruh, sewa lahan, dan lain-lain, karena akses yang tidak
terlalu baik. Apalagi, dengan drama wacana kenaikan harga BBM satu-dua bulan terakhir,
petani dan nelayan semakin sulit memperoleh bahan bakar sekadar untuk
menyambung hidup karena spekulasi dan penimbunan yang marak terjadi. Tidak
terlalu aneh walaupun laju inflasi nasional pada Februari 2012 tercatat 0,05
persen, laju inflasi di daerah pedesaan justru menembus 0,46 persen karena
semua indeks kelompok pengeluaran naik.
Tidak perlu disebut lagi bahwa penguasaan
lahan petani Indonesia sangat tidak merata karena sebanyak 53 persen dari 17,8
juta rumah tangga petani padi-palawija hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau
kurang. Petani skala kecil ini benar-benar menjadi salah satu kelompok yang
sangat rentan terhadap perubahan pengeluaran, apalagi jika harus menanggung
tambahan beban kenaikan harga BBM yang berwujud dari biaya transportasi, biaya
produksi, sampai pada kebutuhan sehari-hari.
Demikian pula dari 30 juta (12,5 persen)
masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 19 juta di antaranya
adalah penduduk pedesaan. Lebih memiriskan lagi, lebih dari 76 persen dari
kelompok miskin ini sangat rentan terhadap kenaikan harga pangan, terutama
beras. Artinya, peluang terjadinya kemiskinan baru sangat besar apabila
masyarakat kecil ini memiliki ekspektasi laju inflasi yang cukup besar,
terutama dari sektor pangan. Pengalaman kenaikan harga BBM tahun 2005 yang
melonjakkan angka kemiskinan baru sampai 3 juta orang seharusnya menjadi
pelajaran berharga bagi pemerintah agar mempersiapkan penanganan dampak yang
demikian masif.
Rencana strategi kompensasi dengan bantuan
langsung sementara masyarakat sebesar Rp 150.000 per bulan mungkin menjadi
hiburan secara politik, tetapi sangat jauh untuk menanggulangi dampak
kesejahteraan yang ditimbulkannya. Artinya, pemerintah masih memiliki waktu
yang cukup untuk secara serius menyempurnakan skema perlindungan yang memadai
bagi petani, nelayan, dan kelompok miskin lain.
Demikian pula Instruksi Presiden Nomor 3
Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh
Pemerintah mungkin menjadi panduan secara administratif bagi Perum Bulog.
Namun, tingkat kesejahteraan petani bukan persoalan administrasi belaka,
melainkan persoalan hidup riil yang memerlukan langkah pemihakan dan perhatian
yang memadai. Di sinilah sebenarnya harapan petani dan masyarakat banyak kepada
penyelenggara negara di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar