Bangsa Taman Kanak-Kanak
Sarlito Wirawan Sarwono, Guru
Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi
Dekan Fakultas Psikologi
SUMBER : SINDO, 01 April 2012
Saya
baru selesai membaca buku karangan Rosihan Anwar, Kisah-Kisah Jakarta Menjelang
Clash ke Satu, yang dipinjami Ibu saya,teman seangkatan almarhum Rosihan.
Buku
itu habis saya baca dalam perjalanan pesawat terbang menemani cucu saya liburan
ke Hong Kong–Jakarta. Dalam buku itu diceritakan peristiwa-peristiwa di
Indonesia di sekitar tahun 1946 seperti Persetujuan Linggarjati, penculikan
Perdana Menteri Sjahrir, pemindahan ibu kota ke Yogyakarta dan balik ke
Jakarta, penderitaan rakyat Jakarta di bawah pemerintahan NICA, ORI (Oeang
Republik Indonesia) atau uang putih (yang lebih diterima oleh pedagang kecil
ketimbang uang NICA), peringatan Kemerdekaan RI pertama di Yogyakarta, dan
sebagainya.
Juga nama-nama yang bukan hanya saya kenal dalam pelajaran sejarah, melainkan saya pernah dengar atau baca sendiri di koran ketika saya masih di Sekolah Rakyat di Tegal, bahkan beberapa di antaranya pernah saya temui sendiri sebagai salah satu aktivis Angkatan 1966.Mereka itu antara lain adalah Burhanuddin Harahap, Sujatmoko, Maria Ulfa Santoso,Chairul Saleh, Moh Rum,Ir Juanda,AR Baswedan, dokter Darmasetiawan, dokter Leimena, dan sebagainya, tentu saja Soekarno dan Hatta, yang sampai sekarang masih jadi nama airport Cengkareng.
Yang menarik dari buku itu, menurut pendapat saya, pemimpin- pemimpin bangsa Indonesia dari zaman dulu sampai sekarang sama saja.Tidak mau mendengarkan orang lain, hanya memikirkan kelompok sendiri dan mau serbainstan. Itulah sebabnya bangsa Indonesia tidak bisa bersatu. Di awal sejarah NKRI saja para pemimpin partai sudah berantem terus.Kabinet berganti setiap tahun,bahkan ada yang kurang dari setahun. Untuk mempersatukan bangsa pada 1959,Bung Karno mendekritkan kembali UUD 1945 (ini sudah di luar buku).
Tetapi,Bung Karno kebablasan dan terjadilah aksi-aksi 1966. Bung Karno turun, Soeharto naik. Soeharto bisa mengendalikan bangsa ini selama 32 tahun. Dengan dibantu pakar-pakar terbaik di republik ini,yang direkrutnya dari universitas-universitas terbaik juga, dia bisa memajukan pertumbuhan perekonomian, membangun sarana dan prasarana sampai ke pelosok- pelosok desa dan seterusnya.
Tetapi, Pak Harto yang bergelar “Bapak Pembangunan” itu juga kebablasan. Maka terjadilah reformasi tahun 1998 (ini makin jauh keluar dari isi buku Rosihan). Harapan para pelaku demo reformasi ketika itu adalah pemerintah yang lebih demokratis, yang lebih mendengar suara rakyat,ada kebebasan untuk berpendapat,bersih dari korupsi (bukan “bebas korupsi”), dan seterusnya.Pokoknya mimpi masyarakat adalah masyarakat madani (civil society).
Tetapi, yang kita saksikan minggu ini (2012) bukan madani, tetapi anarki. Demo antikenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi rakyat malah makin menderita, bahkan ketakutan. Massa mau menerobos pagar DPR dan Istana atau kantor-kantor gubernur/wali kota atau DPRD di daerah-daerah. Massa menduduki SPBU, melempari kantor-kantor, menyandera mobil tangki, bahkan menduduki restoran cepat saji, memblokade jalan, bakar ban, bahkan memblokade rel kereta api. Semua tidak ada hubungannya dengan harga BBM.
Juga nama-nama yang bukan hanya saya kenal dalam pelajaran sejarah, melainkan saya pernah dengar atau baca sendiri di koran ketika saya masih di Sekolah Rakyat di Tegal, bahkan beberapa di antaranya pernah saya temui sendiri sebagai salah satu aktivis Angkatan 1966.Mereka itu antara lain adalah Burhanuddin Harahap, Sujatmoko, Maria Ulfa Santoso,Chairul Saleh, Moh Rum,Ir Juanda,AR Baswedan, dokter Darmasetiawan, dokter Leimena, dan sebagainya, tentu saja Soekarno dan Hatta, yang sampai sekarang masih jadi nama airport Cengkareng.
Yang menarik dari buku itu, menurut pendapat saya, pemimpin- pemimpin bangsa Indonesia dari zaman dulu sampai sekarang sama saja.Tidak mau mendengarkan orang lain, hanya memikirkan kelompok sendiri dan mau serbainstan. Itulah sebabnya bangsa Indonesia tidak bisa bersatu. Di awal sejarah NKRI saja para pemimpin partai sudah berantem terus.Kabinet berganti setiap tahun,bahkan ada yang kurang dari setahun. Untuk mempersatukan bangsa pada 1959,Bung Karno mendekritkan kembali UUD 1945 (ini sudah di luar buku).
Tetapi,Bung Karno kebablasan dan terjadilah aksi-aksi 1966. Bung Karno turun, Soeharto naik. Soeharto bisa mengendalikan bangsa ini selama 32 tahun. Dengan dibantu pakar-pakar terbaik di republik ini,yang direkrutnya dari universitas-universitas terbaik juga, dia bisa memajukan pertumbuhan perekonomian, membangun sarana dan prasarana sampai ke pelosok- pelosok desa dan seterusnya.
Tetapi, Pak Harto yang bergelar “Bapak Pembangunan” itu juga kebablasan. Maka terjadilah reformasi tahun 1998 (ini makin jauh keluar dari isi buku Rosihan). Harapan para pelaku demo reformasi ketika itu adalah pemerintah yang lebih demokratis, yang lebih mendengar suara rakyat,ada kebebasan untuk berpendapat,bersih dari korupsi (bukan “bebas korupsi”), dan seterusnya.Pokoknya mimpi masyarakat adalah masyarakat madani (civil society).
Tetapi, yang kita saksikan minggu ini (2012) bukan madani, tetapi anarki. Demo antikenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bertujuan untuk menyejahterakan rakyat, tetapi rakyat malah makin menderita, bahkan ketakutan. Massa mau menerobos pagar DPR dan Istana atau kantor-kantor gubernur/wali kota atau DPRD di daerah-daerah. Massa menduduki SPBU, melempari kantor-kantor, menyandera mobil tangki, bahkan menduduki restoran cepat saji, memblokade jalan, bakar ban, bahkan memblokade rel kereta api. Semua tidak ada hubungannya dengan harga BBM.
Celakanya
PDIP juga ikut turun ke jalan. Alasannya sama, untuk membela rakyat. Padahal
ketika Megawati jadi presiden, dia juga menaikkan harga BBM. Dia menaikkan
harga BBM, tetapi dia sendiri yang protes. Aneh, tapi nyata.
Pertengahan
Maret 2012, ada berita tentang sepak terjang Menteri BUMN Dahlan Iskan. Menteri
yang hatinya cangkokan ini naik pitam karena pintu tol Senayan macet, padahal
dia sudah berkali-kali mengingatkan kepada anak buahnya, Direksi Jasa Marga,
agar pintu tol tidak boleh macet. Antrean hanya boleh maksimum lima kendaraan.
Tetapi,
pagi itu antrean kendaraan sampai 30 mobil dan tidak maju-maju. Saking
gemasnya, Menteri Dahlan Iskan keluar dari mobil, jalan kaki ke gerbang tol,
dan mendapati bahwa di antara empat pintu tol hanya dua yang buka. Satu pintu
tol otomatis dan hanya satu yang diawaki petugas. Dua pintu yang lain
kosong-melompong (alasan kemudian adalah petugasnya datang terlambat).
Menteri naik pitam betulan, palang tol dibuka dan antrean mobil disuruh lewat. Gratis. Dalam sekejap antrean kendaraan langsung habis. Bablas angine... Kehebohan ini ternyata mendorong Direksi Jasa Marga langsung bertindak. Pagi itu juga berlangsung rapat direksi dan keputusannya: dalam situasi apa pun jam lima pagi pintu tol harus dibuka semua (semua lampu hijau menyala). Loh kok bisa? Tetapi, mengapa harus menunggu sampai menteri berlaku kasar, baru ada reaksi dari pengelola?
Dalam buku Rosihan Anwar disebutkan bahwa pada 29 Desember 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit No 6 yang isinya meningkatkan jumlah anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang saat itu berfungsi sebagai perwakilan rakyat, dari 200 menjadi 514 orang. Dekrit ini oleh sebagian politisi di masa itu dianggap hendak menggolkan ratifikasi Persetujuan Linggarjati yang mereka tolak.
Maka keluarlah keputusan Badan Pekerja KNIP untuk mencabut Dekrit Presiden No 6/1946 itu, dan sidang KNIP di Malang pada 25 Februari hingga 5 Maret 1947 pun terbelah dua: yang pro dan kontradekrit. Pada saat itulah Wapres Hatta berpidato yang isinya tegas: Jika sidang KNIP menyetujui keputusan BP KNIP (mencabut Dekrit No 6/1946), dia dan Presiden Soekarno akan meletakkan jabatan. Silakan cari presiden dan wakil presiden lain.
Maka Badan Pekerja pun menarik kembali mosinya untuk mencabut dekrit itu. Loh (lagi-lagi “Loh”) kok sama saja dengan Direksi Jasa Marga yang tiba-tiba rapat sesudah Dahlan Iskan mengamuk? Jadi mau tidak mau saya berpikir kok sepertinya ada pola tertentu dalam perilaku bangsa ini. Pada 1946 Bung Hatta mengancam akan mundur bersama Bung Karno, BP KNPI mencabut mosinya. Pada 1949 Bung Karno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945, kita punya UUD yang berlaku sampai hari ini.
Ketika Soeharto memakai baju safari, semua pejabat dari menteri sampai hansip memakai safari. Pada zaman Wapres Jusuf Kalla hanya berkemeja putih tanpa dasi, semua pejabat pun lepas dasi. Ketika Menteri Dahlan Iskan menggebrak pintu tol, Direksi Jasa Marga langsung terjaga. Tidak mengherankan jika Gus Dur ketika jadi presiden seenaknya menyebut DPR sebagai taman kanak-kanak.
Walaupun seenaknya, kesimpulannya tepat banget. Malah bukan hanya DPR, hampir semua bangsa ini masih bermental taman kanak-kanak: manja, tidak mau dengar orang lain, maunya sendiri. Sementara itu, Jakarta pada 1946 dengan Wali Kota Suwiryo bisa bertahan karena pedagang dan buruh kecil lebih menerima uang ORI daripada uang NICA. Hari ini petani, pedagang, buruh, nelayan, perajin kecil, walaupun terpengaruh oleh harga BBM, tidak mengeluh, tapi terus bekerja untuk kehidupan mereka.
Sebagian perekonomian Indonesia bertumpu pada hasil kerja orang-orang kecil ini, yang pada gilirannya menghasilkan devisa untuk negara. Sebagian lain ditentukan oleh kinerja para pelaku ekonomi kelas atas, para pengusaha, sektor perbankan, dan lain-lain. Akibatnya Indonesia tidak terlanda krisis ekonomi 2008 dan makin mendapat kepercayaan dari luar negeri. Jadi mungkin ada baiknya kalau mulai 2014, gaji anggota DPR disamakan dengan gaji PNS, plus beberapa fasilitas terbatas.
Sementara mereka pun harus mengikuti kursus tata negara dan penulisan undang-undang sampai besertifikat, baru boleh ikut pemilu. Dengan screening seperti ini, hanya orang yang mampu dan punya komitmen saja yang bisa jadi anggota DPR. Dengan begitu, kualitas DPR, bangsa, serta negara Indonesia dijamin akan berangsur membaik.. ●
Menteri naik pitam betulan, palang tol dibuka dan antrean mobil disuruh lewat. Gratis. Dalam sekejap antrean kendaraan langsung habis. Bablas angine... Kehebohan ini ternyata mendorong Direksi Jasa Marga langsung bertindak. Pagi itu juga berlangsung rapat direksi dan keputusannya: dalam situasi apa pun jam lima pagi pintu tol harus dibuka semua (semua lampu hijau menyala). Loh kok bisa? Tetapi, mengapa harus menunggu sampai menteri berlaku kasar, baru ada reaksi dari pengelola?
Dalam buku Rosihan Anwar disebutkan bahwa pada 29 Desember 1946 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit No 6 yang isinya meningkatkan jumlah anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang saat itu berfungsi sebagai perwakilan rakyat, dari 200 menjadi 514 orang. Dekrit ini oleh sebagian politisi di masa itu dianggap hendak menggolkan ratifikasi Persetujuan Linggarjati yang mereka tolak.
Maka keluarlah keputusan Badan Pekerja KNIP untuk mencabut Dekrit Presiden No 6/1946 itu, dan sidang KNIP di Malang pada 25 Februari hingga 5 Maret 1947 pun terbelah dua: yang pro dan kontradekrit. Pada saat itulah Wapres Hatta berpidato yang isinya tegas: Jika sidang KNIP menyetujui keputusan BP KNIP (mencabut Dekrit No 6/1946), dia dan Presiden Soekarno akan meletakkan jabatan. Silakan cari presiden dan wakil presiden lain.
Maka Badan Pekerja pun menarik kembali mosinya untuk mencabut dekrit itu. Loh (lagi-lagi “Loh”) kok sama saja dengan Direksi Jasa Marga yang tiba-tiba rapat sesudah Dahlan Iskan mengamuk? Jadi mau tidak mau saya berpikir kok sepertinya ada pola tertentu dalam perilaku bangsa ini. Pada 1946 Bung Hatta mengancam akan mundur bersama Bung Karno, BP KNPI mencabut mosinya. Pada 1949 Bung Karno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 1945, kita punya UUD yang berlaku sampai hari ini.
Ketika Soeharto memakai baju safari, semua pejabat dari menteri sampai hansip memakai safari. Pada zaman Wapres Jusuf Kalla hanya berkemeja putih tanpa dasi, semua pejabat pun lepas dasi. Ketika Menteri Dahlan Iskan menggebrak pintu tol, Direksi Jasa Marga langsung terjaga. Tidak mengherankan jika Gus Dur ketika jadi presiden seenaknya menyebut DPR sebagai taman kanak-kanak.
Walaupun seenaknya, kesimpulannya tepat banget. Malah bukan hanya DPR, hampir semua bangsa ini masih bermental taman kanak-kanak: manja, tidak mau dengar orang lain, maunya sendiri. Sementara itu, Jakarta pada 1946 dengan Wali Kota Suwiryo bisa bertahan karena pedagang dan buruh kecil lebih menerima uang ORI daripada uang NICA. Hari ini petani, pedagang, buruh, nelayan, perajin kecil, walaupun terpengaruh oleh harga BBM, tidak mengeluh, tapi terus bekerja untuk kehidupan mereka.
Sebagian perekonomian Indonesia bertumpu pada hasil kerja orang-orang kecil ini, yang pada gilirannya menghasilkan devisa untuk negara. Sebagian lain ditentukan oleh kinerja para pelaku ekonomi kelas atas, para pengusaha, sektor perbankan, dan lain-lain. Akibatnya Indonesia tidak terlanda krisis ekonomi 2008 dan makin mendapat kepercayaan dari luar negeri. Jadi mungkin ada baiknya kalau mulai 2014, gaji anggota DPR disamakan dengan gaji PNS, plus beberapa fasilitas terbatas.
Sementara mereka pun harus mengikuti kursus tata negara dan penulisan undang-undang sampai besertifikat, baru boleh ikut pemilu. Dengan screening seperti ini, hanya orang yang mampu dan punya komitmen saja yang bisa jadi anggota DPR. Dengan begitu, kualitas DPR, bangsa, serta negara Indonesia dijamin akan berangsur membaik.. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar