Minggu, 01 April 2012

Apakah Internet Membuat Kita Pintar?


Apakah Internet Membuat Kita Pintar?
Acep Muslim, Pustakawan AKATIGA Pusat Analisis Sosial Bandung
SUMBER : KORAN TEMPO, 31 Maret 2012



Atas pertanyaan di atas, sepertinya banyak yang akan mengajukan jawaban positif; bahwa benar Internet akan membuat siapa pun yang menggunakannya semakin pintar. Keyakinan ini di antaranya tecermin dari makin banyaknya sekolah, perguruan tinggi, rumah, ruang publik, hingga desa-desa, yang menyediakan fasilitas Internet.

Salah satu argumen yang lazim dipakai kalangan yang sangat optimistis dengan Internet adalah karena Internet menyediakan informasi berlimpah, fasilitas komunikasi yang bervariasi, serta dapat diakses dengan mudah dan cepat. Dengan segala keunggulan itu, Internet diyakini akan sangat berguna bagi siapa pun yang menggunakannya.

Tapi sebenarnya manfaat Internet itu bukan sebuah keniscayaan. Ada dampak negatif yang senantiasa membayangi, di antaranya yang berhubungan dengan kemampuan berpikir penggunanya.

Buku Cetak

Nicholas Carr, seorang kritikus teknologi informasi dan komunikasi, tahun lalu mengkritik kebijakan di sekolah Cushing Academy di Amerika yang memutuskan meniadakan perpustakaan beserta ribuan koleksi bukunya. Perpustakaan itu kini diganti dengan fasilitas yang oleh pihak sekolah disebut state-of-the-art computers high-definition. Fasilitas canggih yang terhubung dengan Internet dan menyediakan informasi berlimpah dan up-to-date dari berbagai penjuru dunia itu disediakan untuk keperluan penelitian dan membaca siswanya.

Asumsi pihak sekolah, terkait dengan kebijakan itu, adalah bahwa kegiatan membaca itu sama saja, entah dilakukan di buku cetak ataupun di komputer, laptop, dan komputer tablet yang terhubung dengan Internet. Dengan kata lain, tidak ada masalah dengan media, yang penting isinya. Tapi mereka salah. Menurut Carr, yang dalam hal ini mengikuti pandangan McLuhan, aspek media justru sangat penting. Sebagai media untuk membaca, buku (cetak) berbeda dengan teknologi seperti komputer atau e-book reader yang terkoneksi dengan Internet. Saat membaca buku, perhatian pembaca terisolasi sehingga ia bisa fokus pada bacaannya. Dalam bahasa sastrawan Octavio Paz (Gumelar, 2011), membaca buku adalah praktek konsentrasi mental dan moral. Membaca buku pada saat bersamaan merupakan proses berpikir. Karenanya, semakin banyak membaca buku, semakin terlatih otak untuk berpikir analitis, kritis, dan reflektif.

Adapun komputer, laptop, dan alat lain yang terhubung ke Internet berwatak sebaliknya. Saat digunakan, ia dapat menghamburkan perhatian penggunanya. Saat seseorang membaca buku (elektronik) atau artikel di Internet, ia akan sulit berkonsentrasi karena ada banyak gangguan di sekitarnya. Gangguan itu dapat berupa rombongan status Facebook atau Twitter teman, e-mail, pesan-pesan yang terkirim via fasilitas chatting, serta gelombang arus informasi yang terus datang bertubi-tubi dan bermacam ragam. Tidak mengherankan, membaca tuntas sebuah artikel panjang di Internet menjadi sebuah tugas berat.

Dalam taraf lanjut, kata Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010), penggunaan Internet secara intens dapat mengurangi kemampuan otak dalam berkonsentrasi dan berpikir. Ini lantaran otak telah banyak dipermudah bahkan diambil alih sebagian fungsinya oleh Internet; misalnya dalam mencari, menemukan, dan menyimpan informasi. Dengan Internet, semua bisa dilakukan dengan cepat dan mudah. Tinggal klik. Segala kemudahan yang memanjakan itu membuat sebagian kemampuan otak berkurang. Ditambah lagi, seperti dikemukakan di atas, saat menggunakan Internet, otak terbiasa bekerja tidak fokus lantaran harus menghadapi banyak gangguan dalam beragam rupa.

Kegiatan Belajar

Sejauh ini, perhatian atas efek negatif Internet terhadap pelajar atau anak dan remaja banyak terfokus pada konten yang terdapat di Internet; seperti yang mengandung pornografi dan kekerasan. Sementara itu, penggunaan Internet sebagai "sarana belajar" kerap dianggap positif belaka. Padahal penggunaan Internet oleh pelajar, misalnya untuk mencari bahan dalam mengerjakan tugas sekolah, tidak selalu berdampak positif bagi pelajar bersangkutan. Ketika mengerjakan tugas, para pelajar atau mahasiswa bisa dengan mudah menyalin (copy-paste) berlembar-lembar materi dari Internet tanpa mengerti betul apa yang sebenarnya dia salin itu. Mark Baurlein, penulis buku The Dumbest Generation (2008), mengatakan, teknologi Internet tidak membuat anak-anak itu benar-benar membaca atau berpikir. Mereka hanya mencari dan mendapatkan informasi, bukannya membangun pengetahuan di benaknya. Informasi hanya lewat saja di kepalanya.

Apa yang dilakukan para pelajar itu tidak jarang dilakukan orang dewasa pada umumnya. Mereka, misalnya, bisa begitu saja mencomot suatu artikel di suatu blog dan membagikannya (share) di media sosial tanpa memeriksa kebenaran artikel itu, pun tanpa paham betul apa yang sebetulnya tertulis di situ.

Literasi Informasi

Harapan-harapan yang ditumpukan terhadap Internet sering kali terlalu besar. Banyak kalangan menganggap Internet niscaya berperan besar dalam segala hal; pendidikan, demokrasi, ekonomi, dan sebagainya. Dengan keyakinan itu, bermacam program pengembangan akses Internet pun dijalankan di berbagai sektor. Sayangnya, optimisme itu sering tidak dibarengi dengan sikap kritis. Ia sering mengabaikan fakta bahwa Internet tidak bekerja dengan sendirinya. Pengguna Internet, sebagai subyek atau aktor yang menggunakan teknologi itu, sesungguhnya lebih penting dari teknologi Internet yang digunakannya.

Karena itu, perhatian juga perlu diberikan kepada para pengguna Internet tersebut. Bentuk perhatian itu bisa dengan membekali penggunanya dengan pengetahuan memadai tentang Internet; bagaimana cara kerjanya, apa kelebihan dan kekurangannya. Tidak tepat jika sebuah sekolah begitu saja menyediakan fasilitas Internet untuk siswanya tanpa memberi para siswa itu pengetahuan mencukupi tentang Internet. Pengetahuan memadai tentang Internet ini bisa menjadi peringatan bagi para penggunanya agar tidak terlalu mesra berhubungan dengan teknologi itu. Pun tidak mengandalkannya sebagai sarana belajar satu-satunya.

Selain pengetahuan tentang sifat, kelebihan, dan keterbatasan Internet, kemampuan lain yang mesti dimiliki oleh pengguna Internet adalah literasi informasi. Seperti dikemukakan T.W. Goad (dalam Zhang, 2010), literasi informasi adalah kemampuan untuk mencari, menemukan, mengevaluasi, dan menggunakan informasi dari berbagai sumber (termasuk Internet--pen). Dalam literasi informasi, ada sikap kritis dalam proses pencarian, penemuan, pengevaluasian, dan penggunaan informasi. Setiap informasi yang didapat di media seperti Internet tidak begitu saja diterima dan dikopi ke dalam tugas kuliah atau dibagikan di media sosial. Dengan literasi informasi, pengguna Internet dibekali kemampuan menilai suatu informasi; kebenaran, guna, dan relevansinya. Maka, tidak salah jika literasi informasi sebaiknya diajarkan secara khusus di berbagai jenjang pendidikan.

Jadi, apakah Internet akan membuat kita kian pintar? Belum tentu. Jika digunakan serampangan, ia bisa berdampak sebaliknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar