Apakah Internet Membuat Kita Pintar?
Acep Muslim, Pustakawan
AKATIGA Pusat Analisis Sosial Bandung
SUMBER : KORAN TEMPO, 31 Maret 2012
Atas pertanyaan di atas, sepertinya banyak
yang akan mengajukan jawaban positif; bahwa benar Internet akan membuat siapa
pun yang menggunakannya semakin pintar. Keyakinan ini di antaranya tecermin
dari makin banyaknya sekolah, perguruan tinggi, rumah, ruang publik, hingga
desa-desa, yang menyediakan fasilitas Internet.
Salah satu argumen yang lazim dipakai
kalangan yang sangat optimistis dengan Internet adalah karena Internet
menyediakan informasi berlimpah, fasilitas komunikasi yang bervariasi, serta
dapat diakses dengan mudah dan cepat. Dengan segala keunggulan itu, Internet
diyakini akan sangat berguna bagi siapa pun yang menggunakannya.
Tapi sebenarnya manfaat Internet itu bukan
sebuah keniscayaan. Ada dampak negatif yang senantiasa membayangi, di antaranya
yang berhubungan dengan kemampuan berpikir penggunanya.
Buku Cetak
Nicholas Carr, seorang kritikus teknologi
informasi dan komunikasi, tahun lalu mengkritik kebijakan di sekolah Cushing
Academy di Amerika yang memutuskan meniadakan perpustakaan beserta ribuan
koleksi bukunya. Perpustakaan itu kini diganti dengan fasilitas yang oleh pihak
sekolah disebut state-of-the-art computers high-definition. Fasilitas
canggih yang terhubung dengan Internet dan menyediakan informasi berlimpah dan up-to-date
dari berbagai penjuru dunia itu disediakan untuk keperluan penelitian dan
membaca siswanya.
Asumsi pihak sekolah, terkait dengan
kebijakan itu, adalah bahwa kegiatan membaca itu sama saja, entah dilakukan di
buku cetak ataupun di komputer, laptop, dan komputer tablet yang terhubung
dengan Internet. Dengan kata lain, tidak ada masalah dengan media, yang penting
isinya. Tapi mereka salah. Menurut Carr, yang dalam hal ini mengikuti pandangan
McLuhan, aspek media justru sangat penting. Sebagai media untuk membaca, buku
(cetak) berbeda dengan teknologi seperti komputer atau e-book reader
yang terkoneksi dengan Internet. Saat membaca buku, perhatian pembaca
terisolasi sehingga ia bisa fokus pada bacaannya. Dalam bahasa sastrawan
Octavio Paz (Gumelar, 2011), membaca buku adalah praktek konsentrasi mental dan
moral. Membaca buku pada saat bersamaan merupakan proses berpikir. Karenanya,
semakin banyak membaca buku, semakin terlatih otak untuk berpikir analitis,
kritis, dan reflektif.
Adapun komputer, laptop, dan alat lain yang
terhubung ke Internet berwatak sebaliknya. Saat digunakan, ia dapat
menghamburkan perhatian penggunanya. Saat seseorang membaca buku (elektronik)
atau artikel di Internet, ia akan sulit berkonsentrasi karena ada banyak
gangguan di sekitarnya. Gangguan itu dapat berupa rombongan status Facebook
atau Twitter teman, e-mail, pesan-pesan yang terkirim via fasilitas chatting,
serta gelombang arus informasi yang terus datang bertubi-tubi dan bermacam
ragam. Tidak mengherankan, membaca tuntas sebuah artikel panjang di Internet
menjadi sebuah tugas berat.
Dalam taraf lanjut, kata Nicholas Carr dalam
bukunya The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains (2010),
penggunaan Internet secara intens dapat mengurangi kemampuan otak dalam
berkonsentrasi dan berpikir. Ini lantaran otak telah banyak dipermudah bahkan
diambil alih sebagian fungsinya oleh Internet; misalnya dalam mencari,
menemukan, dan menyimpan informasi. Dengan Internet, semua bisa dilakukan
dengan cepat dan mudah. Tinggal klik. Segala kemudahan yang memanjakan itu
membuat sebagian kemampuan otak berkurang. Ditambah lagi, seperti dikemukakan
di atas, saat menggunakan Internet, otak terbiasa bekerja tidak fokus lantaran
harus menghadapi banyak gangguan dalam beragam rupa.
Kegiatan Belajar
Sejauh ini, perhatian atas efek negatif
Internet terhadap pelajar atau anak dan remaja banyak terfokus pada konten yang
terdapat di Internet; seperti yang mengandung pornografi dan kekerasan.
Sementara itu, penggunaan Internet sebagai "sarana belajar" kerap
dianggap positif belaka. Padahal penggunaan Internet oleh pelajar, misalnya
untuk mencari bahan dalam mengerjakan tugas sekolah, tidak selalu berdampak
positif bagi pelajar bersangkutan. Ketika mengerjakan tugas, para pelajar atau
mahasiswa bisa dengan mudah menyalin (copy-paste) berlembar-lembar
materi dari Internet tanpa mengerti betul apa yang sebenarnya dia salin itu.
Mark Baurlein, penulis buku The Dumbest Generation (2008), mengatakan,
teknologi Internet tidak membuat anak-anak itu benar-benar membaca atau
berpikir. Mereka hanya mencari dan mendapatkan informasi, bukannya membangun
pengetahuan di benaknya. Informasi hanya lewat saja di kepalanya.
Apa yang dilakukan para pelajar itu tidak
jarang dilakukan orang dewasa pada umumnya. Mereka, misalnya, bisa begitu saja
mencomot suatu artikel di suatu blog dan membagikannya (share) di media
sosial tanpa memeriksa kebenaran artikel itu, pun tanpa paham betul apa yang
sebetulnya tertulis di situ.
Literasi Informasi
Harapan-harapan yang ditumpukan terhadap
Internet sering kali terlalu besar. Banyak kalangan menganggap Internet niscaya
berperan besar dalam segala hal; pendidikan, demokrasi, ekonomi, dan
sebagainya. Dengan keyakinan itu, bermacam program pengembangan akses Internet
pun dijalankan di berbagai sektor. Sayangnya, optimisme itu sering tidak
dibarengi dengan sikap kritis. Ia sering mengabaikan fakta bahwa Internet tidak
bekerja dengan sendirinya. Pengguna Internet, sebagai subyek atau aktor yang
menggunakan teknologi itu, sesungguhnya lebih penting dari teknologi Internet
yang digunakannya.
Karena itu, perhatian juga perlu diberikan
kepada para pengguna Internet tersebut. Bentuk perhatian itu bisa dengan
membekali penggunanya dengan pengetahuan memadai tentang Internet; bagaimana
cara kerjanya, apa kelebihan dan kekurangannya. Tidak tepat jika sebuah sekolah
begitu saja menyediakan fasilitas Internet untuk siswanya tanpa memberi para
siswa itu pengetahuan mencukupi tentang Internet. Pengetahuan memadai tentang
Internet ini bisa menjadi peringatan bagi para penggunanya agar tidak terlalu
mesra berhubungan dengan teknologi itu. Pun tidak mengandalkannya sebagai
sarana belajar satu-satunya.
Selain pengetahuan tentang sifat, kelebihan,
dan keterbatasan Internet, kemampuan lain yang mesti dimiliki oleh pengguna
Internet adalah literasi informasi. Seperti dikemukakan T.W. Goad (dalam Zhang,
2010), literasi informasi adalah kemampuan untuk mencari, menemukan,
mengevaluasi, dan menggunakan informasi dari berbagai sumber (termasuk
Internet--pen). Dalam literasi informasi, ada sikap kritis dalam proses
pencarian, penemuan, pengevaluasian, dan penggunaan informasi. Setiap informasi
yang didapat di media seperti Internet tidak begitu saja diterima dan dikopi ke
dalam tugas kuliah atau dibagikan di media sosial. Dengan literasi informasi,
pengguna Internet dibekali kemampuan menilai suatu informasi; kebenaran, guna,
dan relevansinya. Maka, tidak salah jika literasi informasi sebaiknya diajarkan
secara khusus di berbagai jenjang pendidikan.
Jadi, apakah Internet akan membuat kita kian
pintar? Belum tentu. Jika digunakan serampangan, ia bisa berdampak sebaliknya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar