Minggu, 01 April 2012

Energi Negatif, Energi Positif


Energi Negatif, Energi Positif
Yuswohady, Pengamat Bisnis dan Pemasaran, Blog: www.yuswohady.com
SUMBER : SINDO, 01 April 2012



Kamis (29/3) malam saya demam luar biasa, terkena radang tenggorokan. Sendi-sendi linu bukan main, badan greges-greges. Sekujur tubuh seperti ditinju bogem mentah Muhammad Ali, sakit semua.

Karena itu hari Jumatnya saya fully bedrest, terkapar tanpa daya. Hari itu Jakarta, Medan, Yogyakarta, Makasar, dan puluhan kota lain di seantero Nusantara panas oleh demo BBM. Di tengah keterkaparan, saya khusuk mengikuti menit demi menit aksi mahasiswa membela rakyat melalui layar beberapa stasiun TV nasional. Saya gonta-ganti channel untuk memburu peristiwa-peristiwa paling gres.

Tentunya, seperti 240 juta rakyat Indonesia yang lain, momen-momen mendebarkan yang paling saya tunggu adalah Sidang Paripurna untuk mengambil keputusan kenaikan BBM. Drama Sidang Paripurna kenaikan BBM akhirnya bisa saya saksikan lepas Magrib, setelah beberapa stasiun TV menayangkannya live dari gedung DPR.

Energi Negatif

Belum seperempat jam menyaksikan Sidang Paripurna, kepala saya yang sudah pening jadi tambah pening luar biasa. Pelan-pelan perut saya mulai mual-mual, serasa bubur Manado yang pagi saya santap mau tumpah-ruah di kasur. Bogem Muhammad Ali pun terasa bertambah kencang dari awalnya 100 pukulan permenit menjadi 1000 pukulan permenit.

Menonton tayangan layar kaca, saya sedih luar biasa, sambil mengelus dada: “Ooow begini ini ya wakil rakyat kita kalau sedang rapat”. Terus-terang baru kali ini saya tahu detil isi dan suasana sidang para wakil rakyat yang super terhormat. Terus terang saya shock luar biasa melihat suasana rapat yang lebih pantas saya lihat di Terminal Pulogadung, ketimbang di Gedung DPR yang terhormat.

Bagaimana tidak shock, di rapat yang sangat terhormat itu saya melihat tidak ada yang namanya sopan-santun rapat; tidak ada etika bermusyawarah, tak ada tenggang-rasa antar peserta, learderless alias seolah tidak ada pemimpin sidang, sehingga kondisinya chaotic, kacau balau, sama sekali jauh dari substansi sidang yang diharapkan 240 juta rakyat Indonesia. Peserta sidang terlihat kekanak-kanakan.

Saya tak melihat ada wisdom dan kearifan sosok wakil rakyat di ruangan itu. Saya tidak melihat ada nurani di ruangan maha terhormat itu. Bagaimana nggak chaos, ketika pimpinan sidang bicara, sekitar sembilan hingga sepuluh peserta secara bersamaan ngoceh ngelantur sampai saya susah menangkap apa isi omongan pemimpin sidang. Pemimpin sidang dilecehkan oleh peserta seperti tak ada harganya sama sekali.Sambil mengelus dada saya berpikir, “Lha wong debat di warung kopi saja tidak sekrodit, sekacau, dan seblunder ini”.

Semua peserta saling berebut untuk bisa bicara, tak bisa dipotong dan dihentikan. Masingmasing mau menangnya sendiri. Siapa yang omongannya paling keras (“ala preman”),ia yang menguasai diskusi. Celakanya, (ini yang membuat saya makin mules) di tengah serius-seriusnya peserta berdebat untuk membela nasib 240 juta rakyat Indonesia, kok masih sempat-sempatnya ada peserta yang gojeg di depan mikropon menyanyi lagunya mbah Surip: “Tak gendhong, kemana-mana”.

Parah!!! Begitu pula ketika ada fraksi yang memutuskan untuk walk-out karena merasa aspirasinya tak didengar oleh pimpinan sidang, yang terjadi seluruh peserta justru girang menyorakinya, bukannya menyesalkan karena dengan begitu aspirasi rakyat terkebiri. Sungguh kekanak-kanakan. Sungguh memalukan Karena Muhammad Ali makin mengganas meninju-ninju kepala saya, saya limbung.

Di tengah keterlimbungan itulah saya berpikir bahwa saya sedang menonton sinetron. Sinetron yang sarat dengan intrik, penuh dengan sandiwara, pekat diwarnai konflik dan perebutan kepentingan, sarat dengan pembonsaian akal sehat. Tapi akhirnya saya sadar apa yang saya tonton itu nyata. Sebuah kenyataan yang memalukan. Serta-merta saya pun kemudian berdoa, semoga CNN atau BBC tidak ikut-ikutan menyuplik tayangan itu untuk diekspor ke seluruh dunia.

Energi Positif

Menyaksikan sidang paripurna membuat saya semakin terkapar di-KO Muhammad Ali. Di tengah keterkaparan yang kian meradang, jari-jemari saya masih menari-nari di ujung remote control. Secepat kilat saya menemukan channelacara konser musik rock dini hari yang menampilkan selingan obrolan dengan Harry Van Yogya.

Belum dua menit mendengarkan tuturan inpiratif dari sosok satu ini, tak tahu kenapa otak saya mendadak terang. Harry (45) adalah tukang becak di Jl Prawirotaman, Yogyakarta yang menggunakan Friendster (dulu), Facebook, Twitter, bahkan blog di Multiply untuk menarik konsumen dari seantero jagat. Narik becak kemanapun ia selalu membawa laptop untuk bisa stay connect dengan dunia maya.

Ia seorang blogger yang aktif mempromosikan Yogyakarta sekaligus menarik konsumen menggunakan jasanya. Untuk membangun loyalitas pelanggan, ia melakukan conversation dan engagement dengan menggunakan Facebok (facebook.com/harryvan yogya) dan Twitter (#FF @harryvan yogya). “Kalau malam, Twitter ramai banget. Saya sibuk balas mention satu persatu,” ujarnya.

Harry pernah kuliah di jurusan Matematika Universitas Sanata Dharma, tetapi kemudian kandas karena bapaknya yang tukang becak tak sanggup membiayai. Karena itu ia kemudian banting setir menjadi tukang becak seperti ayahnya. Sampai kini Harry sudah menekuni profesi ini selama lebih dari 20 tahun dengan penuh keikhlasan, kejujuran, dan kebanggan. Berbekal kemauan belajar yang luar biasa,Harry menjadi sosok tukang becak yang luar biasa.

Ia menguasai dua bahasa, Inggris dan Belanda, karena itu ia konfiden menawarkan jasa ke seluruh dunia dengan menggunakan media sosial. Tak hanya itu, melalui jagat maya ia juga menjadi ambasadorbagi pariwisata Yogya. Walaupun kini dia sudah menjadi selebriti karena sudah nongol puluhan kali di acara TV dan halaman koranmajalah, tapi Harry tetap bersahaja, “Profesi utama saya tetap tukang becak. Saya nggak mau seperti Briptu Norman,” ujarnya polos.

Inspirasi, keteladanan, kearifan, kreativitas dan langkah out of the box Harry Van Yogya mengembalikan optmisme saya mengenai negeri ini, setelah sebelumnya luluh-lantak oleh ulah dan perilaku kanak-kanak para wakil rakyat. Harry Van Yogya, si tukang becak hebat, memberi saya suntikan energi positif yang luar biasa. Energi positif itu demikian hebatnya, sehingga mendadak pening saya lenyap, linu-linu persendian sirna, badan greges-greges hilang.

Tak hanya itu, kini gantian Muhammad Ali yang KO karena kecapaian meninju saya. Untung ada Harry Van Yogya. Di tengah runyam dan karut-marutnya negeri ini, kita masih beruntung karena punya orang-orang nyentrik dan luar biasa seperti tukang becak hebat ini. Viva Indonesia!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar