Tidak
Ada Pancasila Tanpa Keadilan Sosial
Shofwan Al Banna Choiruzzad ; Pengajar di Departemen
Ilmu Hubungan Internasional FISIP
UI
|
KORAN
SINDO, 16
Maret 2017
Mencuatnya politik identitas dan politik kebencian di
Indonesia dan bahkan dunia hari ini menghadirkan kembali kesadaran kita
tentang pentingnya menggali Pancasila.
Di tengah masyarakat, beragam esai telah ditulis dan
banyak seminar telah dilaksanakan dengan judul-judul megah seperti
”Rejuvenasi Pancasila” dan ”Restorasi Pancasila”. Pemerintah sendiri juga
memulai upaya untuk menghadirkan kembali pelembagaan politik Pancasila dengan
membentuk Unit Kerja Presiden Bidang Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP PIP).
Di tengah kekhawatiran tentang dunia kita yang semakin
diwarnai ancaman bagi sendi-sendi kebangsaan, tentu saja hal ini merupakan
hal yang patut disyukuri. Meskipun demikian, saya merasa bahwa ada yang
hilang dalam diskusi-diskusi mengenai Pancasila akhir-akhir ini. Dalam
beragam tulisan dan seminar tersebut, pembahasan mengenai Pancasila lebih
sering berfokus pada aspek sipil-politiknya saja, sementara aspek sosial-ekonomi
kurang mendapat perhatian.
Kerangka yang paling lazim dihadirkan adalah menempatkan
Pancasila sebagai benteng pelindung bagi kebinekaan di tengah kebangkitan
sektarianisme dan primordialisme. Tentu saja, dengan konteks politik nasional
dan global kita hari ini, hal ini penting. Namun, pemahaman kita tentang
Pancasila tidak akan utuh tanpa membahas sila yang memuncakinya: Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Yang Jarang Kita Bicarakan saat
Bicara Pancasila
Memang dapat dipahami mengapa publik dan intelektual
publik lebih suka membincang aspek sipil-politik dari Pancasila tersebut.
Ancaman bagi kehidupan berbangsa dalam bentuk sektarianisme terlihat nyata
dan dekat (dan memang nyata dan dekat). Selain itu, membicarakan Pancasila
sebagai jawaban atas kebangkitan sektarianisme juga akan mendapatkan dukungan
yang cukup luas di ruang publik.
Hal ini berbeda dengan berbicara mengenai aspek keadilan
sosial dari Pancasila. Saat kita bicara soal keadilan sosial dalam perspektif
Pancasila, permasalahan yang kita lihat bersifat struktural. Artinya, kita
mungkin tidak melihatnya sebagai ancaman yang terasa nyata karena tidak dapat
disentuh dan disaksikan. Teriakan-teriakan mengancam dari kelompok penebar
kebencian tentu saja lebih terasa sebagai ancaman dibandingkan rintihan
kemarahan wong cilik yang dirampas hak-haknya oleh pembuat kebijakan.
Penyebab tangisan itu bahkan sering kali dilakukan atas
nama pembangunan serta dirayakan sebagai keberhasilan. Tangisan wong cilik
itu nyata dan muncul di televisi, tapi tidak sampai membuat kita berpikir
bahwa pilar penopang bangsa ini sedang digerogoti. Selain itu, membicarakan
tentang keadilan sosial dalam perspektif Pancasila akan membuat kita
berbenturan dengan beragam isu yang kompleks dan mengusik kepentingan elite.
Sebagai contoh, kita akan bicara mengenai apakah arah
kebijakan nasional kita ditujukan pada pertumbuhan atau pada pemerataan?
Apakah pembangunan pabrik semen yang ditolak para petani Kendeng dan beragam
proyek investasi itu sesuai dengan nilai-nilai Pancasila? Apakah konsentrasi
sumber daya ekonomi di tangan segelintir elite dapat dimaklumi, ataukahnegara
harushadir untuk memastikan distribusi sumber daya yang lebih adil (dan
bagaimana caranya)? Perdebatan mengenai hal-hal tersebut akan panas dan
melelahkan, melampaui hitung-hitungan teknokratis semacam cost and benefit analysis.
Saatnya Bicara Keadilan Sosial
Meski sulit, gelombang kesadaran tentang Pancasila harus
dibarengi dengan perbincangan yang lebih serius mengenai permasalahan
keadilan sosial dalam perspektif Pancasila ini. Setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, ada hantu yang sedang berkeliaran di dunia dan di
Indonesia: hantu ketimpangan.
Dalam laporannya yang berjudul An Economy For the 1%: How privilege and power in the economy drive
extreme inequality and how this can be stopped, Oxfam mencatat bahwa 1%
orang terkaya di dunia saat ini menguasai kekayaan melebih 99% penduduk dunia
lainnya (Oxfam, 2016). Di Indonesia sendiri, laporan Oxfam yang berjudul
Menuju Indonesia yang Lebih Setara mencatat bahwa empat orang terkaya di
negeri ini memiliki kekayaan lebih dari total kekayaan 40% penduduk dengan kekayaan
terendah.
Satu persen orang terkaya Indonesia memiliki hampir
setengah dari total kekayaan penduduk negara yang kita cintai ini. Angka ini
menahbiskan Indonesia menjadi peraih peringkat keenam dalam daftar negara
dengan tingkat kesenjangan tertinggi (Oxfam, 2017).
Kedua, keadilan sosial adalah raison d’etre kemerdekaan.
Yang mempersatukan bangsa kita yang bineka ini adalah
ketidakadilan yang dihadirkan oleh kolonialisme. Pada masa Belanda, ekonomi
dikelola dengan rasional, namun ditujukan hanya untuk kepentingan penjajah.
Indonesia menjadi eksportir kina terbesar di dunia pada 1919. Tembakau
Indonesia rata-rata produksinya mencapai 25% total produksi tembakau dunia
pada awal abad ke-20 (Wolf, 1919).
Menurut Van Vliet (1943), Hindia Belanda adalah ”tanah
jajahan yang terbukti memberikan keuntungan paling besar di antara tanah
jajahan yang lain.” Namun, posisi sebagai eksportir besar komoditas-komoditas
tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi rakyat. Pada tahun 1930-an, hanya
6,4% dari penduduk non-Eropa dan non-Eurasia yang bisa baca tulis (Lowenberg,
2010). Meskipun kota-kota di Jawa waktu itu mungkin lebih tertata
dibandingkan hari ini, hasilnya tidak dapat dinikmati dengan adil. Kesadaran
akan ketidakadilan inilah yang membuat para pendiri bangsa sepakat
menempatkan keadilan sosial sebagai sila pamungkas dari Pancasila.
Ketiga, keadilan sosial (atau kehampaan darinya) sangat
bertautan dengan kukuhnya kebinekaan.
Uji statistik yang dilakukan oleh Frederick Solt (2011)
menggunakan data dari berbagai negara di dunia selama seperempat abad dan data
ketimpangan dari Standardized World
Income Inequality Database menunjukkan hubungan yang kuat antara
ketimpangan ekonomi dan meningkatnya sentimen nasionalisme, yang sering
diekspresikan dalam identitas-identitas sektarian.
Sebagian pengamat juga meyakini bahwa ketimpangan ekonomi
berpengaruh pada menguatnya sentimen antiglobalisasi (Stiglitz, 2016).
Absennya diskusi mengenai ketimpangan ketika membicarakan Pancasila juga
berarti membiarkan ancaman bagi kebinekaan terus menguat, karena mengabaikan
hubungan yang kuat di antara kedua aspek ini. Dengan demikian, politik
kebangkitan Pancasila yang mulai mengemuka ini harus segera dilengkapi dengan
diskusi-diskusi yang lebih serius mengenai keadilan sosial. Tanpanya,
Pancasila itu tiada. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar